Literasi Finansial Paling Kena dari Kaluna "Home Sweet Loan"


Seingat saya ada dua film Indonesia yang muatan literasi finansialnya cukup kuat, Gampang Cuan (2023) dibintangi Vino G. Bastian  dan yang terbaru Home Sweet Loan dibintangi Yunita Siregar (2024). Namun yang paling kena ke hati dan masuk di akal, HSL juaranya, dari kegigihan Kaluna si tokoh utama.

Sumpah, jadi Kaluna, buat saya enggak mudah. Bertahan bekerja kantoran setiap hari naik kendaraan umum, bawa bekal masak sendiri dari rumah (bukan dimasakin mbak atau orangtua ya), punya pekerjaan sampingan model lipstick dengan aset bibirnya yang hoki bawa cuan, dan menahan diri dari keinginan memiliki barang sekunder apalagi tersier, enggak jajan kopi setiap hari, dan masih banyak lagi penghematan lainnya.

Sosok Kaluna enggak terkesan peliit sama sekali di film HSL. Saya lupa penokohannya di buku karena saya dan suami baru ingat saat duduk di 10 menit pertama di bioskop, “Kayaknya kita punya dan dah baca bukunya deh”, kata suami.

Ternyata benar, kami sudah membaca bukunya entah kapan dan jujur agak lupa, jadi kalau ditanya sesuai enggak buku dengan filmnya, ya kami jawab sesuai aja lahhh. Sebagus itu kok film HSL yang saya pilih untuk nonton menghibur hati. Padahal, nonton HSL itu kudu siap tisu dan siap perih hati karena menyentuh kalbu sedalam itu sih. Konflik keluarga dan beban berat anak perempuan soalnya, jadi kalau yang merasa relate, bakal pedih banget sih mata selalu ada momentum yang enggak bisa banget nahan air mata mengalir hangat.



Penghematan Kaluna digambarkan dengan ciamik oleh sutradara Sabrina Rochelle Kalangie menerjemahkan kisah novel karya Almira Bastari. Fokusnya pada tujuan finansial Kaluna dengan keseharian di kantor dari sosok Kaluna yang cantik, baik, hangat, enggak kaku di lingkungan pertemanan, pekerjaan sampai keluarga. Jadi bukan karakter perempuan pekerja kantoran yang pelit karena berhemat.

Hematnya Kaluna karena latar keluarganya yang aduh, kalau saya ada di posisi yang sama persis, juga pasti berjuang keras untuk punya hunian sendiri. Kondisi keluarga Kaluna yang mendorong dirinya sebegitu hemat dan teratur keuangannya untuk bisa bayar uang muka KPR. 

Sampai di sini saya paham bagaimana besaran uang muka akan berpengaruh ke cicilan bulanan yang sesuai dengan kemampuan. Mimpi pun harus tahu diri, menutip Kaluna. Jadi saya paham, kalau gaji terbatas yang bayar uang muka yang tinggi supaya cicilannya ringan, dengan tenor paling maksimal. Ini sudah saya dan suami praktekkan saat memutuskan menjual rumah dan menggunakan dananya untuk membeli mobil pertama untuk mendukung mobilitas kami menjadi pekerja mandiri.

Berhubung saat saya menulis ini, filmnya masih ada di bioskop dan saya penganut no spill review, jadi sudah segitu aja tentang filmnya ya. Saya justru ingin lebih mengulas bagaimana film bisa jadi saluran edukasi finansial yang efektif. 

Alih-alih ikut kelas literasi finansial dengan presentase angka harus punya rumus tertentu dari jumlah uang penghasilan yang sebenarnya terbatas juga, saya lebih suka diingatkan kembali pengaturan keuangan dari film macam ini. Serupa seperti film Gampang Cuan yang klimaksnya adalah enggak ada yang namanya kelimpahan uang instan semua ada proses termasuk lewat investasi keuangan. Kalau di film Gampang Cuan literasi finansial melalui instrument investasi keuangan dijelaskan dengan sangat mudah diterima akal paling malas mikir pun. Saya makin mudah mengingat ulang bedanya reksadana, saham, deposito dan sejenisnya. Sedangkan kalau di film HSL, juaranya menabung dan menahan diri dari keinginan atau tren bahkan dari sekadar mengumpani ego dan gengsi pekerja kantoran dengan barang-barang flexing penguras penghasilan.

“Barang kamu ternyata sedikit banget ya, Dek”, kata kakak Kaluna di telpon saat memberitahukan Kaluna untuk kembal pulang, kamarnya sudah dibersihkan, dan keluarga ingin bertemu lagi sebelum masing-masing akan memisahkan diri hidup dengan keluarganya sendiri. Cukup sedikit kata dan dialog, digambarkan dengan Kaluna menangis tanpa suara dengan air mata mengalir dan rasa hangat di mata dan hati kalau saya membayangkannya. 

Pesannya jelas, Kaluna punya tabungan ratusan juta dari pengaturan keuangannya yang disiplin, demi bisa bayar uang muka rumahnya sendiri, dengan hidup sederhana di rumah orangtuanya tanpa punya banyak barang koleksi yang enggak dibutuhkan juga sebenarnya.


sumber: https://youtu.be/gcTSMnjQ0FU?feature=shared

Saya malu sejujurnya sama Kaluna. Darinya saya justru diingatkan kembali, saya sebenarnya harusnya bisa mewujudkan impian umroh misalnya, jika saja bisa punya manajemen finansial dan kegigihan kekuatan akal pikiran dan perasaan seperti Kaluna. Sayangnya saya masih belum bisa seperti Kaluna, enggak jajan kopi setiap hari, enggak pernah jalan-jalan ke Ancol atau tempat hiburan lainnya dengan alasan healing, dan kesenangan lainnya yang tidak Kaluna lakukan demi mewujudkan financial goalnya, punya ratusan juta di rekening untuk bayar uang muka KPR.

sumber: https://youtu.be/gcTSMnjQ0FU?feature=shared



Apakah Kaluna berhasil membeli rumah impian? Nonton aja dulu sana di bioskop. Saya bukan menulis review film, hanya ingin berterima kasih kepada Kaluna, kamu juara dan sungguh menampar saya sangat halus dan hangat, se-hangat air mata yang mengalir di bioskop malam itu.

Terima kasih ya, Dek Kaluna. Tapi maaf budget harian untuk kopi saya tetap Rp 25.000 pakai poin dan diskon di kedai langganan, bisa lebih murah di warkop punya sendiri. Nanti kalau sudah sesukses kamu dari usaha sendiri, budget Rp 40.000 sehari untuk jajan kopi, bisa lah ya!

 

 

 

Sinergi Pentahelix Kalahkan Kusta




Indonesia jadi satu dari tiga negara tropis di dunia, dengan kasus kusta tertinggi, setelah India dan Brasil. Ini bukan prestasi untuk dipertahankan tentunya. Bersama warga dunia lainnya, dalam peringatan Hari Kusta Sedunia yang diperingati 28 Januari bertema global "Beat Leprosy", bukan waktunya lagi bergerak sendiri-sendiri. 

Upaya kolaboratif dengan pendekatan pentahelix atau multipihak yang mencakup unsur pemerintah, akademisi, badan atau pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media jadi kunci jika ingin eliminasi kusta di Indonesia. Perlu diketahui juga penyakit kusta yang disebabkan bakteri bernama Mycobacterium leprae ini menjadi masalah dunia. WHO mencatatkan penyakit kusta ditemui di lebih dari 120 negara di dunia dan setiap tahunnya ada lebih dari 200.000 kasus baru. 

sumber: https://www.who.int/news-room/events/detail/2024/01/28/default-calendar/world-leprosy-day-2024


WHO merilis strategi zero global leprosy 2021-2030, menyerukan dunia fokus pada tiga hal yakni Zero Transmisi, Zero Disabilitas, Zero Stigma. Dalam talk show Ruang Publik KBR bersama NLR Indonesia yang disiarkan Live Streaming di saluran Youtube Berita KBR dua narasumber yang hadir virtual menjelaskan implementasi mencapai dunia bebas kusta pada tahun 2040 nanti. Hadir sebagai narasumber dalam program SUKA (Suara untuk Indonesia Bebas Kusta) oleh NLR Indonesia Agus Wijayanto MMID - Direktur Eksekutif NLR Indonesia dan Hana Krismawati, M. Sc - Pegiat Kusta dan Analis Kebijakan (Pusat Sistem dan Strategi Kesehatan-Minister Office).


Kalahkan Kusta

Penyakit kusta bisa sembuh dan tidak semudah itu menular. Layanan kesehatan untuk pasien kusta saat ini juga lebih dekat sudah dirawat di puskesmas terdekat. Seseorang bisa tertular kusta hanya jika transmisi bakteri terjadi melalui kontak intens dari droplets melalui hidung dan mulut pasien yang tidak memeriksakan diri, atau tidak dalam perawatan. 


“Kusta tidak semudah itu menular, harus terjadi kontak intens dengan pasien paling tidak 8 bulan, serumah, tinggal bersama 8 jam setiap harinya,” jelas Hana. 


Namun begitu sudah terdiagnosa kusta, perilaku utama yang harus dilakukan adalah jujur tanpa rasa malu melaporkan kepada petugas kesehatan, selain jujur kepada keluarga sebagai support system. Pasien kusta memerlukan perawatan jangka panjang dengan multidrug therapy (MDT). Orang dengan imun rendah, kurang nutrisi dan memiliki sejumlah faktor kerentanan lainnya dapat terinfeksi bakteri, termasuk penyakit kusta.



Stigma Kusta Tidak Relevan


Menurut Hana, tidaklah lagi relevan stigmatisasi kusta dan mengaitkan kusta dengan penyakit keturunan. Studi di China menunjukkan kerentanan kusta dipengaruhi juga faktor genetik namun bukan penyakit keturunan. Penularan kusta di luar faktor genetik sangat bisa dikendalikan. 

Bukti-bukti ilmiah sudah membuktikan sehingga stigma kusta tidak relevan, kata Hana. Justru saat ini dibutuhkan lebih banyak peran akademisi untuk melakukan riset mengenai kusta di Indonesia. 

Akademisi merupakan salah satu unsur pentahelix yang berperan penting untuk kalahkan kusta terutama stigma terhadap pasien dan Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK). Tentunya peran pemerintah termasuk pemerintah daerah, sinergi pusat dan daerah penting untuk kesehatan adil dan merata. Unsur yang juga berperan penting adalah media. Kolaborasi pentahelix perlu lebih massive dijalankan untuk eliminasi kusta di Indonesia.


Upaya Massive dan Kolaborasi Pentahelix


Agus, Direktur NLR Indonesia, menegaskan upaya terintegrasi bersama masyarakat penting untuk eliminasi kusta selain peran utama pemerintah. Bahkan dalam roadmap eliminasi kusta, komunitas mendapatkan peran krusial untuk mencapai tujuan zero kusta. Lintas lembaga pun harus terlibat bukan hanya Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota namun juga Dinas Sosial. Ada OYPMK yang harus mendapatkan layanan dasarnya. 

"Perlu upaya lebih massive untuk menemukan kasus baru. Potensi penularan tinggi kalau masih ada stigma dan menyembunyikan kasus," kata Agus.

Sebagai organisasi nirlaba berbadan hukum yayasan yang berafiliasi dengan organisasi dunia di enam negara berfokus pada eliminasi kusta, NLR Indonesia berkomitmen melanjutkan upaya kolaboratif. 

Selama lima tahun ke depan, NLR Indonesia menargetkan advokasi kebijakan daerah eliminasi kusta baik program dan anggaran. Selain mengalokasikan sumber daya untuk mendukung upaya pencegahan secara masif termasuk pendampingan petugas kusta di Puskesmas serta meningkatkan kapasitas nakes. OYPMK juga menjadi perhatian dengan lebih menyuarakan lagi kepentingannya kepada pengambil kebijakan. 

Berjejaring mengupayakan gerakan masyarakat sipil, pegiat kusta, pegiat disabilitas, mendorong inklusi perlu dilakukan lebih masif untuk menyuarakan zero kusta. 



Kolaborasi Ruang Publik KBR bersama NLR Indonesia dan komunitas



Bertahan LDM Hanya 15 Hari Gagal Keluar Zona Nyaman


Gagal LDM
www.wawaraji.com


Merawat hubungan jarak jauh, sebelum maupun setelah menikah, sungguh butuh upaya ekstra dari pihak laki-laki dan perempuan, dan rasanya hanya orang pilihan yang benar-benar bisa menjalankan dengan batas waktu tertentu. Long Distance Relationship (LDR)/Marriage (LDM) nyatanya tidak berlaku untuk semua orang, apalagi pasangan yang cenderung bucin atau enggak sanggup berjauhan atau tidak berinteraksi langsung dalam waktu 1x24 jam.

Saya gagal uji coba LDM by choice, atau LDM yang memang sengaja saya dan pasangan pilih atau bahkan ciptakan dalam menyiasati keadaan. Tujuan saya dan suami (Duoraji) LDM salah satunya mencoba keluar dari zona nyaman pasangan menikah yang selalu bersama, urusan pekerjaan, hobi, komunitas, keluarga, apalagi jalan-jalan. Kami tidak pernah bosan bersama karena selalu ada aktivitas juga topik atau bahan diskusi. Bahan obrolan receh, ringan, sedang sampai masalah berat baik yang ada kaitan langsung dengan kehidupan personal sampai yang sebenarnya tidak berdampak pun kami bahas. Aktivitas bersama pun cenderung bervariasi, tidak terjebak dalam rutinitas yang membosankan lantaran punya agenda berbeda setiap harinya. Komunikasi antarpribadi jadi kunci kehangatan kehidupan berpasangan kami terutama setelah menikah.

Keadaan lain yang jadi sebab LDM 15 hari adalah karena suami punya pekerjaan baru sebagai fotografer tim dokumentasi caleg di Jakarta Timur selama dua bulan. Pekerjaan yang cukup menyita waktu dari pagi sampai petang. Setelah bertahun-tahun kami memilih tidak mencari nafkah dengan jam kerja penuh waktu, akhirnya suami menjalani lagi cara ini. Alhasil tersisa hanya 12 jam untuk bersama, itu pun dipotong waktu tidur 6-8 jam. Waktu yang teramat singkat untuk kami berbincang segala urusan berdua. Komunikasi pasutri jadi berbeda dan tak biasanya.

Akumulasi keadaan ini kemudian jadi alasan untuk akhirnya saya memilih mengasingkan diri di Bandung. Melalui sejumlah perencanaan seperti mencari kamar kosan untuk satu bulan, menghitung dana yang dipunya dan perkiraan pengeluaran selama jadi anak kosan, hingga efisiensi transportasi bolak-balik Jakarta-Bandung karena memang ada sejumlah agenda pekerjaan tidak berbayar di Bandung, sebagai bentuk komitmen dan dedikasi untuk organisasi kesayangan, Komunitas Bloggercrony Indonesia. Ditambah lagi, memang sudah waktunya saya fokus diri sendiri menyusun tesis yang terbengkalai sejak Juli 2023. Bandung menjadi kota pengasingan sementara. Akhirnya, LDM menjadi pilihan karena rentetan keadaan.

Mengakhiri LDM

Beruntung saya punya teman baik yang sebenarnya sih ingin sekali dianggap adik oleh pasangan akang teteh terbaik di Ledeng, Bandung. Teteh Ima dan Kang Holis panggilannya. Bapak Haji Ibu Hajah ini baik sekali berkenan menampung saya di kamar khusus yang istimewa. Bukan perkara kamar tidur yang punya kamar mandi di dalamnya. Tetapi kamar ini merupakan kamar almarhumah Amih, ibunya teteh Ima, tokoh masyarakat di Ledeng, ibu 12 anak dengan perjalanan luar biasa, berusia sampai 100 tahun, berpulang tenang meninggalkan anak cucu cicit dengan segala kebaikannya. Saya takjub bisa diterima dan diperbolehkan tidur di kamar Amih dan merasakan limpahan perhatian kasih sayang keluarga Ledeng Bandung.

Kehangatan keluarga Ledeng Bandung bikin saya betah dan bertahan 15 hari terpisah jarak dari suami. Saya tidak punya to do list atau agenda padat selama di Bandung, biarlah semua mengalir apa adanya, fokus utamanya adalah tesis. Namun, saya punya simpanan postingan café atau tempat WFC di Bandung yang tiada habisnya. Anehnya, rumah Ledeng bikin saya betah di dalam kediaman tak ingin beranjak ke mana pun padahal sangat mudah berkeliaran seputaran Dago bahkan Lembang. Terlalu banyak destinasi menarik di seputaran kosan kawasan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Mungkin, seandainya tak ada kehangatan ini di Bandung yang dingin saat hujan, dengan suasana beda syahdunya, bikin saya ingin cepat pulang bareng suami yang sempat berkunjung satu hari untuk urusan komunitas.

Saya bertahan, meski hanya 15 hari LDM-an. Sejumlah urusan selesai, lagi-lagi soal Bloggercrony. Ajaibnya, saya bisa fokus menyusun tesis setidaknya ada progress, saya bisa menuntaskan bacaan, lima buku terlahap habis, dan pikiran bisa mencerna dengan terang. Kondisi yang sulit saya dapatkan di Jakarta dengan segambreng urusan kerja, komunitas, keluarga, dan tetek bengek lainnya. Membaca satu saja buku referensi tesis sewaktu di Jakarta rasanya sulit memahami maksudnya apa. Begitu di Bandung, dengan jasmani dan rohani lebih tenang, mudah sekali memahami isi buku itu. Tesis memang jauh dari harapan penyelesaian, namun saya bangga dengan diri sendiri bisa berproses satu demi satu. Kuncinya, saya lebih fokus dan tenang.

Namun begitu, satu hal yang pasti saya tidak dapatkan, kehangatan pelukan suami dan kenyamanan berbincang, komunikasi terasa mati selama LDM 15 hari. Janji berkabar lewat Whatsapp hingga sleep call sebatas rencana tanpa ada manifestasinya. Video call sebatas formalitas. Saya berkesimpulan, sepertinya kami terutama suami, bukan tipe yang bisa berkomunikasi melalui media komunikasi digital. Saya akhirnya yakin seyakinnya, suami hanya asyik jadi teman bicara dengan komunikasi tatap muka. Zona nyaman saya teruji. Melakukan sesuatu yang melawan zona nyaman komunikasi tatap muka bersama pasangan, sungguh menganggu. Bahkan fisik pun terganggu. Batuk tak juga reda meski sudah melahap habis satu botol obat yang dibeli di apotek selagi di Bandung.  Tak ada demam apalagi flu, tenggorokan pun tak terasa sakit parah, batuk tiada akhir menemani selama sendirian di kamar kosan. Muncul hanya sesekali padahal cuaca Bandung tak sedingin itu yang bisa memicu alergi. Aneh.

Perkara komunikasi lewat WA yang tidak berhasil, pun karena ada kesempatan untuk pulang ke Jakarta untuk urusan pekerjaan. Akhirnya, pertahanan saya runtuh. Saya memutuskan selesai sudah mukim di Bandung, tuntaskan tesis di Jakarta saja dengan cari cara baru lagi, dan tiba-tiba batuk saya reda bahkan hilang sekejap. LDM 15 hari selesai. Saya bersiap pulang.

Sehari sebelum meninggalkan Bandung, saya kunjungi salah satu daftar café di Bandung dalam wishlist. Jala Jiva namanya, berjarak tak jauh hanya berkendara ojol 15 menit saja dari Ledeng menuju Setiabudi. Jujur, selain konsep café ini yang beda dengan labirin warna bata, saya menemukan diri sendiri di sini, lewat buku berjudul IKIGAI. Buku berbahasa Inggris itu berhasil saya lahap tuntas kurang dari 2 jam. Dua gelas kopi menemani, satu pastry, dan satu gelas Houjicha (matcha sangrai). Saya terjaga sampai malam. Bisa jadi karena kafein yang saya konsumsi sore ke malam hari, ditambah asupan otak lewat kata-kata yang kuat dari buku IKIGAI. Terlebih lagi saya berhasil menyelesaikan satu buku referensi tesis di café yang sama. Pulang ke Ledeng, saya tidak bisa tidur sampai subuh. Padahal, sudah waktunya saya bersiap pulang menuju pangkalan travel di Cihampelas, menuju Jakarta.

Mengakhiri LDM, pulang ke Jakarta, dengan tidak tidur semalaman dan hanya berhasil terlelap 1-2 jam di dalam minibus, tanpa batuk lagi sedikitpun, sungguh saya merasa seperti bocah kecil yang bersemangat ikut piknik ke  destinasi wisata untuk pertamakalinya. Keputusan melawan zona nyaman pasutri yang selalu bersama, terpisahkan kegiatan dan kota selama 15 hari, memberi saya banyak hikmah.

Benar sekali konsep IKIGAI, salah satunya mengenai temukan diri mencoba hal baru atau hal beda dari zona nyaman, dan kita akan bisa menerima diri dengan apa pun hasilnya dari percobaan itu. Ya, saya menemukan diri bahwa LDM bukan pilihan untuk Duoraji karena komunikasi pasutri yang berhasil untuk kami hanyalah tatap muka. Meski pun berkurang waktu bersama selama dua bulan, setidaknya tinggal seatap dengan lebih sedikit waktu bersama, lebih sanggup kami terima sebagai adaptasi kebiasaan baru ini. Namun memilih tinggal pisah kota sebagai cara beradaptasi dengan jadwal baru bukan pilihan tepat, setidaknya untuk Duoraji.

Tentu, cara ini tidak berlaku mutlak untuk semua pasutri. Sungguh saya berkali-kali bilang, salut untuk pasutri yang memilih LDM, bisa berkomunikasi lancar melalui bantuan teknologi, dan sanggup menjalani aktivitas bersama beda kota bahkan beda negara. Zona nyaman saya untuk selalu bersama pasangan halal, nyatanya tak bisa diganggu dengan pilihan LDM.

Mencoba menjalani LDM 15 hari, menjadi pembuktian bahwa saya mengikuti IKIGAI (follow my IKIGAI) untuk satu perkara ini, komunikasi pasutri yang harus tatap muka tanpa perantara. Dengan mengetahui ini secara pasti setelah masa percobaan, sebagai pasutri tentu kami jadi paham bagaimana harus menyikapi, menerima, beradaptasi dengan keadaaan baru. Tak ada yang salah, apalagi jika sudah dicoba dan teruji. Bertumbuh bersama pasangan nyatanya tiada akhir meski kami sudah 15 tahun menikah. Kami jadi tambah paham diri masing-masing setelahnya.

Sebenarnya kami pun bertanya-tanya, mengapa gagal LDM ini? Barangkali jawabnya sederhana, karena kami pasangan lemah yang selalu ingin bersama saling menguatkan, terutama sepeninggal anak semata wayang yang berpulang kepada pemiliknya. Keluarga Duoraji tidak utuh di bumi, terpisah jarak beda dunia, dengan dua bidadari di langit. Segala daya kami jalani untuk tetap tegar dan waras di dunia fana ini, barangkali itulah sebabnya kami sangat lemah jika terpisah jarak dan waktu karena nyatanya kami kuat hanya dengan bersama selalu, sepeninggal Dahayu.

Dan akhirnya saya bicara ke diri sendiri, tetap kuat ya ibu dengan bidadari di surgaNYA. Tak apa jika selalu bersama pasangan semata untuk saling menguatkan. 

Jakarta, 22 Desember 2023

 

 

 

Dakwah Digital Ustadzah Syarifah Halimah Alaydrus



Kajian muslimah di ruang virtual, terutama sejak pandemi aktivitas dakwah ikut bertransformasi secara digital, tersedia dengan banyak pilihan. Namun perjalanan batin membawa saya mengikuti kajian muslimah di podcast Ustadzah Halimah Alaydrus pada 2022. Sampai akhirnya setahun kemudian ikut hadir langsung di majelis ilmu atas undangan guru ustadz yang dipertemukan untuk pendampingan keluarga di Majelis Seroja, Tangerang Selatan. Alhamdulillah.

Upaya mendekatkan dan mengkoneksikan hati kepada Nabi SAW serasa mendapatkan jalan ketika tiba-tiba undangan menghadiri dakwah sang Syarifah datang. Tanpa pikir panjang, langsung membalas mengiyakan dengan tentunya mengetik Insya Allah. Tetap ada kekhawatiran tiba-tiba hari itu ketentuanNYA berbeda namun jika jasmani dan rohani sudah dipersiapkan tidak ada lagi agenda lain hari itu, selain kajian, meski tumpukan tugas dan pekerjaan menanti, niatan menghadiri kajian akhirnya kejadian. 


Sekadar menuliskan kembali, dalam KBBI Syarifah berarti perempuan mulia (sebutan bagi wanita keturunan Nabi Muhammad SAW). 

Hari itu, Kamis, 13 Juli 2023 urusan menghadiri kajian dimudahkanNYA. Hanya saja tiba di lokasi pas waktu pukul 13:00 WIB membuat saya harus pasrah duduk di teras musolah, jauh dari Pendopo di mana Ustadzah Halimah berceramah. Cuaca panas hanya terasa gerah sesaat saja, dibantu kipas lima ribuan yang dibeli dari ibu penjual yang mencari nafkah dari pengajian, cukup bikin adem. Lama kelamaan tak terasa kegerahan, yang ada hati syahdu ikuti bacaan shalawatan dan maulidan. Audio yang amat sangat jelas jernih dipersiapkan maksimal. Memang inilah ciri khas kajian Ustadzah Halimah, kekuatannya audio, suara, tanpa visual yang ditampakkan sama sekali bahkan larangan mengambil foto video dipatuhi semua jamaah perempuan yang hadir saat itu. 

Rahmat dan Syafaat menjadi tema kajian muslimah yang diadakan Majelis Seroja pimpinan Ustadz Irfan dan majelis Halimah Alaydrus. Satu jam mendengarkan langsung suara jernih yang menyentuh hati. Ceramah berakhir jelang waktu Ashar. Mendapati siraman kalbu, tenang rasanya dan semua rasa khawatir yang tengah saya alami, sirna. Benar-benar tenang, semua urusan dunia seperti tidak ada artinya. Usai berceramah, Ustadzah Halimah beranjak pulang dengan kendaraan yang sudah menanti di tepi jalan. Jamaah berdiri mengiringi, dari jauh saya hanya memandangi, Alhamdulillah bisa melihat langsung keturunan Nabi SAW. Semoga panjang umur dan bisa menjadi salah satu cara mendapatkan syafaat Nabi, dalam hati sambil senyum saya menatap beliau dari kejauhan. 





Berawal dari Podcast

Pertemuan virtual perdana dengan Ustadzah Halimah Alaydrus justru dari podcast. Maret 2022 saat saya mengambil keputusan berat untuk cuti kuliah S2, menunda sementara seluruh cita-cita dan rencana kuliah pascasarjana, demi merawat ibu yang terinfeksi COVID-19,menjadi awal cerita. Sebagai anak perempuan satu-satunya di keluarga besar dengan dominasi lelaki, saya dan ibu hanyalah dua perempuan di rumah. Keputusan keluarga terutama kakak kelima untuk merawat ibu di rumah, memilih layanan medis Home Care, mendatangkan semua dokter spesialis yang dibutuhkan ibu, membayar perawat medis dan perawat caregiver, menjadi jalan kami awal tahun 2022. Ibu terinfeksi COVID-19 dengan komorbid hipertensi dan diabetes. Kondisinya gawat kata dokter, harusnya dirawat di Rumah Sakit. Namun usia ibu yang sudah kepala delapan, dan psikis ibu yang traumatik dengan Rumah Sakit, membuat kami harus memutar otak dan memastikan seluruh perawatan dokter terlaksana di rumah saja. Tak mudah namun kesulitan datang dengan kemudahannya. Dokter umum, spesialis paru, spesialis penyakit dalam, semua didatangkan dengan mudahnya ke rumah. Oksigen bertabung-tabung disediakan di kamar perawatan. Ibu perlahan pulih dan sembuh dengan pemantauan ketat tenaga medis dan keluarga.  

Latar inilah yang membuat saya punya pengalaman batin kuat dengan kehadiran virtual Ustadzah Halimah. Saat menemani ibu di kamar, dengan status ibu positif COVID-19, saya berserah pasrah kalau pun tertular. Ceramah Ustadzah Halimah sungguh menenangkan pikiran. Cara dakwah yang suara jernihnya, penyampaian yang tidak bertele-tele, namun menyentuh hati dan tidak menghakimi membuat masa sulit itu terasa hangat. 

Belakangan baru saya pahami bahwa Ustadzah Halimah menerapkan prinsip dakwah tanpa visual. Beliau bercadar dan tak mau menampilkan dirinya. Saya menemukan fakta bahwa konsep dakwah ini mendapatkan tempat di hati jamaah dan terlindungi penuh karena sulit sekali menemukan ada pihak-pihak tidak bertanggungjawab yang berusaha membongkar profilnya. Di sinilah pelajaran penting bahwa tak perlu menunjukkan siapa kita selama ilmunya bermanfaat maka sampaikanlah. Tak perlu popularitas menampakkan diri selama Allah ridha atas upaya menyampaikan pesan cinta Allah SWT dan Nabi SAW, maka dunia mudah saja dalam genggaman.

Konsistensi dakwah digital hanya melalui audio, tanpa visual, bahkan dengan menggunakan platform digital seperti YouTube dan Instagram yang notabene sangat visual pun, dijalankan dan diterima publik. Jamaahnya tersebar di majelis mana pun yang beliau hadiri sebagai pendakwah. Dahsyat kalau Allah SWT sudah berkehendak. 

Di tengah hiruk pikuk dunia digital yang semuanya menampilkan profil diri, Ustadzah Halimah Alaydrus justru mendobrak semua tren digital ini dengan caranya. Dakwahnya meluas dan banyak hati yang tersentuh dengan isi ceramahnya yang adem diselingi humor ala perempuan. Pendakwah yang konsisten dengan prinsip dakwahnya, tanpa menutup diri dari tren media sosial yang membantu meluaskan dakwah secara digital, namun tetap ada batasan. 


Saya belajar keteguhan hati dan kemuliaan akhlak dari Ustadzah Halimah Alaydrus, selain tentunya ilmunya yang sangat mengena. Kata adik saya, beliau muridnya Habib Umar di Tarim, Yaman. Wah, makin senang hati, karena sanad guru perempuan (semoga berkenan menerima saya yang penuh dosa ini sebagai muridnya), bersambung ke cucu Nabi SAW, Habib Umar. 

Semoga perjalanan pengalaman batin ini dicatat sebagai cara saya mendekatNYA dan ikhtiar mendapatkan syafaat Nabi SAW dan rahmat Allah SWT. Semoga pun tulisan ini punya arti dan jadi saksi. 





Pengaruh Dukungan Babinsa dan PKK untuk Penanganan Kusta di Desa




Kusta merupakan penyakit menular yang tidak semudah itu menular. Penularan kusta terjadi jika ada kontak yang cukup lama dan sering. Meskipun begitu, kusta bisa diobati dan dengan penanganan tepat, kusta bisa disembuhkan. Bahkan keluarga yang tinggal bersama pasien kusta dapat mencegah terjadinya penularan dengan konsumsi obat sekali minum saja.

Ketidaktahuan masyarakat mengenai penyakit kusta, penularan dan penanganannya, menyebabkan stigma semakin kuat terhadap penyandang kusta. Diskriminasi kerap terjadi tanpa dibarengi penanganan yang tepat terhadap pasien kusta. Minimnya pengetahuan dan pemahaman warga desa semakin menyulitkan penanganan kusta. Itu sebab peran para penggerak edukasi di tingkat desa seperti PKK dan Babinsa punya peran dan pengaruh penting.

Edukasi kusta dengan melibatkan PKK dan Babinsa yang dilakukan NLR Indonesia melalui Roadshow Leprosy di Slawi dan Tegal, menjadi salah satu cara efektif pengenalan penyakit kusta dan penanganannya. Bagaimana implementasi edukasi penangangan kusta ini menjadi topik menarik dalam talk show Ruang Publik KBR 14 Juni 2023 bersama Kapten Inf Shokib Setiadi, Pasiter Kodim 0712/Tegal dan Elly Novita, S.KM, MM, Wakil Ketua Pokja 4, TP PKK Kab. Tegal, dipandu Rizal Wijaya.

www.wawaraji.com



Roadshow Leprosy di Slawi dan Tegal ini menjadi krusial karena Indonesia masih tercatat sebagai negara dengan tingkat kasus kusta tertinggi di dunia. Edukasi melibatkan penggerak di desa menjadi penting karena penyakit kusta jika tidak ditangani dengan tepat dapat menyebabkan disabilitas. Kasus baru kusta di Indonesia mengalami stagnasi selama 10 tahun terakhir dengan jumlah mencapai 18.000 kasus. Pada tahun 2017, angka disabilitas akibat kusta masih mencapai 6,6 orang per 1.000.000 penduduk. Padahal pemerintah punya target angka disabilitas kusta kurang dari 1 orang per 1.000.000 penduduk. Ini menunjukkan masih adanya masalah dalam penanganan kusta di Indonesia.

Menurut Kapten Inf Shokib, roadshow yang telah berjalan membantu menumbuhkan kesadaran dan niat berobat bagi penyandang kusta. Babinsa dalam hal ini bekerjasama dengan tenaga kesehatan setempat untuk meningkatkan kesadaran warga.  Sementara dari penggerak PKK, Elly mengatakan edukasi semacam ini bermanfaat untuk membekali pegiat PKK bisa mengenali kusta, ikut turut mengedukasi bahwa kusta bukan guna-guna, serta memiliki pemahaman mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan bersama pamong desa dan puskesmas dalam penanganan pasien kusta di desa.

“Diharapkan desa mendukung kegiatan penanganan kusta. Belum semua desa konsen terhadap penanganan kusta,” kata Elly menjelaskan bahwa penyakit kusta belum sepenuhnya menjadi perhatian di desa. Ia pun berharap dengan kolaborasi puskesmas, pemerintah desa yang mengawal, serta peran Babinsa, penanganan kusta di desa lebih maksimal lagi.


Edukasi Jadi Bekal Melawan Hoaks

Peran Babinsa dan PKK yang membawa pengaruh besar menjadi penting dalam penanganan kusta di desa. Pasalnya, hoaks kesehatan termasuk tentang kusta menyebar cepat.

“Informasi negatif lebih cepat diterima daripada informasi positif, ini menjadi kendala,” kata Elly.

 



Dengan teredukasinya Babinsa dan PKK, tentunya akan memudahkan penanganan kusta di desa termasuk dalam melawan hoaks kesehatan. Menurut Elly, stigma bukan hanya terjadi di masyarakat terhadap penyandang kusta, namun pasien kusta itu sendiri pun masih mengalami stigma yang membuatnya menolak berobat.

Butuh upaya bersama lintas sektor untuk bisa menangani kusta di desa. Elly mengatakan, PKK menggunakan pendekatan pelibatan tokoh masyarakat dan tokoh agama termasuk kelompok kepemudaan, organisasi keagamaan kaum ibu seperti Muslimat NU dan 'Aisyiyah untuk menyebarkan pesan dan edukasi kesehatan di desa.

Pengaruh Babinsa juga tak kalah penting di desa. Kapten Inf Shokib mengatakan bentuk komitmen Babinsa antara lain melanjutkan sosialisasi penanganan kusta di wilayah masing-masing. Menurutnya, satu Koramil mencakup 15 sd 20 desa. Dengan kesatuan ini, Babinsa bersama nakes, relawan kesehatan wilayah, kader kesehatan bisa bersama-sama sosialisasi ke desa-desa.

“Kegiatan kumpul bareng kader kesehatan ada setiap minggunya, upaya penanganan kusta bisa dilakukan face to face dengan warga masyarakat yang berkumpul lewat klaster RT dan RW,” jelasnya.




Harapannya, warga desa bisa mengenali ciri penyakit kusta dan bertambah kesadarannya untuk menangani, mengobati, dan melakukan tindakan tepat terhadap pasien kusta. Dengan demikian kasus kusta bisa berkurang dengan penanganan tepat atas kesadaran bersama warga desa. Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) juga diperlakukan setara bebas stigma, berkat pemahaman publik yang lebih baik mengenai kusta.