Literasi Finansial Paling Kena dari Kaluna "Home Sweet Loan"

22.11.00 wawaraji 9 Comments


Seingat saya ada dua film Indonesia yang muatan literasi finansialnya cukup kuat, Gampang Cuan (2023) dibintangi Vino G. Bastian  dan yang terbaru Home Sweet Loan dibintangi Yunita Siregar (2024). Namun yang paling kena ke hati dan masuk di akal, HSL juaranya, dari kegigihan Kaluna si tokoh utama.

Sumpah, jadi Kaluna, buat saya enggak mudah. Bertahan bekerja kantoran setiap hari naik kendaraan umum, bawa bekal masak sendiri dari rumah (bukan dimasakin mbak atau orangtua ya), punya pekerjaan sampingan model lipstick dengan aset bibirnya yang hoki bawa cuan, dan menahan diri dari keinginan memiliki barang sekunder apalagi tersier, enggak jajan kopi setiap hari, dan masih banyak lagi penghematan lainnya.

Sosok Kaluna enggak terkesan peliit sama sekali di film HSL. Saya lupa penokohannya di buku karena saya dan suami baru ingat saat duduk di 10 menit pertama di bioskop, “Kayaknya kita punya dan dah baca bukunya deh”, kata suami.

Ternyata benar, kami sudah membaca bukunya entah kapan dan jujur agak lupa, jadi kalau ditanya sesuai enggak buku dengan filmnya, ya kami jawab sesuai aja lahhh. Sebagus itu kok film HSL yang saya pilih untuk nonton menghibur hati. Padahal, nonton HSL itu kudu siap tisu dan siap perih hati karena menyentuh kalbu sedalam itu sih. Konflik keluarga dan beban berat anak perempuan soalnya, jadi kalau yang merasa relate, bakal pedih banget sih mata selalu ada momentum yang enggak bisa banget nahan air mata mengalir hangat.



Penghematan Kaluna digambarkan dengan ciamik oleh sutradara Sabrina Rochelle Kalangie menerjemahkan kisah novel karya Almira Bastari. Fokusnya pada tujuan finansial Kaluna dengan keseharian di kantor dari sosok Kaluna yang cantik, baik, hangat, enggak kaku di lingkungan pertemanan, pekerjaan sampai keluarga. Jadi bukan karakter perempuan pekerja kantoran yang pelit karena berhemat.

Hematnya Kaluna karena latar keluarganya yang aduh, kalau saya ada di posisi yang sama persis, juga pasti berjuang keras untuk punya hunian sendiri. Kondisi keluarga Kaluna yang mendorong dirinya sebegitu hemat dan teratur keuangannya untuk bisa bayar uang muka KPR. 

Sampai di sini saya paham bagaimana besaran uang muka akan berpengaruh ke cicilan bulanan yang sesuai dengan kemampuan. Mimpi pun harus tahu diri, menutip Kaluna. Jadi saya paham, kalau gaji terbatas yang bayar uang muka yang tinggi supaya cicilannya ringan, dengan tenor paling maksimal. Ini sudah saya dan suami praktekkan saat memutuskan menjual rumah dan menggunakan dananya untuk membeli mobil pertama untuk mendukung mobilitas kami menjadi pekerja mandiri.

Berhubung saat saya menulis ini, filmnya masih ada di bioskop dan saya penganut no spill review, jadi sudah segitu aja tentang filmnya ya. Saya justru ingin lebih mengulas bagaimana film bisa jadi saluran edukasi finansial yang efektif. 

Alih-alih ikut kelas literasi finansial dengan presentase angka harus punya rumus tertentu dari jumlah uang penghasilan yang sebenarnya terbatas juga, saya lebih suka diingatkan kembali pengaturan keuangan dari film macam ini. Serupa seperti film Gampang Cuan yang klimaksnya adalah enggak ada yang namanya kelimpahan uang instan semua ada proses termasuk lewat investasi keuangan. Kalau di film Gampang Cuan literasi finansial melalui instrument investasi keuangan dijelaskan dengan sangat mudah diterima akal paling malas mikir pun. Saya makin mudah mengingat ulang bedanya reksadana, saham, deposito dan sejenisnya. Sedangkan kalau di film HSL, juaranya menabung dan menahan diri dari keinginan atau tren bahkan dari sekadar mengumpani ego dan gengsi pekerja kantoran dengan barang-barang flexing penguras penghasilan.

“Barang kamu ternyata sedikit banget ya, Dek”, kata kakak Kaluna di telpon saat memberitahukan Kaluna untuk kembal pulang, kamarnya sudah dibersihkan, dan keluarga ingin bertemu lagi sebelum masing-masing akan memisahkan diri hidup dengan keluarganya sendiri. Cukup sedikit kata dan dialog, digambarkan dengan Kaluna menangis tanpa suara dengan air mata mengalir dan rasa hangat di mata dan hati kalau saya membayangkannya. 

Pesannya jelas, Kaluna punya tabungan ratusan juta dari pengaturan keuangannya yang disiplin, demi bisa bayar uang muka rumahnya sendiri, dengan hidup sederhana di rumah orangtuanya tanpa punya banyak barang koleksi yang enggak dibutuhkan juga sebenarnya.


sumber: https://youtu.be/gcTSMnjQ0FU?feature=shared

Saya malu sejujurnya sama Kaluna. Darinya saya justru diingatkan kembali, saya sebenarnya harusnya bisa mewujudkan impian umroh misalnya, jika saja bisa punya manajemen finansial dan kegigihan kekuatan akal pikiran dan perasaan seperti Kaluna. Sayangnya saya masih belum bisa seperti Kaluna, enggak jajan kopi setiap hari, enggak pernah jalan-jalan ke Ancol atau tempat hiburan lainnya dengan alasan healing, dan kesenangan lainnya yang tidak Kaluna lakukan demi mewujudkan financial goalnya, punya ratusan juta di rekening untuk bayar uang muka KPR.

sumber: https://youtu.be/gcTSMnjQ0FU?feature=shared



Apakah Kaluna berhasil membeli rumah impian? Nonton aja dulu sana di bioskop. Saya bukan menulis review film, hanya ingin berterima kasih kepada Kaluna, kamu juara dan sungguh menampar saya sangat halus dan hangat, se-hangat air mata yang mengalir di bioskop malam itu.

Terima kasih ya, Dek Kaluna. Tapi maaf budget harian untuk kopi saya tetap Rp 25.000 pakai poin dan diskon di kedai langganan, bisa lebih murah di warkop punya sendiri. Nanti kalau sudah sesukses kamu dari usaha sendiri, budget Rp 40.000 sehari untuk jajan kopi, bisa lah ya!

 

 

 

You Might Also Like

9 comments:

Didik mengatakan...

Jujur, ini film sederhana tapi paling mengena karena memotret kehidupan sehari2 masyarakat kita. Masalahnya, ga setiap org mau menonton film cerdas seperti ini. Hny org2 yg mau maju dan berpikiran cerdas yg mau menonton film HSL ini.

Kesel banget di daerahku cmn bentar banget nayangin HSL. Bioskop lbh suka nayangin film horror/cinta2an drpd film mendidik spt ini. Smg sineas kita bnyk memproduksi film edukasi literasi keuangan spt ini tentu dgn tema berbeda dan penyuguhan yg berbeda pula.

wawaraji mengatakan...

Eh masa ini sederhana dan ringan bgt loh. Tayang cepat di daerah ya? Sedihhh. Pdhl keseharian bgt ga pake mikir nontonnya kok

Andiyani Achmad mengatakan...

belum nonton hiks, khawatir selesai film muka bengep karena mewek da relate banget sama real life

Ade UFi mengatakan...

Wah baca ulasan mba wawa, saya jadi mau nonton filmnya deh. Masih ada ga ya di bioskop. Saya jujur lebih tertarik film2 model gini daripada film2 hantu, atau yg berbau2 surga neraka. Film yang bener2 memperlihatkan kehidupan nyata kita. Dan kayaknya saya harus ajak anak remaja saya utk nonton nih, biar ga ikut2an gaya hidup kebanyakan anak gen z. Cari ah.. Kali masih tayang.

Fenni Bungsu mengatakan...

Saya belum nonton filmnya.
Baru menikmati dari teman² yang udah mengulasnya.
Mungkin udah turun layar kali ya sekarang?

Endah Kurnia Wirawati mengatakan...

Saya belum sempat nonton si Kaluna ini nih. Jarang-jarang ya ada film soal melek finansial. Sepertinya wajib ditonton nih. Mudah2an di Pati belum menghilang dari peredaran di bioskop lokal sini ya.

Niwanda mengatakan...

Pas banget baca review film ini sambil memeluk bukunya. Baru mau mulai baca, tapi agak nanti rencananya setelah malam, sambil menemani perjalanan dengan kereta. Kalau kata teman yang belum lama ini selesai membaca bukunya, lebih mendalam ya karakterisasi tokohnya di buku. Memang kalau sudah beda wahana, pasti ada kekurangan dan kelebihan masing-masing, ya. Tidak selalu bisa dibandingkan secara langsung.

Ire Rosana Ullail mengatakan...

Aku belum baca bukunya dan belum nonton filmnya Ka, tapi dari banyak review termasuk review ini aku jadi penasaran untuk nonton. Sepertinya masalah yang dialami Kak Luna bakalan relate sama banyak orang. Apalagi di negeri ini finansial masih menjadi persoalan yang menghantui banyak orang. Mungkin banyak cara menyelesaikan sesuai sikon masing-masing. Tapi cara Ka luna mungkin bisa menjadi salah satu inspirasi.

Lendyagassi mengatakan...

Rasanya selalu ada sosok yang relate banget sama kehidupan tuh...lebih kenak, yaa...ka Wawa.
Akupun selama ini kalo ngikutin kelas financial planner, paling lama konsisten cuma 6 bulan. Malu rasanyaa... sering berdalih self reward de el el.
Harus gigih seperti Kaluna yang lunya tujuan keuangan jelas untuk mewujudkannya.