Bertahan LDM Hanya 15 Hari Gagal Keluar Zona Nyaman

22.46.00 wawaraji 0 Comments


Gagal LDM
www.wawaraji.com


Merawat hubungan jarak jauh, sebelum maupun setelah menikah, sungguh butuh upaya ekstra dari pihak laki-laki dan perempuan, dan rasanya hanya orang pilihan yang benar-benar bisa menjalankan dengan batas waktu tertentu. Long Distance Relationship (LDR)/Marriage (LDM) nyatanya tidak berlaku untuk semua orang, apalagi pasangan yang cenderung bucin atau enggak sanggup berjauhan atau tidak berinteraksi langsung dalam waktu 1x24 jam.

Saya gagal uji coba LDM by choice, atau LDM yang memang sengaja saya dan pasangan pilih atau bahkan ciptakan dalam menyiasati keadaan. Tujuan saya dan suami (Duoraji) LDM salah satunya mencoba keluar dari zona nyaman pasangan menikah yang selalu bersama, urusan pekerjaan, hobi, komunitas, keluarga, apalagi jalan-jalan. Kami tidak pernah bosan bersama karena selalu ada aktivitas juga topik atau bahan diskusi. Bahan obrolan receh, ringan, sedang sampai masalah berat baik yang ada kaitan langsung dengan kehidupan personal sampai yang sebenarnya tidak berdampak pun kami bahas. Aktivitas bersama pun cenderung bervariasi, tidak terjebak dalam rutinitas yang membosankan lantaran punya agenda berbeda setiap harinya. Komunikasi antarpribadi jadi kunci kehangatan kehidupan berpasangan kami terutama setelah menikah.

Keadaan lain yang jadi sebab LDM 15 hari adalah karena suami punya pekerjaan baru sebagai fotografer tim dokumentasi caleg di Jakarta Timur selama dua bulan. Pekerjaan yang cukup menyita waktu dari pagi sampai petang. Setelah bertahun-tahun kami memilih tidak mencari nafkah dengan jam kerja penuh waktu, akhirnya suami menjalani lagi cara ini. Alhasil tersisa hanya 12 jam untuk bersama, itu pun dipotong waktu tidur 6-8 jam. Waktu yang teramat singkat untuk kami berbincang segala urusan berdua. Komunikasi pasutri jadi berbeda dan tak biasanya.

Akumulasi keadaan ini kemudian jadi alasan untuk akhirnya saya memilih mengasingkan diri di Bandung. Melalui sejumlah perencanaan seperti mencari kamar kosan untuk satu bulan, menghitung dana yang dipunya dan perkiraan pengeluaran selama jadi anak kosan, hingga efisiensi transportasi bolak-balik Jakarta-Bandung karena memang ada sejumlah agenda pekerjaan tidak berbayar di Bandung, sebagai bentuk komitmen dan dedikasi untuk organisasi kesayangan, Komunitas Bloggercrony Indonesia. Ditambah lagi, memang sudah waktunya saya fokus diri sendiri menyusun tesis yang terbengkalai sejak Juli 2023. Bandung menjadi kota pengasingan sementara. Akhirnya, LDM menjadi pilihan karena rentetan keadaan.

Mengakhiri LDM

Beruntung saya punya teman baik yang sebenarnya sih ingin sekali dianggap adik oleh pasangan akang teteh terbaik di Ledeng, Bandung. Teteh Ima dan Kang Holis panggilannya. Bapak Haji Ibu Hajah ini baik sekali berkenan menampung saya di kamar khusus yang istimewa. Bukan perkara kamar tidur yang punya kamar mandi di dalamnya. Tetapi kamar ini merupakan kamar almarhumah Amih, ibunya teteh Ima, tokoh masyarakat di Ledeng, ibu 12 anak dengan perjalanan luar biasa, berusia sampai 100 tahun, berpulang tenang meninggalkan anak cucu cicit dengan segala kebaikannya. Saya takjub bisa diterima dan diperbolehkan tidur di kamar Amih dan merasakan limpahan perhatian kasih sayang keluarga Ledeng Bandung.

Kehangatan keluarga Ledeng Bandung bikin saya betah dan bertahan 15 hari terpisah jarak dari suami. Saya tidak punya to do list atau agenda padat selama di Bandung, biarlah semua mengalir apa adanya, fokus utamanya adalah tesis. Namun, saya punya simpanan postingan café atau tempat WFC di Bandung yang tiada habisnya. Anehnya, rumah Ledeng bikin saya betah di dalam kediaman tak ingin beranjak ke mana pun padahal sangat mudah berkeliaran seputaran Dago bahkan Lembang. Terlalu banyak destinasi menarik di seputaran kosan kawasan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Mungkin, seandainya tak ada kehangatan ini di Bandung yang dingin saat hujan, dengan suasana beda syahdunya, bikin saya ingin cepat pulang bareng suami yang sempat berkunjung satu hari untuk urusan komunitas.

Saya bertahan, meski hanya 15 hari LDM-an. Sejumlah urusan selesai, lagi-lagi soal Bloggercrony. Ajaibnya, saya bisa fokus menyusun tesis setidaknya ada progress, saya bisa menuntaskan bacaan, lima buku terlahap habis, dan pikiran bisa mencerna dengan terang. Kondisi yang sulit saya dapatkan di Jakarta dengan segambreng urusan kerja, komunitas, keluarga, dan tetek bengek lainnya. Membaca satu saja buku referensi tesis sewaktu di Jakarta rasanya sulit memahami maksudnya apa. Begitu di Bandung, dengan jasmani dan rohani lebih tenang, mudah sekali memahami isi buku itu. Tesis memang jauh dari harapan penyelesaian, namun saya bangga dengan diri sendiri bisa berproses satu demi satu. Kuncinya, saya lebih fokus dan tenang.

Namun begitu, satu hal yang pasti saya tidak dapatkan, kehangatan pelukan suami dan kenyamanan berbincang, komunikasi terasa mati selama LDM 15 hari. Janji berkabar lewat Whatsapp hingga sleep call sebatas rencana tanpa ada manifestasinya. Video call sebatas formalitas. Saya berkesimpulan, sepertinya kami terutama suami, bukan tipe yang bisa berkomunikasi melalui media komunikasi digital. Saya akhirnya yakin seyakinnya, suami hanya asyik jadi teman bicara dengan komunikasi tatap muka. Zona nyaman saya teruji. Melakukan sesuatu yang melawan zona nyaman komunikasi tatap muka bersama pasangan, sungguh menganggu. Bahkan fisik pun terganggu. Batuk tak juga reda meski sudah melahap habis satu botol obat yang dibeli di apotek selagi di Bandung.  Tak ada demam apalagi flu, tenggorokan pun tak terasa sakit parah, batuk tiada akhir menemani selama sendirian di kamar kosan. Muncul hanya sesekali padahal cuaca Bandung tak sedingin itu yang bisa memicu alergi. Aneh.

Perkara komunikasi lewat WA yang tidak berhasil, pun karena ada kesempatan untuk pulang ke Jakarta untuk urusan pekerjaan. Akhirnya, pertahanan saya runtuh. Saya memutuskan selesai sudah mukim di Bandung, tuntaskan tesis di Jakarta saja dengan cari cara baru lagi, dan tiba-tiba batuk saya reda bahkan hilang sekejap. LDM 15 hari selesai. Saya bersiap pulang.

Sehari sebelum meninggalkan Bandung, saya kunjungi salah satu daftar café di Bandung dalam wishlist. Jala Jiva namanya, berjarak tak jauh hanya berkendara ojol 15 menit saja dari Ledeng menuju Setiabudi. Jujur, selain konsep café ini yang beda dengan labirin warna bata, saya menemukan diri sendiri di sini, lewat buku berjudul IKIGAI. Buku berbahasa Inggris itu berhasil saya lahap tuntas kurang dari 2 jam. Dua gelas kopi menemani, satu pastry, dan satu gelas Houjicha (matcha sangrai). Saya terjaga sampai malam. Bisa jadi karena kafein yang saya konsumsi sore ke malam hari, ditambah asupan otak lewat kata-kata yang kuat dari buku IKIGAI. Terlebih lagi saya berhasil menyelesaikan satu buku referensi tesis di café yang sama. Pulang ke Ledeng, saya tidak bisa tidur sampai subuh. Padahal, sudah waktunya saya bersiap pulang menuju pangkalan travel di Cihampelas, menuju Jakarta.

Mengakhiri LDM, pulang ke Jakarta, dengan tidak tidur semalaman dan hanya berhasil terlelap 1-2 jam di dalam minibus, tanpa batuk lagi sedikitpun, sungguh saya merasa seperti bocah kecil yang bersemangat ikut piknik ke  destinasi wisata untuk pertamakalinya. Keputusan melawan zona nyaman pasutri yang selalu bersama, terpisahkan kegiatan dan kota selama 15 hari, memberi saya banyak hikmah.

Benar sekali konsep IKIGAI, salah satunya mengenai temukan diri mencoba hal baru atau hal beda dari zona nyaman, dan kita akan bisa menerima diri dengan apa pun hasilnya dari percobaan itu. Ya, saya menemukan diri bahwa LDM bukan pilihan untuk Duoraji karena komunikasi pasutri yang berhasil untuk kami hanyalah tatap muka. Meski pun berkurang waktu bersama selama dua bulan, setidaknya tinggal seatap dengan lebih sedikit waktu bersama, lebih sanggup kami terima sebagai adaptasi kebiasaan baru ini. Namun memilih tinggal pisah kota sebagai cara beradaptasi dengan jadwal baru bukan pilihan tepat, setidaknya untuk Duoraji.

Tentu, cara ini tidak berlaku mutlak untuk semua pasutri. Sungguh saya berkali-kali bilang, salut untuk pasutri yang memilih LDM, bisa berkomunikasi lancar melalui bantuan teknologi, dan sanggup menjalani aktivitas bersama beda kota bahkan beda negara. Zona nyaman saya untuk selalu bersama pasangan halal, nyatanya tak bisa diganggu dengan pilihan LDM.

Mencoba menjalani LDM 15 hari, menjadi pembuktian bahwa saya mengikuti IKIGAI (follow my IKIGAI) untuk satu perkara ini, komunikasi pasutri yang harus tatap muka tanpa perantara. Dengan mengetahui ini secara pasti setelah masa percobaan, sebagai pasutri tentu kami jadi paham bagaimana harus menyikapi, menerima, beradaptasi dengan keadaaan baru. Tak ada yang salah, apalagi jika sudah dicoba dan teruji. Bertumbuh bersama pasangan nyatanya tiada akhir meski kami sudah 15 tahun menikah. Kami jadi tambah paham diri masing-masing setelahnya.

Sebenarnya kami pun bertanya-tanya, mengapa gagal LDM ini? Barangkali jawabnya sederhana, karena kami pasangan lemah yang selalu ingin bersama saling menguatkan, terutama sepeninggal anak semata wayang yang berpulang kepada pemiliknya. Keluarga Duoraji tidak utuh di bumi, terpisah jarak beda dunia, dengan dua bidadari di langit. Segala daya kami jalani untuk tetap tegar dan waras di dunia fana ini, barangkali itulah sebabnya kami sangat lemah jika terpisah jarak dan waktu karena nyatanya kami kuat hanya dengan bersama selalu, sepeninggal Dahayu.

Dan akhirnya saya bicara ke diri sendiri, tetap kuat ya ibu dengan bidadari di surgaNYA. Tak apa jika selalu bersama pasangan semata untuk saling menguatkan. 

Jakarta, 22 Desember 2023

 

 

 

You Might Also Like

0 comments: