Bertahan LDM Hanya 15 Hari Gagal Keluar Zona Nyaman
www.wawaraji.com |
Merawat hubungan jarak jauh, sebelum maupun setelah menikah,
sungguh butuh upaya ekstra dari pihak laki-laki dan perempuan, dan rasanya hanya
orang pilihan yang benar-benar bisa menjalankan dengan batas waktu tertentu.
Long Distance Relationship (LDR)/Marriage (LDM) nyatanya tidak berlaku untuk
semua orang, apalagi pasangan yang cenderung bucin atau enggak sanggup
berjauhan atau tidak berinteraksi langsung dalam waktu 1x24 jam.
Saya gagal uji coba LDM
by choice, atau LDM yang memang sengaja saya dan pasangan pilih atau bahkan
ciptakan dalam menyiasati keadaan. Tujuan saya dan suami (Duoraji) LDM salah
satunya mencoba keluar dari zona nyaman pasangan menikah yang selalu bersama,
urusan pekerjaan, hobi, komunitas, keluarga, apalagi jalan-jalan. Kami tidak
pernah bosan bersama karena selalu ada aktivitas juga topik atau bahan diskusi.
Bahan obrolan receh, ringan, sedang sampai masalah berat baik yang ada kaitan
langsung dengan kehidupan personal sampai yang sebenarnya tidak berdampak pun
kami bahas. Aktivitas bersama pun cenderung bervariasi, tidak terjebak dalam
rutinitas yang membosankan lantaran punya agenda berbeda setiap harinya. Komunikasi
antarpribadi jadi kunci kehangatan kehidupan berpasangan kami terutama setelah
menikah.
Keadaan lain yang jadi sebab LDM 15 hari adalah karena suami
punya pekerjaan baru sebagai fotografer tim dokumentasi caleg di Jakarta Timur
selama dua bulan. Pekerjaan yang cukup menyita waktu dari pagi sampai petang.
Setelah bertahun-tahun kami memilih tidak mencari nafkah dengan jam kerja penuh
waktu, akhirnya suami menjalani lagi cara ini. Alhasil tersisa hanya 12 jam untuk
bersama, itu pun dipotong waktu tidur 6-8 jam. Waktu yang teramat singkat untuk
kami berbincang segala urusan berdua. Komunikasi pasutri jadi berbeda dan tak
biasanya.
Akumulasi keadaan ini kemudian jadi alasan untuk akhirnya
saya memilih mengasingkan diri di Bandung. Melalui sejumlah perencanaan seperti
mencari kamar kosan untuk satu bulan, menghitung dana yang dipunya dan perkiraan
pengeluaran selama jadi anak kosan, hingga efisiensi transportasi bolak-balik
Jakarta-Bandung karena memang ada sejumlah agenda pekerjaan tidak berbayar di
Bandung, sebagai bentuk komitmen dan dedikasi untuk organisasi kesayangan,
Komunitas Bloggercrony Indonesia. Ditambah lagi, memang sudah waktunya saya
fokus diri sendiri menyusun tesis yang terbengkalai sejak Juli 2023. Bandung
menjadi kota pengasingan sementara. Akhirnya, LDM menjadi pilihan karena
rentetan keadaan.
Mengakhiri LDM
Beruntung saya punya teman baik yang sebenarnya sih ingin
sekali dianggap adik oleh pasangan akang teteh terbaik di Ledeng, Bandung. Teteh
Ima dan Kang Holis panggilannya. Bapak Haji Ibu Hajah ini baik sekali berkenan
menampung saya di kamar khusus yang istimewa. Bukan perkara kamar tidur yang
punya kamar mandi di dalamnya. Tetapi kamar ini merupakan kamar almarhumah
Amih, ibunya teteh Ima, tokoh masyarakat di Ledeng, ibu 12 anak dengan
perjalanan luar biasa, berusia sampai 100 tahun, berpulang tenang meninggalkan
anak cucu cicit dengan segala kebaikannya. Saya takjub bisa diterima dan
diperbolehkan tidur di kamar Amih dan merasakan limpahan perhatian kasih sayang
keluarga Ledeng Bandung.
Kehangatan keluarga Ledeng Bandung bikin saya betah dan
bertahan 15 hari terpisah jarak dari suami. Saya tidak punya to do list atau
agenda padat selama di Bandung, biarlah semua mengalir apa adanya, fokus
utamanya adalah tesis. Namun, saya punya simpanan postingan café atau tempat
WFC di Bandung yang tiada habisnya. Anehnya, rumah Ledeng bikin saya betah di
dalam kediaman tak ingin beranjak ke mana pun padahal sangat mudah berkeliaran
seputaran Dago bahkan Lembang. Terlalu banyak destinasi menarik di seputaran
kosan kawasan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Mungkin, seandainya tak
ada kehangatan ini di Bandung yang dingin saat hujan, dengan suasana beda
syahdunya, bikin saya ingin cepat pulang bareng suami yang sempat berkunjung
satu hari untuk urusan komunitas.
Saya bertahan, meski hanya 15 hari LDM-an. Sejumlah urusan
selesai, lagi-lagi soal Bloggercrony. Ajaibnya, saya bisa fokus menyusun tesis
setidaknya ada progress, saya bisa menuntaskan bacaan, lima buku terlahap
habis, dan pikiran bisa mencerna dengan terang. Kondisi yang sulit saya
dapatkan di Jakarta dengan segambreng urusan kerja, komunitas, keluarga, dan
tetek bengek lainnya. Membaca satu saja buku referensi tesis sewaktu di Jakarta
rasanya sulit memahami maksudnya apa. Begitu di Bandung, dengan jasmani dan
rohani lebih tenang, mudah sekali memahami isi buku itu. Tesis memang jauh dari
harapan penyelesaian, namun saya bangga dengan diri sendiri bisa berproses satu
demi satu. Kuncinya, saya lebih fokus dan tenang.
Namun begitu, satu hal yang pasti saya tidak dapatkan,
kehangatan pelukan suami dan kenyamanan berbincang, komunikasi terasa mati
selama LDM 15 hari. Janji berkabar lewat Whatsapp hingga sleep call sebatas
rencana tanpa ada manifestasinya. Video call sebatas formalitas. Saya
berkesimpulan, sepertinya kami terutama suami, bukan tipe yang bisa
berkomunikasi melalui media komunikasi digital. Saya akhirnya yakin seyakinnya,
suami hanya asyik jadi teman bicara dengan komunikasi tatap muka. Zona nyaman
saya teruji. Melakukan sesuatu yang melawan zona nyaman komunikasi tatap muka
bersama pasangan, sungguh menganggu. Bahkan fisik pun terganggu. Batuk tak juga
reda meski sudah melahap habis satu botol obat yang dibeli di apotek selagi di
Bandung. Tak ada demam apalagi flu,
tenggorokan pun tak terasa sakit parah, batuk tiada akhir menemani selama
sendirian di kamar kosan. Muncul hanya sesekali padahal cuaca Bandung tak
sedingin itu yang bisa memicu alergi. Aneh.
Perkara komunikasi lewat WA yang tidak berhasil, pun karena
ada kesempatan untuk pulang ke Jakarta untuk urusan pekerjaan. Akhirnya,
pertahanan saya runtuh. Saya memutuskan selesai sudah mukim di Bandung,
tuntaskan tesis di Jakarta saja dengan cari cara baru lagi, dan tiba-tiba batuk
saya reda bahkan hilang sekejap. LDM 15 hari selesai. Saya bersiap pulang.
Sehari sebelum meninggalkan Bandung, saya kunjungi salah
satu daftar café di Bandung dalam wishlist. Jala Jiva namanya, berjarak tak
jauh hanya berkendara ojol 15 menit saja dari Ledeng menuju Setiabudi. Jujur,
selain konsep café ini yang beda dengan labirin warna bata, saya menemukan diri
sendiri di sini, lewat buku berjudul IKIGAI. Buku berbahasa Inggris itu
berhasil saya lahap tuntas kurang dari 2 jam. Dua gelas kopi menemani, satu
pastry, dan satu gelas Houjicha (matcha sangrai). Saya terjaga sampai malam.
Bisa jadi karena kafein yang saya konsumsi sore ke malam hari, ditambah asupan
otak lewat kata-kata yang kuat dari buku IKIGAI. Terlebih lagi saya berhasil
menyelesaikan satu buku referensi tesis di café yang sama. Pulang ke Ledeng,
saya tidak bisa tidur sampai subuh. Padahal, sudah waktunya saya bersiap pulang
menuju pangkalan travel di Cihampelas, menuju Jakarta.
Mengakhiri LDM, pulang ke Jakarta, dengan tidak tidur semalaman
dan hanya berhasil terlelap 1-2 jam di dalam minibus, tanpa batuk lagi
sedikitpun, sungguh saya merasa seperti bocah kecil yang bersemangat ikut
piknik ke destinasi wisata untuk
pertamakalinya. Keputusan melawan zona nyaman pasutri yang selalu bersama,
terpisahkan kegiatan dan kota selama 15 hari, memberi saya banyak hikmah.
Benar sekali konsep IKIGAI, salah satunya mengenai temukan
diri mencoba hal baru atau hal beda dari zona nyaman, dan kita akan bisa
menerima diri dengan apa pun hasilnya dari percobaan itu. Ya, saya menemukan diri
bahwa LDM bukan pilihan untuk Duoraji karena komunikasi pasutri yang berhasil
untuk kami hanyalah tatap muka. Meski pun berkurang waktu bersama selama dua
bulan, setidaknya tinggal seatap dengan lebih sedikit waktu bersama, lebih
sanggup kami terima sebagai adaptasi kebiasaan baru ini. Namun memilih tinggal
pisah kota sebagai cara beradaptasi dengan jadwal baru bukan pilihan tepat,
setidaknya untuk Duoraji.
Tentu, cara ini tidak berlaku mutlak untuk semua pasutri.
Sungguh saya berkali-kali bilang, salut untuk pasutri yang memilih LDM, bisa
berkomunikasi lancar melalui bantuan teknologi, dan sanggup menjalani aktivitas
bersama beda kota bahkan beda negara. Zona nyaman saya untuk selalu bersama
pasangan halal, nyatanya tak bisa diganggu dengan pilihan LDM.
Dan akhirnya saya bicara ke diri sendiri, tetap kuat ya ibu
dengan bidadari di surgaNYA. Tak apa jika selalu bersama pasangan semata untuk saling menguatkan.
Jakarta, 22 Desember 2023
0 comments:
Posting Komentar