Stigma Memutus Akses OYPMK untuk Produktif

12.14.00 wawaraji 0 Comments



Lingkungan inklusif nyatanya masih menjadi impian sekaligus perjuangan para penyandang disabilitas agar bisa aktif dan produktif meningkatkan taraf hidupnya. Lagi-lagi, stigma yang melekat pada difabel termasuk Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) membatasi gerak untuk kembali ke masyarakat, terkurung dalam ketidakpercayaan diri, belum lagi diskriminasi dalam berbagai sisi baik pendidikan maupun akses kewirausahaan.

Ruang Publik KBR (28 September 2022), bekerja sama dengan NLR Indonesia dipandu oleh Debora Tanya, menggali fakta dan data dari narasumber Sunarman Sukamto, Amd, Tenaga Ahli Kedeputian V, Kantor Staff Presiden (KSP) dan Dwi Rahayuningsih, Perencana Ahli Muda, Direktorat Penanggulangan Kemiskiman dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas.





Data Kementerian Kesehatan RI per tanggal 24 Januari 2022, mencatat jumlah kasus kusta terdaftar sebesar 13.487 kasus dengan penemuan kasus baru sebanyak 7.146 kasus. Pada 2021 lalu, tercatat sebanyak 6 provinsi dan 101 kabupaten/kota yang belum mencapai eliminasi kusta. Hal ini mengindikasikan adanya keterlambatan penemuan dan penanganan kusta serta ketidaktahuan masyarakat tentang tanda kusta. Tak hanya itu, stigma terhadap penyakit kusta juga membuat kesadaran untuk memeriksakan diri orang dengan gejala kusta menjadi rendah. Akibatnya penularan kusta terus terjadi dan kasus disabilitas kusta tinggi.

Bukan hanya stigma dan rendahnya pemahaman mengenai penyakit kusta, faktanya yang terjadi dari cerita pengalaman OYMPK adalah terjadinya pengabaian. Ada pemisahan ruang penghidupan antara orang yang sedang mengalami juga OYPMK. Inilah yang menambah beban masalah penanganan kusta di Indonesia. Terjadi permasalahan psikologis, sosial, ekonomi yang dialami OYPMK.

Berikut ini beberapa catatan yang perlu jadi perhatian agar OYPMK bisa produktif dan meningkatkan taraf hidupnya:

Perlu langkah kolaboratif; Pemerintah perlu bertindak dengan langkah kolaboratif lintas Kementerian dan Lembaga untuk menangani masalah multidimensi ini. Sunarman mengatakan, perlu ada upaya dan kesadaran bersama dengan pendekatan multidimensi melalui kerjasama lintas sektor untuk disabilitas dan OYPMK mulai dari Pemerintah Daerah, pihak swasta, termasuk melibatkan agen perubahan dari OYPMK.

Putus rantai kemiskinan; Tingkat kemiskinan penyandang disabilitas termasuk OYPMK terbilang tinggi dibandingkan nondisabilitas. Namun menurut Dwi Rahayuningsih, kondisi ini terjadi lebih karena keterbatasan akses berkontribusi dan berpartisipasi dalam aktivitas sosial maupun kegiatan produktif lainnya. Keterbatasan akses ini juga mempengaruhi tingkat pendidikan dan akses ketenagakerjaan juga kewirausahaan. Terbatasnya aksesibilitas penyandang disabilitas inilah yang mempengaruhi tingkat kemiskinan.

Stop diskriminasi; Terbatasnya akses disabilitas termasuk OYPMK terhadap modal dari lembaga keuangan untuk berwirausaha juga dipengaruhi adanya diskriminasi akibat minimnya pemahaman tentang kusta. Masyarakat dan berbagai pihak perlu membongkar keyakinan yang memisahkan ruang hidup dan kehidupan penyandang disabilitas termasuk OYPMK. Para penyandang disabilitas perlu mendapatkan dukungan dan advokasi untuk bisa berdaya dan membawa hidupnya lebih aktif dan produktif. Perlu ada gerakan kesadaran bersama untuk tidak lagi melakukan pengabaian terhadap para penyandang disabilitas.

Edukasi dan sosialisasi penyakit kusta; Perlu dilakukan edukasi dan sosialisasi terus menerus dengan komunikasi yang efektif kepada publik mengenai penyakit kusta. Termasuk bagaimana pengobatannya dan cara merawat pasien kusta serta apa yang semestinya dilakukan keluarga dan masyarakat. Ketidakpahaman masyarakat tentang kusta inilah yang menyebabkan stigma dan diskriminasi tetap ada, diperparah dengan pengabaian dan pemisahan ruang hidup serta pembatasan akses pendidikan, usaha, bahkan beraktivitas secara sosial terhadap OYPMK.

Kenali Kusta; Jika mendapati gejala kusta segera periksakan diri dan keluarga ke puskesmas terdekat, dapatkan perawatan dan obat yang sesuai. WHO mengkategorikan kusta sebagai penyakit tropis yang terabaikan (neglected tropical disease). Penderitanya perlu menjalani terapi obat dalam kurun waktu tertentu.


NLR Indonesia dalam iklan layanan masyarakat menjelaskan bahwa kusta tidak begitu saja menular jika tidak kontak minimal 20 jam berturut-turut selama satu minggu dengan pasien kusta yang belum berobat atau kontak dengan keluarga yang tinggal serumah. Jika pasien kusta yang tinggal serumah sudah diobati atau mengonsumsi obat dosis tunggal, tidak perlu khawatir pasien menularkan kuman kusta.

Itu sebabnya perlu segera berobat jika mendapati gejala kusta, bukan dengan memisahkan ruang hidup penderitanya. Kusta tidak dengan mudahnya menular dan bisa menular jika terjadi kontak yang cukup lama. Kusta tidak akan menular hanya dengan bersalaman, duduk bersama, bahkan berhubungan seksual dengan penderitanya, pun tidak menular dari ibu ke janinnya.

Melansir dari Kompas.com dan alodokter berikut informasi tentang kusta yang perlu diketahui agar bisa segera bertindak tepat jika mendapati ada yang terinfeksi di lingkungan kita:

Kusta atau lepra adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yaitu bakteri yang tahan asam dan berbentuk batang. Kusta termasuk penyakit infeksi menular kronis yang menyerang sistem saraf, kulit, selaput lendir hidung, dan mata sehingga dapat menyebabkan kerusakan parah dan cacat signifikan jika tidak terobati dengan tepat. Pengobatan yang tepat akan membuat penderitanya sembuh total dan bisa kembali hidup normal. Gejala pada penderita kusta di antaranya:

- Kulit mati rasa, tidak bisa merasakan suhu, sentuhan, tekanan, nyeri
- Kulit tidak berkeringat
- Kulit terasa kaku dan kering
- Luka yang tidak terasa nyeri di telapak kaki
- Bengkak atau benjolan di wajah dan telinga
- Saraf membesar, biasanya di siku dan lutut
- Otot melemah, terutama pada otot kaki dan tangan
- Alis dan bulu mata hilang permanen
- Mata menjadi kering dan jarang mengedip
- Mimisan, hidung tersumbat, atau kehilangan tulang hidung
- Bercak-bercak putih seperti panu di kulit tidak gatal atau sakit
- Sensasi kesemutan atau mati rasa di tangan dan kaki

sumber: Infopublik 



Obat antibiotik resep dokter
Berdasarkan gejala dan tingkat keparahan pasien, dokter akan melakukan pemeriksaan lanjutan seperti hitung darah lengkap, tes fungsi hati, tes kreatinin, dan biopsi saraf. Untuk pengobatannya, di Indonesia menerapkan terapi multiobat antibiotik biasanya dengan mengkombinasikan dua obat antibiotik atau lebih. Contoh obat antibiotik yang digunakan untuk pasien kusta antara lain Rifampicin, Dapsone, Clofazimine, Minocycline, Ofloxacin. Namun tentu saja konsumsi obat harus berdasarkan resep dokter dari hasil pemeriksaan medis.

You Might Also Like

0 comments: