Dukung Penyandang Disabilitas Siap Bekerja di Sektor Formal

17.42.00 wawaraji 0 Comments

RUANG PUBLIK KBR


Perhelatan olahraga Asian Para Games 2018 boleh jadi membawa dampak luas untuk penyandang disabilitas. Kepedulian dan pemahaman publik terhadap hak disabilitas dan asas keadilan penyandang disabilitas untuk diperlakukan setara, terlihat nyata di ajang Para Games. Kita menyaksikan sendiri bagaimana atlet penyandang disabilitas mampu berkiprah di berbagai cabang olahraga. Bukan hanya itu, saya pun menyaksikan sendiri kawan penyandang disabilitas yang berprofesi sebagai fotografer ikut mendokumentasikan ajang olahraga Para Games ini. Artinya, penyandang disabilitas memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk berkiprah di sektor formal, bukan hanya informal atau pekerja mandiri/wirausaha. 

Talkshow Ruang Publik KBR live streaming di YouTube Berita KBR yang dipersembahkan oleh NLR Indonesia, pada 30 Juni 2022 kembali menambah pemahaman mengenai tantangan para penyandang disabiltas. Topik kali ini mengenai Rehabilitasi Sosial yang Terintegrasi untuk OYPMK & Disabilitas Siap Bekerja. Menghadirkan dua narasumber, Sumiatun S.Sos, M.Si dari Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kemensos RI dan Tety Sianipar selaku Direktur Program Kerjabilitas, talk show yang dipandu penyiar Ines Nirmala membuka lagi mata untuk kita lebih memberi ruang berdaya untuk penyandang disabilitas termasuk OYPMK (Orang Yang Pernah Mengalami Kusta).




Stigma masih menjadi akar masalah bagi penyandang disabilitas untuk berdaya bekerja di sektor formal. Pada akhirnya sektor informal seperti wirausaha menjadi pilihan yang paling nyaman untuk penyandang disabilitas. Stigma berakar dari ketidaktahuan dan atau kekurangpahaman berbagai pihak terkait potensi dan kompetensi penyandang disabilitas. Padahal, penyandang disabilitas memiliki kemampuan bekerja di sektor formal terlebih lagi bagi yang menuntaskan pendidikan sarjana inklusif di perguruan tinggi nasional. 

Tety menyebutkan sejumlah perusahaan ritel telah mempekerjakan penyandang disabilitas yang memiliki kompetensi di sektor formal. Minimarket dan hotel disebutnya sebagai sektor ritel yang memberikan hak bekerja setara terhadap penyandang disabilitas. 

“Stigma masyarakat bahwa disabilitas tidak bisa bekerja, tidak bisa keluar rumah. Kebanyakan meragukan bukan diskriminasi. Perusahaan tidak punya pemahaman bahwa disabilitas bisa bekerja,” lanjut Tety.



Ketidakpahaman ini juga yang membuat perusahaan ragu merekrut penyandang disabilitas, bahkan beberapa di antaranya tidak tahu kalau bisa menyerap tenaga kerja disabilitas lulusan sarjana. Faktanya, universitas ternama di Indonesia memiliki program inklusi yang memberikan hak pendidikan kepada penyandang disabilitas untuk meraih gelar S1, sebut saja UIN Jogjakarta dan Universitas Brawijaya Malang.

Selain adanya perusahaan ritel yang juga memiliki karyawan penyandang disabilitas, fakta lain yang perlu diketahui perusahaan adalah tingginya produktivitas dengan lingkungan bekerja heterogen di mana penyandang disabilitas termasuk di dalamnya. Sebuah penelitian di luar negeri, kata Tety, melaporkan bahwa ketika disabilitas masuk lingkungan kerja, kondisinya menjadi lebih beragam dan tingkat produktivitas meningkat serta relasinya semakin kuat. 

Menurut Tety, perusahaan di sektor formal perlu mendapatkan pemahaman mengenai disabilitas. Bagaimana cara penyebutannya dengan tidak lagi menggunakan sebutan cacat dan normal, etika berinteraksi dan perlakuan etis berkeadilan sesuai kemanusiaan. Inilah kemudian yang menjadi ranah Kerjabilitas sebagai inisiatif memfasilitasi penyandang disabilitas untuk berdaya dengan meningkatkan kompetensinya. “Kerjabilitas membantu penyandang disabilitas yang punya kompetensi, skill dan niat untuk masuk ke sektor formal,” lanjutnya. 

Kemampuan penyandang disabilitas untuk bekerja di sektor formal juga diakui Sumiatun. Kesempatan bekerja di sektor formal dapat terbuka lebar dengan menghilangkan stigma. 

“Kita harus hilangkan stigma, harus sadarkan masyarakat bahwa disabilitas memiliki potensi yang bisa dimaksimalkan untuk kemandirian dirinya sendiri,” katanya. 




Selain menghapus stigma, upaya nyata mendukung penyandang disabilitas untuk siap bekerja telah dilakukan pihak swasta maupun negara. Pemerintah melalui Kemensos RI memfasilitasi peningkatan kompetensi melalui program Atensi untuk pemenuhan hak disabilitas melalui rehabilitasi sosial penyandang disabilitas. Atensi atau Asistensi Rehabilitasi Sosial merupakan program untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan disabilitas agar dapat menjalankan fungsi sosialnya dengan bekal hardskill dan softskill. Tedapat 31 Balai/Sentra Terpadu Kemensos RI yang tersebar di Indonesia memfasilitasi penyandang disabilitas untuk mengikuti program Atensi ini. 

Baik negara maupun inisiatif lembaga seperti Kerjabilitas, telah bergerak memfasilitasi penyandang disabilitas untuk memaksimalkan potensi dirinya. Masyarakat semestinya bisa mengambil peran juga mendukung upaya ini dengan setidaknya menambah lagi literasi kesehatan untuk bisa menghapus stigma. Melawan stigma harus dilakukan bersama, karena inilah akar masalah dari perlakukan tidak setara terhadap penyandang disabilitas termasuk kesempatan bekerja.




Setidaknya pesan inilah yang saya tangkap dan selalu disampaikan NLR Indonesia bersama Ruang Publik KBR terutama terkait stigma OYPMK.  Saya pun mendapati pesan penting lewat ruang virtual ini bahwa OYPMK berhak mendapatkan kesempatan berkegiatan di ruang publik bukan dikucilkan. Kalimat ini terekam di memori saya sepanjang mengikuti talk show virtual, “Kusta Bukan Kutukan Bisa Disembuhkan.”

OYPMK masih mendapati perlakukan tidak setara karena pemahaman yang keliru mengenai penularan kusta dan stigma. Padahal penularan kusta tidak mudah. Orang sehat yang tinggal serumah dan berinteraksi dengan OYMPK juga tidak semudah itu bisa tertular apalagi jika terapi obat rivampisin dosis tunggal sudah dilakukan sesuai anjuran dokter. Apalagi penyakit kusta bisa disembuhkan dengan pengobatan tepat. Jadi harusnya tidak ada alasan untuk tidak menerima OYPMK di lingkungan apa pun termasuk pekerjaan formal.

Jika kita bisa mulai dari diri sendiri melawan stigma, berbagai upaya yang sudah dilakukan untuk memberikan peluang yang setara kepada penyandang difabilitas untuk bekerja, semoga bisa memberikan hasil lebih baik. Selain tentunya masih tetap dibutuhkan penegakan aturan mengenai hak disabilitas. 

Kebijakan dan inisiatif pemenuhan hak penyandang disabilitas, dibarengi kuatnya penegakan aturan  serta tingginya kesadaran masyarakat melawan stigma, rasanya menjadi impian setiap manusia yang ingin berdiri setara dengan hak yang tidak dibeda-bedakan, untuk bisa hidup maksimal.

You Might Also Like

0 comments: