Menyikapi Penyakit

21.01.00 wawaraji 2 Comments


Jujur, saya masih belajar soal menyikapi apa pun yang datang dalam kehidupan saya pribadi. Perihal kehidupan orang lain, apa yang terjadi pada hidup orang lain, jika saya mendengarnya sengaja atau tidak sengaja, cukup jadi pembelajaran sambil berusaha tidak menghakimi. 

Jujur, batasan sombong manusia itu tipis sekali, ketika mengomentari sesuatu atau menyikapi sesuatu dengan menuliskannya atau membicarakannya, bisa terlihat kadar sombong manusia. Bisa sangat terukur apakah dia seakan maha tahu paling benar, baik tersirat maupun jelas tersurat. Jadi, sebisa mungkin tidak menghakimi dan atau hati-hati bicara, menulis, berkomentar, buat saya, penting!

Kenapa urusan berhati-hati dalam menyikapi sesuatu jadi sangat serius buat saya? Barangkali karena orientasi hidup saya berbeda. Begini rasanya kalau separuh jiwamu sudah pergi berpulang mendahuluimu, bertemu Allah SWT sang pencipta. Saya berusaha kuat dalam iman, meyakini saya tidak berhak marah dan sedih berlebihan dengan kepergian Dahayu, anak semata wayang. Saya berusaha kuat dalam iman meyakini, Dahayu milik Allah, anak itu titipan bukan? Ketika pemiliknya mengambilnya, apa hak saya untuk marah atau sedih tak berkesudahan? Apakah saya tidak sedih? Tentu sedih, pada waktunya, dan hanya saya dan suami yang paham rasanya dan kapan itu terjadi, tak perlu jadi konsumsi publik. 

Barangkali, karena saya yakini dalam iman, anak saya bersama Allah di surga, saya jadi punya orientasi baru, hidup untuk mendapat berkahNya, hidup sesuai apa yang disukainya (ini pun terus berusaha memaknai apa dan bagaimana cara mengetahui bahwa Allah suka dan ridha atas apa yang saya lakukan di bumiNYA). Hidup meninggalkan kebaikan dan hal baik, sebisa mungkin menghindari konflik dan permusuhan. Kalau pun saya dimusuhi, berusaha menerima dan memaafkan.  Berusaha sekuat iman untuk tidak marah dan bermusuhan, dan atau membenci yang membuat Allah marah dengan sikap saya yang tidak mencerminkan akhlak terbaik ajaran Nabi Muhammad. 

Seserius itu ya dalam bersikap? Iya. Saya ingin hidup berakhir husnul khotimah, dan itu butuh usaha. Berusaha tidak terbawa arus netizen yang kadang bikin amarah dan benci membuncah, berusaha sabar dan tidak berbawa arus post truth saat informasi banyak sekali terdistorsi. Berusaha kuat dalam iman tidak terjebak dalam debat kusir dan atau perselisihan asumsi dan perang persepsi di dunia maya, adalah cara-cara yang saya pilih dalam rangka mencapai ridhaNya, supaya Allah ridha atas saya, dan doa saya bertemu kesayangan di surga, dikabulkannya. Jadi saya pamrih? Sebisa mungkin semua dijalani ikhlas, namun rindu menggebu saya kepada anak yang pernah dititipkan, menjadi motivasi tersendiri. Coba berpikir baik, bahwa inilah cara Allah membalikkan hati, untuk saya terus berusaha sekuat iman berbuat baik dan atau berpikir baik atas apa pun yang terjadi dalam hidup saya. 




Sampai di sini, harusnya sudah jelas kenapa saya suka sekali menulis isi pikiran yang berusaha positif dan memaknai segalanya dengan mencari hikmah kebaikan dari apa pun yang saya jalani. Mungkin sebagian orang berpikir, saya sok suci atau berlagak baik positif. Sesuai nilai hidup saya, pikiran seperti itu saya abaikan. Terus berusaha berpikir baik atas apa pun persepsi orang. Saya percaya, tulisan yang dibuat dengan hati, punya roh dan semangatnya akan sampai kepada pembacanya. 

Saya cuma mau bilang, saya sedang melatih diri untuk selalu berpikir baik atas apa pun yang terjadi dalam hidup. Dengan begitu, saya hidup waras, setelah berpisah selamanya dengan anak semata wayang. 

Termasuk berpikir baik tentang penyakit. Sebelumnya saya pernah menulis Menyikapi Kematian. Bahwa kematian adalah bagian dari hidup dan sudah menjadi takdir yang harus diimani. Beruntung saya terpapar ilmu dari para guru yang membuat kehidupan beragama saya sangat menyenangkan. Setelah buku Nikmatnya Kematian oleh Prof Dr Quraish Shihab, saya terpapar ilmu Gus Baha dari Youtube yang juga menyikapi kematian dengan sangat ramah. Bahwa hidup dan mati sudah diurus diatur oleh Allah. Kita bisa hidup karena Allah. Lalu kita mati ya kenapa harus khawatir, semua sudah diatur dan diurus oleh Allah. Kenapa harus khawatir bagaimana keluarga nanti kalau kita mati? Lha wong hidup susah senang saja sudah diurus Allah kok, lha kalau kita mati, ada Allah yang akan mengatur segalanya untuk kita dan keluarga yang ditinggalkan. Sulit untuk memahaminya kalau tidak belajar konteks penuh. Intinya, mati itu pasti dan untuk apa khawatir mati? 

Lantas apa saya tidak takut mati? Saya takut mati kalau bekal saya belum cukup dan dosa saya belum sepenuhnya diampuni. Pun dengan ketakutan itu, saya berserah, kalau pun Allah tentukan saya mati, ya sudah, terima. Lha sudah mati kok, ya mau apa, tiada daya.  Serahkan segalanya kepada Allah yang Maha Tahu. 

Terkait mati, ada hubungannya dengan penyakit? Saya selalu meyakini meninggalnya Dahayu, anakku semata wayang, melalui sakit dan perawatan RS 6 hari, adalah cara Allah mengambil milikNya. Kalau tiba-tiba mati, mungkin saya akan lebih shock. Melalui penyakit dan sakit beberapa hari, yang sebenarnya terbilang tiba-tiba saja sakit, dan meninggal dengan proses yang sangat mengiris hati jika mengingatnya, ya memang sudah takdir dan jalan Allah demikian adanya, tiada daya. 

Sejak itu, saya melihat penyakit dengan perspektif berbeda. Penyakit (sama seperti musibah) bukan hukuman, tapi maknai dengan penggugur dosa. Yakini bahwa sakit dan penyakit yang datang itu, jika diterima dengan sabar, tiada daya, serahkan urusan kepadaNya sambil terus berusaha sembuh dengan perantara dokter dan obat, adalah bagian dari penggugur dosa. Keyakinan ini membuat hati saya senang pikiran tenang. Kenapa?


Saya sangat sadar diri, dosa masa lalu saya teramat banyak. Entah bagaimana cara mengetahui bahwa Allah sudah mengampuni. Berusaha sabar atas musibah, atas penyakit, atas masalah yang datang menghantam, berusaha memaaafkan orang yang menyakiti dan berusaha membangun relasi positif, semoga menjadi cara penghapusan dosa. 

Namun tentu saja, penyakit adalah peringatan bahwa ada sikap lalai dari manusia atas tubuhnya. Kurang baik dalam memelihara badan dan kesehatan. Kurang memberi hak tubuh untuk beristirahat, makan, dan ketidakmampuan mengelola stres yang menganggu pikiran sehingga akhirnya menggerogoti kesehatan fisik. Ini jelas peringatan untuk diperbaiki bukan disesali dan atau dijadikan penyesalan yang hanya akan memperburuk kondisi mental. Penyakit juga harus dipahami faktor risikonya, sekaligus jadi peringatan. Bahwa ada faktor eksternal yang menyebabkan penyakit itu datang menjadi ketentuanNya atas kita. Bisa karena genetik, bisa karena faktor risiko dari lingkungan yang tidak sehat dan ini semestinya menjadi perhatian bersama untuk hidup sehat secara komunal. Penyakit datang selain karena ketentuanNya, tentu banyak faktor risikonya. Kenali, pahami, dan perbaiki. Sekali lagi perbaiki, bukan untuk menyalahkan kondisi dan menyesalinya. 

Penyakit utamanya adalah ujian kesabaran. Kalau bersabar dengan penyakit yang ditentukan terjadi pada kita, bersabarlah. Menerima dan bersabar dengan prosesnya, dengan pengobatannya, dengan ikhtiar sembuh lewat perantara medis. Juga menjadi kesempatan istirahat dan menjalin lagi hubungan batin kepadaNya. 

Jadi, kalau ada yang mengaitkan penyakit sebagai "hukuman" atau "bayaran semesta" karena kesalahan yang diperbuat dalam urusannya dengan relasi manusia (padahal bisa jadi orang sakit itu sudah berbuat sebaiknya kepada sesama), karena kita bekerja dengan perhitungan dan atau tidak melakukan pekerjaan dengan dedikasi tinggi, ikhlas maksimal (padahal bisa jadi orang sakit itu sudah sangat maksimal yang akhirnya jadi sakit). Alihkan saja pikiran, bukankah penyakit juga ditentukan oleh Tuhan terjadi atas seseorang dengan banyak tujuan? Kalau ada pernyataan seperti ini, sikapi baik saja. Jangan menyalahkan diri sendiri karena sakit itu sendiri sudah butuh kekuatan sabar luar biasa menjalaninya, jangan tambahkan dengan menyalahkan atau menyesali diri. Ambil baiknya saja, agar tidak menjadi manusia sombong yang merasa sudah berbuat baik, sudah bekerja baik, tidak punya kesalahan, tidak punya dosa. 

Sakit dan penyakit sungguh membawa ujian kesabaran maha dahsyat. Belum lagi harus bersabar dengan penyakit dan pengobatannya. Orang sakit juga harus bersabar dengan banyak persepsi manusia lain yang menyertai, bahkan membaca, mendengar, bahkan menerima langsung pernyataan-pernyataan dan atau nasihat-nasihat, yang seakan menuduhkan kesalahan pada si sakit. 

Bersabar dalam sakit sungguh ujian kehidupan sebenarnya. Bersabar bukan hanya dengan penyakit dan pengobatannya, tapi bersabar dengan respons orang-orang yang kadang merasa paling benar dan ucapannya adalah yang paling tepat disampaikan, di hadapan orang sakit sekali pun. 

Empati boleh jadi makin mati. Namun tak perlu menyesali kondisi pun menyalahkan orang lain. Biarkan dan maklumi, jadikan respons manusia sebagai ujian sabar saat sakit. Ketika lolos dengan kesabaran maha dahsyat ini, semoga harapan Allah ridha atas kita, terkabul. Harapannya, berakhir dalam keadaan baik, berpikir baik, menerima dengan baik, kembali kepadaNya dengan cara baik. Bukankah itu makna husnul khotimah? Karena sakit dan penyakit, bisa saja menjadi jalan menuju Nya. Bagaimana menyikapi sakit dan penyakit, akan mementukan akhir perjalanan hidup kita. 

Jadi, terima kasih kepada siapa pun yang menguji kesabaran lewat perkataan. Melalui ucapan-ucapan dan sikap itulah, ujian kesabaran sakit menjadi semakin besar. Jika mampu melampaui, dengan keberserahan dan berpikir baik atas apa pun yang Allah datangkan kepada kita, semoga penyakit membawa faedah terbaik. 

Jika penyakit menjadi jalan menuju kematian, maka dengan bersabar dan berpikir baik atas ketentuan Allah atas kita lewat penyakit, apa pun itu, semoga doa husnul khotimah, dikabulkanNya. Berakhir baik lewat penyakit yang Tuhan berikan sebagai ketentuanNya, karena bersabar dan menyerahkan urusan dengan terus berusaha berpikir baik dan positif, serta berprasangka baik terhadap siapa pun termasuk kepada Allah yang menentukan seseorang sakit dengan apa pun penyakitnya, dan berakhir untuk berpulang lewat sakitnya. 

Jika sembuh, maka penyakit akan menjadikan kita manusia yang naik kelas lagi. Allah yang mengangkat penyakit sekaligus derajat si orang sakit, karena bersabar, berpikir dan berprasangka baik, serta menyerahkan segala urusan kepadaNya dengan tetap ikhtiar tentunya. 









You Might Also Like

2 comments:

nurul rahma mengatakan...

Penyakit utamanya adalah ujian kesabaran. Kalau bersabar dengan penyakit yang ditentukan terjadi pada kita, bersabarlah. Menerima dan bersabar dengan prosesnya, dengan pengobatannya, dengan ikhtiar sembuh lewat perantara medis. Juga menjadi kesempatan istirahat dan menjalin lagi hubungan batin kepadaNya.

Mbak Wawaaaaa, aku setuju banget dgn kalimat ini. Kita memang harus ridho dan tawakkal sedari awal. sehaaat sehaaattt ya Mbaaaa

Wardah Fajri mengatakan...

Iya mba Nurul.... ridha dan tawakkal ilmu mahal yaaaaa.