Darurat Kabut Asap, Sesak Nafas Saat Terpapar di Palembang
Ya! Palembang. Saya tidak sedang berada di Riau, Pekanbaru yang terkena dampak langsung Darurat Kabut Asap akibat kahutla. Kota Palembang terpapar kabut asap yang tak hanya membuat langitnya terlihat putih tanpa awan biru, tapi juga udara yang terhirup berbau tajam. Bahkan Kompas.com menuliskan status kualitas udara di Palembang masuk kategori bahaya. Status ini tercatat satu hari (15/9) setelah saya terkena serangan asma saat sedang bertugas di Palembang.
Kondisi udara buruk sudah menjadi kekhawatiran warga setempat. Obrolan dengan beberapa pengemudi taksi memberikan saya banyak fakta, tentang bagaimana warga Palembang bertahan terpapar asap. Melihat teman-teman saya di Palembang sehat dan semangat beraktivitas, awalnya saya tidak melihat kekhawatiran bagaimana dampak kabut asap. Namun saya sempat sekadar bertanya ke teman saya, Nina, kenapa belum banyak yang pakai masker? Saya pun tidak memakai masker saat berada di ruang terbuka sekitar pukul 15:00 – 17:00 pada 13 September 2019.
Sebenarnya tanda awal udara buruk sudah muncul saat penerbangan keberangkatan dari Soekarno-Hatta ke Palembang tertunda satu jam. Jarak pandang hanya 500 meter, kurang dari standar minimal 1000 meter untuk maskapai Citilink. Kabut asap jadi penyebab berkurangnya jarak pandang yang membuat penerbangan tertunda.
Ketika akhirnya mendarat di Palembang, saya juga belum melihat tanda-tanda serius. Hanya saja cuaca memang terasa panas, lebih karena musim kemarau panjang, katanya. Pengemudi taksi yang saya tumpangi sempat membuka jendela mobil untuk mencontohkan kepada saya bau asap tajam. Saya tak punya kekhawatiran apa pun. Meski memang lelah belum tidur lantaran saya sengaja mengambil jam terbang paling pagi pukul 06:00 WIB. Semua berjalan normal-normal saja.
Aktivitas saya di Palembang pun lebih banyak di dalam ruangan, dan atau di dalam kendaraan, semuanya ber-AC. Sampai pada waktunya saya bersama teman baik, Nina, menyempatkan ke ruang terbuka. Saya minta ditemani menelusuri river side dekat jembatan Ampera, mengambil foto dengan latar jembatan Ampera, lalu ke ikon Palembang terbaru ikan Belida, juga museum sultan Mahmud Badaruddin, setelah sebelumnya mampir berpose di depan tugu nol kilometer dan masjid agung.
Saya hitung, sekitar 2-3 jam berada di ruang terbuka tanpa masker namun kacamata selalu saya pakai. Entah, saya tak ingin melepas kacamata saya. Selanjutnya saya kembali beraktivitas di dalam ruangan dan di hotel. Keesokan paginya pun dari hotel menuju venue event, saya menggunakan mobil nyaris tidak terpapar udara terbuka. Semua berjalan normal, baik-baik, fisik saya juga baik meski mungkin tidak terlalu fit karena lelah saja bukan karena sedang sakit.
Selesai urusan pekerjaan, saya dan seorang rekan kerja, mbak Astri, makan siang di restoran dekat bandara, lagi-lagi di ruang tertutup ber-AC. Semua baik, bahkan kami lahap menikmati makan pindang Belida. Kami kenyang dan memang terasa mengantuk.
SHOCK SESAK NAFAS
Saya memutuskan berlama-lama di bandara pada 14 September 2019, sejak pukul 15:00 sampai jadwal penerbangan saya pukul 20:00, untuk (rencananya) bekerja. Namun yang terjadi justru tak pernah saya bayangkan, shock dan berusaha menenangkan diri, sampai saya pasrah.
SHOCK SESAK NAFAS
Saya memutuskan berlama-lama di bandara pada 14 September 2019, sejak pukul 15:00 sampai jadwal penerbangan saya pukul 20:00, untuk (rencananya) bekerja. Namun yang terjadi justru tak pernah saya bayangkan, shock dan berusaha menenangkan diri, sampai saya pasrah.
Sekitar pukul 15:30 saat saya dan rekan kerja menunggu waktu check in di ruang tunggu, tiba-tiba saya merasa kurang sehat. Rasanya seperti masuk angin terasa tak nyaman di punggung bagian tengah, saya mulai bersin, pilek, tiba-tiba hidung tersumbat. Terasa seperti masuk angin, saya coba atasi dengan minum jamu tolak angin cair. Biasanya badan terasa hangat dan agak baikan, namun kali ini gagal. Tiba-tiba terasa pilek dan hidung tersumbat, saya pamit ke rekan kerja untuk ke toilet membuang cairan seperti pilek. Namun di dalam toilet yang terasa adalah hidung makin tersumbat, saya sulit nafas. Kepala mulai berat dan pusing. Saya berjalan dari toilet sambil berpikir, saya harus ke klinik bandara. Sepanjang berjalan kaki, saya mulai bernafas dari mulut, sambil memastikan di mana lokasi poliklinik bandara dan meminta bantuan untuk informasikan ke rekan kerja saya kalau saya di klinik bandara.
Sambil menjelaskan kondisi saya kepada petugas kesehatan klinik bandara, saya meminta pertolongan pertama, pemasangan oksigen. Setelah menjelaskan bahwa saya terkena sesak nafas, asma kambuh, saya memang punya riwayat asma namun sejak kecil sampai usia 38 tahun baru sekali (setahun lalu) saya terkena serangan dan mendapatkan perawatan nebulizer. Ini adalah kali kedua saya menerima perawatan oksigen dan nebu akibat serangan asma mendadak. Saat terapi nebu, dua kali saya muntah. Saya masih kesulitan bernafas dari hidung, sumbatan terasa sangat kuat.
Saya bernafas dari mulut sampai akhirnya terapi nebu selesai, dan saya dirujuk ke UGD RS Myria, rumah sakit terdekat dari bandara untuk pengobatan lanjutan. Sebelum proses terapi oksigen dan nebu, petugas kesehatan memeriksakan detak jantung. Detak jantung per menit saya sempat melemah, dari 80 menjadi 97 setelah terapi nebu. Mata saya pun bengkak, ini salah satu ciri kalau saya terpapar debu. Mata saya sangat sensitif dan jika terinfeksi langsung membengkak. Namun ini hanya terjadi pada mata kanan saya. Bisa jadi kalau tidak melindungi dengan kacamata sebelumnya, bisa lebih parah dampaknya.
Itu kronologisnya, namun yang saya rasakan sesungguhnya saat itu adalah PASRAH. Saya sudah menyerahkan urusan kepadaNYA. Sungguh serangan asma dengan sesak nafas tiba-tiba, dan saya ditemani rekan kerja dan petugas kesehatan, saat sedang di bandara, adalah situasi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Saya PASRAH, menenangkan diri sambil terapi obat lewat nebulizer. PASRAH sambil berdoa, apa pun yang terjadi saya serahkan sepenuhnya kepada Allah, sesak nafas saya, bagaimana saya jadinya saat sedang jauh dari keluarga. Barangkali terkesan drama, namun sungguh saya harus menenangkan diri dengan kondisi yang tak disangka, sesak nafas dengan serangan asma mendadak dan nyaris gagal terbang pulang.
PERAWATAN IGD
Keterbatasan perawatan di klinik bandara membawa saya akhirnya ke IGD RS, rumah sakit terdekat yang jaraknya lebih dari 2 km dari bandara. Pertolongan teman blogger di Palembang, Bimo, atas perintah suami saya, memudahkan segalanya.
Setelah sesak nafas teratasi dengan nebulizer di klinik bandara, saya menuju RS dengan taksi. Setibanya di rumah sakit, saya jelaskan kondisi dan situasinya. Dokter sigap menanggapi dan saya dirawat dengan suntik dexa, termasuk pemeriksaan jantung.
Dokter Romi RS Myria menjelaskan gamblang kondisi saya. Dia menyatakan saya aman terbang dan asma telah teratasi. Dokter meresepkan obat dan memeriksakan ulang atas permintaan saya, untuk memastikan semua baik dan saya bisa terbang pulang. Dokter Romi berpesan, di Jakarta sebaiknya saya periksakan ulang ke dokter spesialis penyakit dalam.
Semua urusan perawatan di IGD, saya tak berdaya tanpa bantuan Bimo yang mengurusnya, termasuk pengambilan obat. Selain saya masih pusing dan lemas, saya masih berusaha menenangkan diri dan tidak beranjak dari ranjang perawatan IGD di rumah sakit. Semua administrasi selesai dengan BPJS. Saya tidak mengeluarkan uang apa pun lagi kecuali biaya taksi dan gojek.
Saya memilih naik gojek ke bandara untuk mengejar waktu. Boarding 19:40 sementara 18:30 saya masih di rumah sakit. Barang-barang saya yang dititip di klinik bandara masih harus dibereskan. Tiba di bandara dengan status sudah check in awal (sebelum ke rumah sakit saya menjelaskan ke petugas check in situasinya agar bisa check in lebih cepat). Saya akhirnya bisa naik pesawat dan terbang pulang.
Dua hari di Jakarta setelah serangan asma mendadak di Palembang, masih menyisakan kekhawatiran. Saya jalankan saran dr Romi untuk mendatangi dokter spesialis penyakit dalam. Dengan keluhan sakit pinggang luar biasa dan terkadang masih susah bernafas, akhirnya dokter berikan terapi obat. Paru saya dinyatakan aman, bersih. Asma juga tidak ada masalah serius. Hanya maag yang kambuh menjadi pemicu lainnya. Saya tidak perlu jalani rontgen atau terapi lainnya, cukup terapi obat saja dan kontrol seminggu ke depan (jika ada keluhan).
DAYA TAHAN TUBUH Kejadian serangan asma mendadak di Palembang lantaran terpapar kabut asap menyisakan banyak pertanyaan di kepala saya. Kenapa terjadi begitu tiba-tiba? Apa yang terjadi dengan tubuh saya? Segitu lemahnya kah atau memang situasinya sudah memburuk?
DAYA TAHAN TUBUH Kejadian serangan asma mendadak di Palembang lantaran terpapar kabut asap menyisakan banyak pertanyaan di kepala saya. Kenapa terjadi begitu tiba-tiba? Apa yang terjadi dengan tubuh saya? Segitu lemahnya kah atau memang situasinya sudah memburuk?
Sisi lainnya, saya bersyukur teman-teman di Palembang sehat kuat menghadapi kabut asap seperti itu. Sementara saya, seorang pendatang yang hanya terpapar 2-3 jam saja sudah terkena dampak udara buruk akibat kabut asap. Bisa jadi tubuh saya sedang tidak siap dengan kondisi kabut asap pekat. Seseorang dengan riwayat penyakit pernafasan bisa sangat berisiko berada di kondisi seperti Palembang saat itu.
Sambil pemulihan didampingi suami di rumah, satu per satu pertanyaan saya terjawab dari pemberitaan media televisi. Status udara buruk akibat kabut asap memang makin meluas. Riau, Pekanbaru paling parah terkena dampak langsung akibat kebakaran hutan dan lahan. Lalu kota lain mulai terpapar kabut asap seperti Jambi, Palembang, bahkan laporan dari teman-teman komunitas blogger BCC Nusantara, paparan kabut asap terasa di Kalimantan Timur, Sumatera Barat juga terpapar asap.
Saya tak sanggup membayangkan warga setempat bertahan dengan udara buruk. Saya hanya bisa berdoa untuk kesehatan dan keselamatan mereka. Namun, saya juga tak bisa diam. Mencari tahu bagaimana risiko kesehatan dan bagaimana menjaga daya tahan tubuh menjadi perhatian. Kemudian, satu tayangan berita TV tentang peliputan dampak kabut asap di Pekanbaru menjawabnya.
Wawancara reporter TV dengan salah seorang dokter spesialis paru di Pekanbaru menjawab penasaran saya. Bagaimana risiko kesehatan efek kabut asap? Bagaimana pola makan dan pola aktivitas yang dianjurkan? Semata karena saya peduli dengan mereka yang tinggal di sana, tak pantas membandingkan dengan diri sendiri yang terkena paparan sebentar saja sudah nyaris tak bisa bernafas.
Dokter spesialis paru di Pekanbaru menyampaikan beberapa catatan penting untuk warga yang terkena dampak dan atau terpapar kabut asap. Menurutnya, asap ini terdiri dari gas dan partikel. Kandungan gas dalam asap menjadi racun bagi saluran nafas yang merusak sistem pertahanan paru. Ini bisa menimbulkan banyak penyakit. Sesak hebat, batuk hebat, hingga penyakit paru. Air yang tercemar asap juga bisa menimbulkan diare. Jadi jika tanda infeksi mulai terlihat segera berobat ke dokter. Sebagai antisipasi lakukan beberapa hal ini untuk warga yang terpapar apalagi yang terkena dampak langsung kabut asap:
- Gunakan masker N95 bukan masker hijau biasa saja.
- Pastikan cukup istirahat jangan bergadang.
- Minum air putih minimal 8 gelas sehari, ini wajib, dengan kondisi udara buruk
- Terus jaga dan tingkatkan daya tahan tubuh dengan asupan baik, banyak buah dan jangan kurangi makan.
- Pastikan perputaran udara di rumah bagus, pasang terus kipas angin dan atau AC, pastikan sirkulasi udara baik.
KAHUTLA
Saya sebenarnya tak ingin banyak komentar (karena minim fakta dan data) soal KAHUTLA dan atau hubungannya dengan perusahaan SAWIT yang tidak menjalankan TATA KELOLA DENGAN BAIK. Hanya saja, jangan juga menutup mata bahwa kabut asap jelas dihasilkan dari pembakaran hutan untuk kebutuhan pembukaan lahan. Lingkaran setan membahas soal ini sebenarnya, para pihak akan merasa punya pembenaran. Saya sepakat SAWIT BAIK dan perusahaan SAWIT ada juga yang BAIK dan sudah terbukti menafkahi atau menjadi pencarian atau mensejahterakan banyak orang. Namun, melihat dari satu sisi saja takkan adil. Bahwa ada para pihak yang TIDAK MENJALANKAN TATA KELOLA PERUSAHAAN PERKEBUNAN SAWIT DENGAN BAIK, ini patut dikritisi.
Saya juga tak ingin terjebak dalam lingkaran para pihak yang hanya menyalahkan pemerintah. Saya tidak dalam posisi membela pemerintah juga. Buang energi mencari salah siapa. Lalu mencari pembenaran atas persepsi personal. Saya tak mau terjebak dalam lingkaran kebencian itu.
Saya menuliskan ini semata ingin bercerita, lihatlah dampak kabut asap ini. Saya yang hanya terpapar sebentar, bisa jadi karena SAYA LEMAH, jadi mudah terkena penyakit. Bagaimana dengan saudara kita di sana? Sungguh saya tak sanggup membayangkannya. Saya cuma berdoa semoga mereka lebih kuat dari saya. Namun, doa saya dijawab fakta berbeda. Saat saya menuliskan ini, satu berita muncul di layar TV, seorang bayi meninggal dunia karena sesak nafas di Banyuasin, Sumatera Selatan. Saya dan dia menjadi korban asap, di daerah yang terapar kabut asap. Saya masih diberikan kesempatan hidup, sementara bayi mungil itu, dia sudah kembali pulang kepada pemiliknya.
KAHUTLA semoga segera teratasi. Mohon para pihak sigap mengatasi. Semoga tak menjadi ISU YANG DIGORENG TERUS MENERUS, sampai lupa, bahwa KITA BISA melakukan sesuatu untuk saudara sebangsa. Saya (saat menulis ini) masih menunggu respons dari inisiatif ini, apakah komunitas bisa bergerak bersama? Namun rasanya tak perlu menunggu lagi. Lakukan apa yang KITA BISA. DONASI dan atau lakukan penggalangan dana, lewat saluran yang bisa kita percaya, bantu sebisanya. BloggerCare mode on! Mau bergerak bersama saya?!
4 comments:
Selamat Kak, Kakak udah merasakah langsung gimana rasanya terpapar asap pekat. Inilah kondisi yang kami alami juga di Kalimantan.
Semoga sehat kuat teman teman di Kalimantan. Semoga segera pulih udara normal lagi. Saya berdoa utk kalian.
Sungguh, nggak kebayang kak gimana yang tiap hari terpapar asap. Apalagi bagi bayi dan anak kecil !!!
Saya membacanya ikut sesak. Memang punya riwayat sesak napas juga sih. Ah, soal karhutla ini semogalah semua pihak mau mengikuti aturan.
Sehat teruslah!
Posting Komentar