Menyikapi Kematian

16.00.00 wawaraji 2 Comments





Cara menyikapi kematian. Ide ini muncul begitu saja di kepala saat sedang mencuci piring di rumah, setelah beberapa hari dalam sebulan, menerima kabar duka dari sahabat, teman, komunitas, dan guru agama di tanah kelahiranku.

Saya berani menulis soal ini lantaran saya dan suami sudah diberikan waktu belajar yang sangat berharga dari anak semata wayang kami, yang sudah berpulang mendahului orangtuanya. Izinkan kami berbagi apa yang kami rasakan dari lubuk hati yang paling dalam.

Saya sendiri belum pernah merasakan kehilangan orangtua tapi pernah mengalami kehilangan mendalam atas berpulangnya dua anak. Rasanya barangkali akan berbeda dengan apa yang suami saya rasakan, karena dia kehilangan ibu. Rasa kehilangan semakin berat bagi kami berdua, karena awal 2019, kami kehilangan sahabat yang sangat dekat.

Rasa kehilangan takkan bisa dibandingkan. Saya tak pernah berani bilang, berpisah selamanya dengan anak semata wayang lebih menyedihkan daripada berpisah selamanya dengan orangtua atau sahabat. Kesedihan karena takdir kematian bukan untuk dibandingkan.

Anak meninggal dunia menyisakan rasa 
campur aduk yang sulit sekali dituliskan rasanya. Apalagi jika melihat perjalanan saya dan suami berjuang mendapatkan amanah anak. Namun ketika kematian datang, tiada daya, sungguh manusia selemah-lemahnya makhluk. Kalau boleh saya kilas balik, saya dan suami mengalami tiga kali momen yang sangat menggetarkan hati, menyikapi mati.

Pertama, ketika anak satu-satunya, berusia 3,5 tahun divonis kritis dan koma. Momen ini menghubungkan saya dan suami sangat terkoneksi khusus dengan Allah. Sekitar pukul tiga dini hari, kami hanya berpegangan tangan dan berdoa meminta tolong, memohon Allah kuatkan. Kami berserah mana yang terbaik menurutNya, maka kuatkan kami. Jika memang yang terbaik adalah Dahayu pulang kembali bersamamu maka aliri kekuatan sekuat-kuatnya iman, beri petunjuk ke jalan yang baik jadikan kami orang-orang yang Allah rahmati. Kalau yang terbaik adalah Dahayu kembali bersama kami dengan kondisi yang mungkin serba tidak sempurna, kami meminta Allah rahmati dengan iman.

Momen kedua adalah ketika semua selang ICU sudah dilepas dan hanya ada pompa suster masih memaksimalkan bantuan nafas ke Dayu. Saat kritis yang sebenarnya sudah tak ada kuasa manusia, saya masih berikhtiar untuk meyakinkan diri sendiri. Saya masih mencari kebenaran, apakah sebagai orangtua sudah maksimal usaha yang kami lakukan? Saya putuskan menelepon dokter syaraf Dahayu, beruntung beliau menjawab. Saya benar-benar memastikan di depan Dayu yang sudah sebenarnya mungkin sudah tidak bernyawa. Saya memastikan dokter ini memberikan pernyataannya tentang ikhtiar bersama dalam perawatan Dahayu di ruang ICU. Melalui sambungan telepon, dokter menjelaskan secara medis dan dokter hanya bilang "Sabar ya Bu". Saya tutup teleponnya dan melihat sekeliling Dahayu ditemani suami dan ayah juga adikku. 


Momen ketiga adalah ketika akhirnya saya mengikhlaskan dan mengucapkan innalillahi wa inna ilaihi rojiun di hadapan Dahayu. Ketika suster sudah tidak memompakan atas perintah saya, kaku rasanya mulut untuk mengucapkan kalimat keberserahan diri. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.

Jelas saya menangis. Mengingat Allah dan berkali-kali minta tolong, berucap "Ya Allah ini yang terbaik menurutMu tolong kuatkan saya". 
Sungguh manusia tiada daya ketika kematian datang.

Koneksikan diri ke Tuhan hanya menjadi satu-satunya jalan tetap waras. Hanya 
Tuhan yang bisa membantu dalam kondisi terpuruk. Tuhan menjawab doa saya. DIA kuatkan saya dan suami, sampai selesai proses pemakaman. Saya dikuatkan memangku jenazah sepanjang perjalanan dari RS ke rumah duka. Kami dikuatkan memandikan jenazah dipandu ahlinya. Suami dikuatkan menggendong jenazah dari masjid ke makam. Kami dikuatkan menyaksikan hingga di liang lahat, menuntaskan urusan Dahayu di dunia. 

Kami dikuatkan Allah masih bisa menerima tamu yang datang memberikan doa duka. Sesekali senyum tipis, berapa kali pecah tangisan, tetapi kami bisa bilang kami di kuatkan dan Tuhan menjawab doa itu berhari-hari setelah pemakaman. Tuhan menjawab doa kami kami masih waras meski tak berkegiatan dua minggu lamanya.  

Jangan tanya apa rasanya ketika sendiri. Ketika datang waktu malam atau ketika sepi, tangis pecah dan tidak ada yang tahu kecuali saya suami dan Tuhan. Bahkan orangtua pun tidak tahu betapa pedihnya kami menjalani pascakematian anak. Tak perlu juga kami bagi duka kepada orang lain. Cukup isi hari dengan keluarga dan doa-doa, tak berbagi rasa. 

Tak ingin keluar rumah rasanya, cukup doa dan doa bersama keluarga. Perlahan saya dan suami putuskan keluar rumah dan melakukan perjalanan pertama ke Pandeglang. Dalam perjalanan, niat hati membeli buku bacaan mengisi pikiran. Buku sejarah nabi tentang bagaimana para nabi menghadapi masalahnya, dan buku tentang kematian tulisan Quraish Shihab, adalah dua buku yang saya beli di Rest Area menuju Pandeglang.

Meneladani nabi bagaimana sulitnya hidup dan mengalami juga menyikapi kesedihan, juga membaca buku Nikmatnya Kematian yang menggambarkan kematian bukan untuk ditakuti, menjadi bekal mengisi pikiran. Sejak itu fokus utama adalah loading pikiran dengan selalu ingat kepada Allah. 


Jangan melihat kematian sebagai sesuatu yang teramat menyedihkan dan membuat kita menjadi lupa bahwa mati sudah digariskan. Mengingatkan diri bahwa akan ada kehidupan setelah kehidupan dunia fana akan ada kehidupan di alam barzakh sebelum akhirnya nanti kita pertemukan kembali atas rahmat Allah. Hidup mati sudah menjadi siklus pasti, bukan sesuatu yang yang menakutkan.  

Saya belajar bagaimana menyikapi kematian. Sedih namun tetap waras untuk terus bersabar karena terpisah jarak yang tak bisa dijangkau manusia. Belajar bahwa kita tiada daya. Kematian semestinya menyadarkan betapa manusia ini sangat kecil tidak berdaya. 

Tak layak manusia menyombongkan diri karena sungguh tiada daya. Ketika Tuhan bilang mati lah kamu kembali lah kamu, selesai sudah, takkan ada yang bisa kita lakukan, sedikitpun. Kematian semestinya mengingatkan kita untuk merendah serendah rendahnya, berbuat sebaik-baiknya, karena pada waktunya tiba sebisa mungkin kita sibuk dalam kebaikan, meninggalkan sesuatu yang dzolim apalagi berbuat dzolim. Banyak caranya dan tetap istiqomah menjalankannya sungguh bukan perkara mudah. Hidup di akhir zaman menyulitkan kita menemukan kebenaran. Namun dengan rahmatNya, petunjuk dan cahaya akan selalu menemani perjalanan. 
Bagaimana menyikapi kematian akan membantu kita hidup lebih baik menurut saya. Siapa pun yang telah lebih dahulu berpulang, bagaimana kita menyikapinya dengan semakin bisa mendekatkan diri kepada Allah, itu membawa kebaikan. Allah penuhi janjiNya untuk yang ikhlas dan bersabar.  Bahkan, Allah berikan banyak hadiah dalam kehidupan yang sungguh di luar nalar. 


Selalu terucap dalam doa, semoga kita selalu diberikan petunjuk baik, berkumpul dalam barisan orang baik, orang-orang yang beriman kepada Allah dan kita bisa menyikapi takdirNya, dengan baik. Menyikapi kematian dengan menyerahkan segala urusan kepada Allah, lalu dikuatkanNya melanjutkan sisa hidup sambil menunggu giliran untuk pulang.

Selain itu, tiada cara lain yang lebih baik, menurut saya, untuk menyikapi kematian. 

You Might Also Like

2 comments:

Siwi Ragil mengatakan...

Kalau bicara kematian selalu ingat alm.emak , beliau selalu bilang "selalu ingat mati,kita gak akan hidup selamanya ".. buat aku itu jadi remainder setiap kita mau berbuat apapun,berusaha menjadi orang baik dan bermanfaat.. terimakasih sharingnya mba wawa, semoga Allah pertemukan kita dengan orang2 yang kita cintai di Surga-Nya nanti..aamiin

Wardah Fajri mengatakan...

Aamin kak siwi, amiin