Imam Perempuan Shalat Tarawih di Kampungku

00.22.00 wawaraji 7 Comments



Kampungku tak jauh dari pusat kota Jakarta. Letaknya memang di perbatasan Jakarta Selatan dan Jakarta Barat-Tangerang-Tangerang Selatan. Lahir dan tinggal di lingkungan warga Betawi asli Kreo Tangerang, membawa banyak kenangan dulu dan kesan hingga kini. Meski sempat berpindah saat kuliah dan menikah, pada akhirnya kukembali lagi ke tanah kelahiran, demi orangtua yang makin sepuh.

Banyak tradisi yang masih dipelihara di kampungku. Kebiasaan yang dipelihara warganya, yang menurutku sudah selayaknya dihargai dan dilanjutkan. Salah satunya adalah saat shalat tarawih dengan imam perempuan. 

Setiap Ramadhan ada kebiasaan yang selalu bikin kangen di rumahku. Ya, rumah ibu bapakku yang sudah ditinggalinya lebih dari 50 tahun. Rumah di pinggir jalan raya yang masih dijaga hingga kini sampai nanti, meski sudah berkali kali berubah bentuknya.

Rumah yang dibagi beberapa persennya untuk lingkungan, untuk kegiatan keagamaan. Ayah ibuku mewakafkan lahan untuk kepentingan bersama. Ibuku diwarisi kemampuan mengajar mengaji dari nenek ayahku, bahkan bisa dibilang dipaksa mengajar mengaji. Maka digunakanlah lahannya menjadi ruangan khusus mengaji. Ruang pengajian aku menyebutkan sejak kecil. Dulu ruangannya panjang dan luas, jadi tempat mengaji anak-anak, dengan ibuku sebagai pengajarnya. Mengaji baca Alquran untuk anak-anak dan remaja.

Saat ku kecil dulu, kuingat betul selepas maghrib, rumahku penuh dengan anak-anak dan remaja yang disuruh orangtuanya mengaji di rumah ibu. Kami membaca bersamaan bacaan Juzamma sebelum akhirnya kami bergiliran satu per satu membaca Al-Quran sesuai bacaan kami. 

Bagi mereka yang bisa cepat membaca tanpa banyak koreksi maka bacaannya semakin banyak halamannya. Kalau mereka yang kesulitan membaca, dan memang banyak dikoreksi pengajar, mau tau mau harus bersabar kalau bacaannya masih berulang belum bisa lanjut ke halaman berikutnya.

Bertahun-tahun, malamku seperti itu. Rindu kalau ingat ruang pengajian itu. Kini, masih ada ruang pengajian, tapi fungsinya sudah berbeda. Beberapa kali sudah beralih fungsi, pernah menjadi TKA/TPA diasuh kakak-kakakku, juga pernah kujadikan sanggar anak yang lebih modern, RUMI namanya, kependekan dari Rumah Ilmu.

Kini, ruangan itu hanya berfungsi satu, yang tak berubah dari puluhan tahun lalu. Ruangan untuk ibadah shalat Tarawih.

Bedanya, tarawih di aula rumah ini hanya untuk perempuan. Jamaah perempuan yang diimami perempuan.

Uniknya, jamaahnya setia sejak puluhan tahun silam. Ada seorang jamaah yang rumahnya persis di depan musholah tempat jamaah laki-laki dan sebagian perempuan ibadah. Bahkan ayahku dan kakak adikku sholat tarawih di sana. Tapi ibu ini justru memilih berjalan lima menit menuju aula rumah, untuk beribadah bersama jamaah perempuan lainnya.

Akhirnya kembali ke pilihan tempat ibadah. Barangkali dia merasa nyaman sholat tarawih dengan jamaah perempuan dan bersama teman sebayanya.

Shalat tarawih dengan imam perempuan, rasanya hanya kudapati di aula rumah. Sebagian besar wajah lama, dari dulu kami kecil sampai kini kami sudah menikah dan punya anak. Tetangga rumah yang shalat bersama menuntaskan 23 rakaat setiap malam Ramadhan.
Rumah kontrakanku pun sekarang dekat musholah, tapi aku tetap melangkah menuju aula rumah. Niatku beda, aku ingin memelihara kebiasaan yang unik ini. Lagipula tak ada larangan bukan kita mau sholat tarawih dengan imam perempuan atau di aula bukan musholah atau masjid?

Lalu kumulai berpikir, dengan ibuku yang sudah sakit-sakitan, dan imam lain seusianya yang juga mulai terganggu kesehatannya, dan hanya satu penerus yang masih lebih muda. Bagaimana nasib majelis taklim ini?

Aku malu, karena aku belum bisa melafalkan bacaan dengan baik. Tak sanggup kalau harus menggantikan peran imam perempuan dalam shalat tarawih.

Regenerasi. Itu yang kupikirkan kini. Entah siapa yang akan melanjutkan majelis ini. Majelis yang bikin rindu. Bukan hanya soal tradisi tapi soal sejarah di baliknya. Bahwa ibuku membangun majelis taklim, semata untuk bertumbuh belajar bersama. Kalau bisa belajar mengaji bersama orang lain kenapa harus sendirian. 

Ibuku bercerita, membangun pengajian wanita bagi ibuku adalah impiannya, agar bisa memanggil penceramah untuk menambah ilmunya. Tapi kalau bisa menambah ilmu bersama-sama kenapa harus sendiri. Alhasil dibangunlah majelis taklim olehnya, dengan harapan, bisa memanggil ustazah, memberi tausiyah, yang sebenarnya untuk menambah ilmu bagi dirinya tapi tak ingin dinikmati sendiri melainkan bisa dibagi kepada orang lain jamaah majelis taklim.

Membangun komunitas mengaji bukan perkara mudah. Perawatan aula, tikar, Al-Quran, meja, dan lainnya harus dipikirkan. Tak perlu menjelaskan bagaimana ibuku mencari dananya. Yang pasti, bantuan warga pasti ada, sumbangan datang dari mana saja, pun dari rejeki ibuku sebagai guru mengaji keliling musholah, yang tak pernah menetapkan tarif untuknya. 

Ibuku membangunnya dengan sepenuh jiwa, untuk literasi Al-Quran di kampungku. Ketika saat ini aku bisa mengaji, maka ada sejarah panjang di balik itu.


Semoga panjang umur majelis taklim ini, Allah ridha atasnya. Semoga selalu ada imam perempuan yang bisa melanjutkan shalat tarawih, satu-satunya kegiatan keagamaan yang masih berlangsung lebih dari 40 tahun lamanya. Yang pasti bukan aku, karena aku masih harus memperbaiki lafal bacaan. Kuhanya bisa menuliskan, semoga saja Allah membukakan jalan. 

You Might Also Like

7 comments:

ira duniabiza mengatakan...

Luar biasa ibunya mba Wawa. Dedikasi atas keimanan dan cita-cita mulianya. Menginspirasi dan menjadi pejuang di jalannya. Semoga sehat selalu ya Bu.

Dan soal regenarasi, hmmm, inilah dia ya mba yang selalu menjadi dilema. Dalam banyak aspek kehidupan tentu saja. Sebenarnya menurut saya ini adalah persoalan kita, generasi yang berada di tengah. Mau ke depan tapi juga tak mau meninggalkan belakang. Wallahualam. Semoga regenarasi itu menemukan garis takdirnya. :-)

Wardah Fajri mengatakan...

Amiiiin. Ibuku dah sepuh bgt yg bth dimotivasi utk selalu berpikir baik dan dekat dg Allah...usianya 77th.

Iya mbaak. Harus dipikirkan. Semoga selalu ada jalan. Skrg sih msh ada penerus tp entah nanti. Kebayang sedihnya kalau jamaah hrs pulang krn mungkin nanti gak ada lagi imam perempuan.huhu bayanginnya aja pgn nangis.

Rani Yulianty mengatakan...

ibunya mba wawa luar biasa ya, insya Allah pahala akan terus mengalir karena ilmu yang dimilikinya sangat bermanfaat, bahkan kebiasaan unik menjadikan aula rumah tempat shalat tarawih bisa menjadi amal jariah yang terus megalir

Intan Rosmadewi mengatakan...

Spirit yang sangat tinggi . . . lanjutkaan Mbak Wawa pasti bisa . . . bisa . . .

ophi ziadah mengatakan...

subhanaAllah semangat IBunya mba Wawa, saluut. Mabruuuk Ibu :)
Mba harus ada regenerasi, sayang banget klo hra terhenti...
semoga ada jalannya ya mba...

wardah fajri mengatakan...

Amiin teh Rany, terima kasih doanya

Bunda Intan, huhu aku masih kurang ilmunya

Mbak Ophi, iya amin semoga ada jalannya yah, cari menantu santriwati kali hihi

Tati Suherman mengatakan...

Memang luar biasa umur dan kondisi bukan halangan tuk beribadah. Sama seperti dirumahku, taraweh dengan imam perempuan tapi setelah ustazah meninggal udah gak ada lagi taraweh di aula. Padahal lebih khitmad tidak ada gangguan anak-anak kecil yang bercanda