Imam Perempuan Shalat Tarawih di Kampungku
Kampungku tak jauh dari pusat kota Jakarta. Letaknya memang
di perbatasan Jakarta Selatan dan Jakarta Barat-Tangerang-Tangerang Selatan. Lahir dan tinggal di lingkungan warga Betawi asli Kreo Tangerang, membawa banyak kenangan
dulu dan kesan hingga kini. Meski sempat berpindah saat kuliah dan menikah,
pada akhirnya kukembali lagi ke tanah kelahiran, demi orangtua yang makin
sepuh.
Banyak tradisi yang masih dipelihara di kampungku. Kebiasaan
yang dipelihara warganya, yang menurutku sudah selayaknya dihargai dan dilanjutkan. Salah satunya adalah saat shalat tarawih dengan imam perempuan.
Setiap Ramadhan
ada kebiasaan yang selalu bikin kangen di rumahku. Ya, rumah ibu bapakku yang
sudah ditinggalinya lebih dari 50 tahun. Rumah di pinggir jalan raya yang masih
dijaga hingga kini sampai nanti, meski sudah berkali kali berubah bentuknya.
Rumah yang dibagi beberapa persennya untuk lingkungan, untuk
kegiatan keagamaan. Ayah ibuku mewakafkan lahan untuk kepentingan bersama.
Ibuku diwarisi kemampuan mengajar mengaji dari nenek ayahku, bahkan bisa
dibilang dipaksa mengajar mengaji. Maka digunakanlah lahannya menjadi ruangan
khusus mengaji. Ruang pengajian aku menyebutkan sejak kecil. Dulu ruangannya
panjang dan luas, jadi tempat mengaji anak-anak, dengan ibuku sebagai
pengajarnya. Mengaji baca Alquran untuk anak-anak dan remaja.
Saat ku kecil dulu, kuingat betul selepas maghrib, rumahku penuh dengan
anak-anak dan remaja yang disuruh orangtuanya mengaji di rumah ibu. Kami
membaca bersamaan bacaan Juzamma sebelum akhirnya kami bergiliran satu per satu
membaca Al-Quran sesuai bacaan kami.
Bagi mereka yang bisa cepat membaca tanpa
banyak koreksi maka bacaannya semakin banyak halamannya. Kalau mereka yang
kesulitan membaca, dan memang banyak dikoreksi pengajar, mau tau mau harus bersabar
kalau bacaannya masih berulang belum bisa lanjut ke halaman berikutnya.
Bertahun-tahun, malamku seperti itu. Rindu kalau ingat ruang
pengajian itu. Kini, masih ada ruang pengajian, tapi fungsinya sudah berbeda.
Beberapa kali sudah beralih fungsi, pernah menjadi TKA/TPA diasuh
kakak-kakakku, juga pernah kujadikan sanggar anak yang lebih modern, RUMI namanya, kependekan dari Rumah Ilmu.
Kini, ruangan itu hanya berfungsi satu, yang tak berubah
dari puluhan tahun lalu. Ruangan untuk ibadah shalat Tarawih.
Bedanya, tarawih di aula rumah ini hanya untuk perempuan.
Jamaah perempuan yang diimami perempuan.
Uniknya, jamaahnya setia sejak puluhan tahun silam. Ada
seorang jamaah yang rumahnya persis di depan musholah tempat jamaah laki-laki
dan sebagian perempuan ibadah. Bahkan ayahku dan kakak adikku sholat tarawih di
sana. Tapi ibu ini justru memilih berjalan lima menit menuju aula rumah, untuk
beribadah bersama jamaah perempuan lainnya.
Akhirnya kembali ke pilihan tempat ibadah. Barangkali dia
merasa nyaman sholat tarawih dengan jamaah perempuan dan bersama teman
sebayanya.
Shalat tarawih dengan imam perempuan, rasanya hanya kudapati
di aula rumah. Sebagian besar wajah lama, dari dulu kami kecil sampai kini kami
sudah menikah dan punya anak. Tetangga rumah yang shalat bersama menuntaskan 23
rakaat setiap malam Ramadhan.
Rumah kontrakanku pun sekarang dekat musholah, tapi aku
tetap melangkah menuju aula rumah. Niatku beda, aku ingin memelihara kebiasaan
yang unik ini. Lagipula tak ada larangan bukan kita mau sholat tarawih dengan
imam perempuan atau di aula bukan musholah atau masjid?
Lalu kumulai berpikir, dengan ibuku yang sudah
sakit-sakitan, dan imam lain seusianya yang juga mulai terganggu kesehatannya,
dan hanya satu penerus yang masih lebih muda. Bagaimana nasib majelis taklim
ini?
Aku malu, karena aku belum bisa melafalkan bacaan dengan
baik. Tak sanggup kalau harus menggantikan peran imam perempuan dalam shalat
tarawih.
Regenerasi. Itu yang kupikirkan kini. Entah siapa yang akan
melanjutkan majelis ini. Majelis yang bikin rindu. Bukan hanya soal tradisi
tapi soal sejarah di baliknya. Bahwa ibuku membangun majelis taklim, semata
untuk bertumbuh belajar bersama. Kalau bisa belajar mengaji bersama orang lain
kenapa harus sendirian.
Ibuku bercerita, membangun pengajian wanita bagi ibuku adalah
impiannya, agar bisa memanggil penceramah untuk menambah ilmunya. Tapi kalau
bisa menambah ilmu bersama-sama kenapa harus sendiri. Alhasil dibangunlah
majelis taklim olehnya, dengan harapan, bisa memanggil ustazah, memberi
tausiyah, yang sebenarnya untuk menambah ilmu bagi dirinya tapi tak ingin dinikmati sendiri
melainkan bisa dibagi kepada orang lain jamaah majelis taklim.
Membangun komunitas mengaji bukan perkara mudah. Perawatan
aula, tikar, Al-Quran, meja, dan lainnya harus dipikirkan. Tak perlu
menjelaskan bagaimana ibuku mencari dananya. Yang pasti, bantuan warga pasti
ada, sumbangan datang dari mana saja, pun dari rejeki ibuku sebagai guru
mengaji keliling musholah, yang tak pernah menetapkan tarif untuknya.
Ibuku
membangunnya dengan sepenuh jiwa, untuk literasi Al-Quran di kampungku. Ketika
saat ini aku bisa mengaji, maka ada sejarah panjang di balik itu.
Semoga panjang umur majelis taklim ini, Allah ridha atasnya.
Semoga selalu ada imam perempuan yang bisa melanjutkan shalat tarawih,
satu-satunya kegiatan keagamaan yang masih berlangsung lebih dari 40 tahun
lamanya. Yang pasti bukan aku, karena aku masih harus memperbaiki lafal bacaan.
Kuhanya bisa menuliskan, semoga saja Allah membukakan jalan.
7 comments:
Luar biasa ibunya mba Wawa. Dedikasi atas keimanan dan cita-cita mulianya. Menginspirasi dan menjadi pejuang di jalannya. Semoga sehat selalu ya Bu.
Dan soal regenarasi, hmmm, inilah dia ya mba yang selalu menjadi dilema. Dalam banyak aspek kehidupan tentu saja. Sebenarnya menurut saya ini adalah persoalan kita, generasi yang berada di tengah. Mau ke depan tapi juga tak mau meninggalkan belakang. Wallahualam. Semoga regenarasi itu menemukan garis takdirnya. :-)
Amiiiin. Ibuku dah sepuh bgt yg bth dimotivasi utk selalu berpikir baik dan dekat dg Allah...usianya 77th.
Iya mbaak. Harus dipikirkan. Semoga selalu ada jalan. Skrg sih msh ada penerus tp entah nanti. Kebayang sedihnya kalau jamaah hrs pulang krn mungkin nanti gak ada lagi imam perempuan.huhu bayanginnya aja pgn nangis.
ibunya mba wawa luar biasa ya, insya Allah pahala akan terus mengalir karena ilmu yang dimilikinya sangat bermanfaat, bahkan kebiasaan unik menjadikan aula rumah tempat shalat tarawih bisa menjadi amal jariah yang terus megalir
Spirit yang sangat tinggi . . . lanjutkaan Mbak Wawa pasti bisa . . . bisa . . .
subhanaAllah semangat IBunya mba Wawa, saluut. Mabruuuk Ibu :)
Mba harus ada regenerasi, sayang banget klo hra terhenti...
semoga ada jalannya ya mba...
Amiin teh Rany, terima kasih doanya
Bunda Intan, huhu aku masih kurang ilmunya
Mbak Ophi, iya amin semoga ada jalannya yah, cari menantu santriwati kali hihi
Memang luar biasa umur dan kondisi bukan halangan tuk beribadah. Sama seperti dirumahku, taraweh dengan imam perempuan tapi setelah ustazah meninggal udah gak ada lagi taraweh di aula. Padahal lebih khitmad tidak ada gangguan anak-anak kecil yang bercanda
Posting Komentar