Bukan Hanya Warga, Dokter Juga Minta Pelayanan Kesehatan Maksimal
Bicara soal pelayanan kesehatan, dari Puskesmas hingga Rumah
Sakit, sampai pelayanan khusus di ICU sudah pernah saya rasakan. Pengalaman mengurus bapak yang harus
dirawat dan operasi hernia pada sekitar 2007, lalu berlanjut belasan tahun
kemudian merawat almarhum anak saya yang setiap tahun harus dirawat di Rumah Sakit
dengan beragam penyakitnya, hingga akhirnya meninggal di ruang ICU atas
kehendak Tuhan.
Saya adalah orang yang sangat percaya perawatan medis,
dibanding alternatif. Bagi saya, dokter adalah perantara maksimal yang bisa
jadi ikhtiar warga saat sakit. Karena dokter punya ilmunya, belajar dalam
proses panjang di sekolah kedokteran, dan punya kode etik profesi. Apalagi ada
perkumpulan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang memonitor anggotanya.
Meski sangat percaya perawatan medis, saya juga kerap kritis
dengan tenaga medis dari administrasi rumah sakit, dokter, dan perawat. Bagi
saya, adalah tugas mereka melayani pasien yang wajar saja kadang pasien panik
dengan kondisi apa pun yang dialaminya.
Keluhan, ocehan, dan kritik sampai sikap pasrah sudah pernah
saya rasakan kalau urusan medis. Masalah kesehatan di Indonesia memang punya
banyak catatan penting. Hanya saja, kadang kami, para pasien, memang mau tak
mau harus pasrah karena awam.
Kalaupun agak cerdas tetap saja tak punya
pengetahuan utuh tentang pengobatan, perawatan dan apa pun terkait kondisi
penyakitnya.
Rasanya sudah menjadi rahasia umum kalau warga berkeluh
kesah atas pelayanan rumah sakit, dokter, perawat dan sebagainya. Namun pikiran
saya mulai sedikit bergeser setelah mengikuti aksi damai IDI di Hari Dokter
Nasional dan perayaan HUT IDI ke-66 pada
24 Oktober 2016 lalu.
Melalui lini masa saya pantau aksinya. Lalu karena punya
teman jurnalis, saya pun jadi punya akses informasi untuk mendapatkan
keterangan lebih lengkap mengenai latar belakang aksi damai IDI ini.
Sebenarnya Aksi Damai IDI 24 Oktober 2016 menyuarakan
reformasi kesehatan dan reformasi sistem pendidikan kedokteran yang pro rakyat. Tujuan utamanya adalah
melahirkan sistem pelayanan kesehatan yang pro rakyat, pro warga.
Membaca keterangan Pengurus Besar IDI lewat siaran berita,
saya jadi berpikir ulang. Ternyata bukan hanya warga yang “protes” rendahnya
pelayanan kesehatan. Kalangan dokter pun mengeluhkan hal yang sama. Hanya saja
mereka tidak banyak bicara karena mungkin sudah sibuk harus menjadi perantara
menyelamatkan nyawa. Hingga akhirnya momen HUT ke-66 yang bertepatan dengan
Hari Dokter Nasional, menjadi cara menyuarakan isu di kalangan dokter dan
kesehatan pada umumnya.
IDI Dukung Program JKN
Satu catatan penting yang saya soroti adalah PB IDI
mendukung program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau sederhananya dokter dukung
BPJS yang menjadi bagian Nawacita. Sesuai Peraturan Presiden No. 2 tahun 2015
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) yang selanjutnya
diterjemahkan secara teknis dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan
2015-2019.
Pernyataan ini menjawab kecurigaan saya sebelumnya bahwa
dokter tidak mendukung BPJS karena sepertinya pelayanannya tidak maksimal kalau
pasien datang dengan JKN atau awam biasanya sebut BPJS.
Ternyata, ada kondisi di kalangan dunia medis yang orang
awam tidak selalu tahu atau paham barangkali. IDI menyebutkan ada situasi akut
dan kritis antara lain:
- Krisis pelayanan
kedokteran di era JKN
IDI punya beberapa catatan soal
pelayanan kesehatan dengan JKN. Seperti alokasi pembiayaan obat bagi pasien
terlalu kecil. Alokasi obat yang minim ini ternyata menyulitkan dokter
memberikan obat dan penanganan terbaik bagi peserta BPJS dari kalangan rakyat
miskin. Catatan lainnya, ternyata otonomi daerah juga punya andil terhadap
penerapan JKN. Bahkan disebutkan IDI ada kendala terkait otonomi daerah yang
berdampak terhadap penerapan JKN atau pelayanan kesehatan pasien BPJS. Hal
lainnya adalah kurang sinkronnya aturan BPJS dengan standar profesi.
IDI juga mencatat masih minimnya fasilitas
kesehatan tingkat pertama (FKTP) terutama obat dan alat kesehatan (alkes) yang
sebenarnya dokter butuhkan untuk menegakkan diagnosis. Belum lagi pembiayaan
kesehatan yang di bawah standar pembiayaan profesi untuk fasilitas kesehatan
rujukan tingkat lanjut (FKTRL).
Pajak tinggi atas alkes juga
ternyata jadi isu sehingga beban biaya kesehatan jadi ikut tinggi. Ternyata
banyak persoalan dunia medis yang pada akhirnya membuat masyarakat, warga
biasa, orang awam yang tak paham urusan medis, merasa tidak mendapatkan
pelayanan maksimal, apalagi pasien BPJS.
- Krisis pendidikan
kedokteran
Persoalan pendidikan kedokteran
untuk mencetak tenaga medis andal juga menjadi catatan penting IDI. Soal ini
barangkali hanya mahasiswa kedokteran dan dokter-dokter yang sudah melampaui
tahapan pendidikan itu yang paling paham.
IDI mencatat perjalanan panjang
pendidikan kedokteran semakin lama dan makan biaya tinggi dengan adanya upaya
pemerintah membuka program studi Dokter Layanan DLP. Menurut IDI, langkah pemerintah
ini bentuk pemborosan dalam pendidikan kedokteran dan tidak tepat sasaran jika
tujuannya meningkatkan pelayanan primer dalam rangka mendukun program JKN.
- Krisis penyebaran dokter
tidak merata dan kurangnya dokter spesialis
Kalau pernah mempertanyakan kenapa
dokter memilih bekerja di kota besar dan tidak menyebar di daerah, mungkin
jawabannya beragam. Tapi IDI punya alasan, bahwa dokter tidak tersebar merata
karena minimnya infrastruktur dan dukungan sarana prasarana untuk mencapai
standar pelayanan maksimal. Ini berdampak pada mutu pelayanan kesehatan bagi
masyarakat Indonesia.
Dokter spesialis jumlahnya juga
tidak banyak karena biaya pendidikan yang mahal dan keterbatasan kursi. Ini
terjadi karena sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia menganut
University Based bukan seperti negara maju Hospital Based. Di luar negeri, dokter umum yang ingin menjadi
spesialis tidak mengeluarkan biaya pendidikan tambahan tapi justru dibayar
karena kerjanya selama proses pendidikan. Semestinya cara ini bisa menjadi
pertimbangan di Indonesia demi melahirkan lebih banyak dokter spesialis yang
dibutuhkan pasien.
Dengan berbagai catatan tersebut,
IDI pun tegas menyatakan menolak Program Studi Dokter Layanan Primer lewat aksi
damainya. Peningkatan kualitas dokter lewat pendidikan kedokteran yang lebih
baik juga menjadi perhatian utama lainnya dari PB IDI.
Ternyata melihat masalah dunia
medis dan kesehatan di Indonesia, memang harus dari berbagai sudut pandang.
Bukan hanya warga yang mengeluh, dokter pun punya kendala. Kalau sudah begini kembali
persoalan kepada pemerintah sebagai regulatornya, Kementerian Kesehatan bahkan
Pemerintah Daerah pun punya andil. Kepada siapa
mereka berpihak? Warga/pasien/rakyat, atau siapa?
3 comments:
Semoga lebih banyak yang menulis seperti ini
Iya mba Wawa. Sedih ya kalau dokter hanya berpusat di perkotaan. PAdahal banyak daerah yang butuh dokter
Mbak Liz, ini juga baru dapet infonya, kayakna krn kurang info deh jadi gak banyak tulisan soal gini.
Mbak Rach Alida, yah begitulah, tp ternyata mrk punya alasan yaaa untuk itu
Posting Komentar