Perjalanan Masih Panjang? Cerita Duoraji Part 2
Duoraji, penamaan ini sebenarnya penggabungan dua nama akhir pasangan menikah Santo RAchmawan (Satto Raji nama bekennya) dan Wardah FajRI (RAJI). Meski menikahnya 13 tahun silam (Juli 2008 sampai tulisan ini dibuat), sejujurnya penamaan Duoraji itu resmi dipopulerkan sejak kami berduaan menjalani garis perjalanan yang DIA tetapkan, setelah anak kedua kami meninggal, 6 Agustus 2016 (anak pertama keguguran 2,5 bulan kandungan). Saya lebih suka menuliskannya Duoraji bukan Duo Raji, anggaplah ini merek atau keyword untuk menyingkat penyebutan Wawa dan Satto RAJI.
Pun usia pernikahan belasan tahun, sejatinya sebagai pasangan mulai kenal, memutuskan jadi kekasih, putus nyambung dengan drama dan ujian, lalu akhirnya Bersama sampai menikah, itu sudah berjalan 21 tahun (sejak 2000). Tapi baiklah, mari kita awali Cerita Duoraji sejak menikah saja. Sudah membaca Cerita Duoraji Part 1 tentang pernikahan? Ini cerita lanjutannya.
Cerita Duoraji – Pengantin Baru
Sah sebagai pasangan halal, perjalanan ini berawal 6 Juli 2008. Saat itu saya masih berpindah-pindah kerja, mengejar impian pekerjaan sebagai jurnalis sesuai bidang ilmu saya di IISIP Jakarta. Loh, bukannya bertemu pasangan di Budi Luhur? Iya saya, bertemu Satto di teater Budi Luhur lebih tepatnya, organisasi seni kampus yang membuat saya jatuh cinta dengan pria kelahiran Sukabumi, keturunan Malang, Jawa Timur, perpaduan Semarang, Jawa Tengah, karena air matanya.
Kok air mata? Saya terenyuh melihat akting Satto saat Latihan teater KLOSET BULU, teater kampus yang pernah dipimpin Satto sebagai ketua. Saat itu, di depan halaman ruang kelas, area terbuka, dekat lapangan basket, kami anggota teater Latihan rutin. Ketua dan pelatih kami saat itu, Irvan Candranaya, mengharuskan kami berakting menangis dengan memunculkan kesedihan. Satto juaranya, entah dari mana dia membayangkan kesedihan sehingga air matanya mengalir natural. Saya terenyuh, itu saja. Lalu jatuh cinta dan makin cinta karena mulai memperhatikan perilaku dan karakternya. Beda, unik, enggak biasa, percaya diri dengan segala kekurangannya. Bukan sosok bujang kampus yang perlente, necis, bahkan posturnya saja enggak ideal, tapi entah kenapa saya melihat beda dalam dirinya, dan jatuh cinta sampai saat ini.
Dibantu sahabat sekaligus senior teater saya Bang Iwan (rebex panggilannya), saya utarakan rasa, curhat lebih tepatnya. Semua berjalan natural saja sampai akhirnya Satto menyatakan ingin menjadi pasangan saya saat duduk bersama di depan gerbang kampus, di bawah patung Raden Gupolo (penjaga candi) yang menjadi ikon kampus Budi Luhur di depan pintu masuknya.
Sejak itu, kami resmi pacaran, ya kami berpacaran layaknya anak muda dimabuk cinta, sampai drama ujian memisahkan ketika saya pindah kuliah ke IISIP Jakarta. Sebentar saja terpisah karena saya terjaring aliran mengatasnamakan negara Islam. Boleh dibilang, Satto malaikat penyelamat. Saya berhenti dari gerakan itu dan kembali hidup normal, diawali genggaman tangan dengan beban stigma dari para perekrut, saya dianggap kelompok itu sebagai kafir dan akan masuk neraka, kesulitan hidup menyertai dan tidak akan tenang selamat (dengan tujuan menakuti dan kembali “melawan NKRI” bersama mereka). Akhir cerita pemudi tersesat saat itu diselamatkan cinta sosok lelaki yang enggak pernah menghakimi sejak dulu hingga kini. Satto hanya merangkul, mendengarkan, dan selalu siap mendampingi saya kapan saja.
Singkat cerita, sejoli menjadi pasutri. Duoraji menikmati masa pengantin baru, sangat menikmati. Inilah masa ketika Duoraji bisa mewujudkan impian hidup bersama, satu atap, susah senang bersama. Kami boyong peralatan rumah tangga seadanya, sesuai anggaran demi memenuhi syarat ketentuan menikah versi orangtua saya, keluar dari rumah Kreo. Ranjang dari kayu mahoni, serba hitam, lengkap dengan lemari dan meja rias, peralatan masak yang dibeli sendiri juga hadiah pernikahan, mengisi rumah kontrakan di Bintaro. Rumah petak kontrak yang sudah kami sewa sebelum menikah. Bahkan teman dekat saya, sesama mantan jurnalis sebuah harian berbahasa Inggris (yang terpaksa bubar dalam waktu sangat singkat), membantu membuatkan hantaran pernikahan cantik di rumah kontrakan. Hanya dua minggu di rumah Kreo setelah sah menikah, kami mulai perjalanan Duoraji, mandiri sesuai impian kami membangun keluarga.
Pekerjaan freelance Duoraji, urusan EO kegiatan Lembaga Negara, menjadi ladang pencarian masa pengantin baru. Berganti-ganti pekerjaan dan tempat tinggal selama dua tahun. Tiga kontrakan dan pekerjaan freelance media monitoring Maverick, sampai relawan Komnas Perempuan dilakukan, mengalir saja, menikmati tanpa mengeluh atau mengadukan keadaaan ke keluarga. Rumah kontrakan Bintaro, Kostrad Petukangan, Bekasi (bersebrangan Kemang Pratama), dijabani dengan berupaya mencari pekerjaan terbaik. Mendukung pasangan Satto yang berkesempatan kerja kantoran, berdasi, di Cibitung membuat Duoraji memutuskan tinggal mengontrak di Bekasi, dekat dengan mertua saya dan tidak terlalu jauh dari tempat kerja pasangan.
Saya tidak bisa diam, aktif menjadi relawan Unit Pengaduan Rujukan Komnas Perempuan (2009) menjadi kesibukan kala itu. Semua menjadi lebih mudah karena Duoraji bersama, satu atap, dan sah pasangan halal yang mencari peruntungan di Jabodetabek. Manusia berencana, Tuhan Maha Tahu. Pekerjaan berdasi Satto Raji berakhir dalam tiga bulan saja. Rasanya seperti tafsir mimpi almarhuma mama mertua, yang bermimpi Satto jatuh dari tempat tinggi. Apa pun itu, semua atas izinNYA, kami jalani apa adanya. Bersiap dengan tantangan berikutnya, apa pun yang DIA gariskan atas kami, para pejuang kehidupan.
Tahun 2010, teman kantor lama (atasan lebih tepatnya), mbak Dini kontak tiba-tiba setelah dua tahun tidak bersua. Menawarkan pekerjaan sebagai jurnalis media online di Kompas.com kanal Kompas Female. Sempat berpikir, apakah saya menyanggupi pekerjaan media online? Bismillah memulai perjalanan, dan hidup Duoraji berubah. Mbak Dini adalah redaktur saya sewaktu sempat menjajal menjadi reporter majalah Forsel Kompas Gramedia Majalah di Jalan Panjang. Dua tahun kemudian, kami menjadi tim di Kompas Female Palmerah Selatan. Impian menjadi jurnalis, di grup media terbesar di Indonesia, sah! Pekerjaan idaman tercapai setelah menikah.
Bekerja maksimal, melewati masa percobaan dengan dibandingkan bersama sahabat saya Golda (wartawan TV), berjuang bersama menunggu keputusan siapakah terpilih menjadi karyawan kontrak Kompas Female. Saya tidak lebih baik dari Golda, kami terus berteman dan saling menyemangati, hingga akhirnya saya terpilih. Garis Golda adalah pekerja media TV, dia sukses di sana, saya mengikuti kisahnya termasuk pernikahan dan kelahiran anaknya. Ah, jadi kangen.
Tekun menjaga integritas dan bersabar tangguh dengan segala tantangan dan prosesnya, menjadi kunci saya bertahan 6 tahun di KCM dan Kompasiana. Semoga reputasi saya baik-baik saja, meninggalkan kesan baik dari perjuangan karyawan kontrak selama dua tahun hingga akhirnya menjadi BIRU, tanda untuk karyawan tetap Kompas Gramedia Group. Banyak perubahan hidup dan tentunya perjuangan tiada akhir Duoraji. Setidaknya saya boleh berbangga sekaligus terharu, karena setelah setahun memutuskan berhenti sebagai pekerja media, saat masa terendah saya, KCM dan kawan-kawan di sana masih ingat dan peduli, datang menghibur hati, saat anak saya Dahayu, meninggal di usia 3,5 tahun pada Agustus 2016.
Keputusan meninggalkan pekerjaan media yang membutuhkan waktu dan perhatian ekstra, semua karena fokus keluarga. Saya tak merasa sanggup harus membagi waktu bekerja dengan Dahayu saat itu yang membutuhkan terapi untuk diagnosis delay developmentnya. Saya mengukur diri sekaligus gelisah memiliki karier dan anak usia 2 tahun yang belum bisa berdiri sendiri apalagi berjalan. Mana yang saya pilih? Saya memilih Dahayu. Terapi jadi tujuan utamanya.
Saat saya bekerja sebagai jurnalis media online, Satto bekerja sebagai fotografer dan guru fotografi. Penghasilan kami mencukupi untuk mencicil rumah di Nuansa Asri, Cinangka, Sawangan Depok meski kami lebih mudah menyebutnya Pondok Cabe. Impian Duoraji kembali berwujud, tinggal dalam satu atap rumah sendiri, membangun keluarga, memiliki anak dan pekerjaan yang stabil. Duoraji menikmati masa keluarga mandiri dengan Mbok dan Teteh selalu setia membantu keluarga kecil yang hidup sederhana ini. Berkendaraan motor peninggalan orangtua, sementara tetangga hidup mapan dengan rumah dan kendaraan mobilnya.Duoraji bahagia, bersyukur, dan menikmati udara segar Cinangka bersama Dahayu yang bisa duduk berdiri dengan bantuan ayah ibunya, berkat terapi rutin fisioterapi delay development.
Cerita bahagia ini tak panjang, harus berakhir dengan pontang-panting berkarier, bergantian mengatur jadwal menjaga anak di rumah, lantaran kehilangan semua pengasuh (yang memutuskan pulang kampung mengurus keluarganya). Saya pernah cerita sepenggal kisah Cerita Ibu tentang perjuangan membagi perhatian karier dan keluarga ini.
Saya tak sanggup. Duoraji memutuskan menumpang sementara di rumah orangtua, menjual rumah hasil jerih payah, hingga akhirnya memutuskan tinggal di rumah kontrakan dekat rumah Kreo, dengan pengasuh orangtua beralih pekerjaan menjadi pengasuh Dahayu. ART di rumah kami, ibu Deti, sangat membantu Duoraji menyeimbangkan pekerjaan, karier dan anak semata wayang yang butuh perhatian khusus. Terapi berjalan normal, namun perkembangan Dahayu sampai usia 3,5 tahun belum juga bisa berjalan. Kognitifnya, Alhamdulillah. Dahayu lancar bicara bahkan sangat cerdas untuk usianya. Dahayu dengan mudahnya berekspresi bahkan mengoreksi kesalahan kata ibu Deti. Dahayu pernah bilang tiba-tiba, saat bersama berdua di rumah kontrakan Kreo, “Ibu, Ibu cantik deh”.
Rumah sangat sederhana itu menyimpan banyak kenangan. Mulai tinggal di rumah kontrakan itu dengan mengambil keputusan besar, mengundurkan diri dari KG, meninggalkan karier dan pekerjaan stabil, demi anak. Duoraji memulai perjalanan baru, membangun Komunitas Bloggercrony bersama Anesa Nisa (kawan lama dari Kompasiana sesama mantan karyawan KG Palmerah). Tujuan kami sederhana, ingin berkegiatan dengan kemampuan dan relasi yang kami miliki, belajar bersama menjadi blogger, sama-sama bertumbuh sebagai blogger newbie, karena kami ini bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa.
Rumah kontrakan itu penuh kenangan, dan kutinggalkan karena tak sanggup membayangkan kebahagiaan bersama Dahayu di rumah kecil itu. Kakek Dahayu yang masih aktif ke musolah Kampung Kreo, sesekali mampir ke rumah kontrakan yang dilewatinya. Memanggil dengan suara beratnya, “Dayu…Dayu…”. Sekadar menyapa cucu yang membahagiakan hati dengan segala keterbatasannya.
Dahayu meninggal dan Duoraji meninggalkan kenangan kebersamaan di setiap rumah yang Dahayu pernah singgah. Menjual rumah hasil jerih payah Duoraji, yang mulai dibangun saat Dahayu dalam kandungan. Rumah yang dimiliki Duoraji dengan segenap jiwa raga, menyiapkan segala sesuatunya dan menikmati makan nasi bungkus berdua di rumah yang kosong tanpa isi sama sekali. Sampai akhirnya rumah penuh perabotan termasuk hadiah-hadiah perkakas yang tak kami beli namun menjadi rejeki berkah rumah itu.
Rumah dijual untuk menjadi benda produktif lain, Ayang Dayu (Agya Sayang milik Dahayu). Mobil putih city car sederhana menjadi awal perjalanan Duoraji dengan Dahayu, di rumah kontrakan Kreo. Perjalanan tak panjang, setahun saja Dahayu menikmati kendaraan pengganti rumah itu. Namun berkah menjadi pekerja mandiri, meninggalkan rutinitas pekerja kantoran adalah waktu terakhir bersama Dahayu menjadi bermakna. Setahun kami berkelana, bahkan sempat membawa Dahayu pulang kampung ke Malang berhari-hari. Dahayu menikmati kesederhanaan kampung Kemulan, Turen, Malang Selatan hingga ke laut Malang Selatan. Dahayu pamit ke leluhur ayahnya, sekitar sebulan setelahnya, Dahayu berpulang selamanya.
Dahayu jagoan cilik Duoraji, sempat berkelana ke Bandung, Semarang, Jogjakarta, hingga Malang. Anak kuat pintar cerdas yang belum sempat merasakan rasanya bisa berdiri dan berjalan tanpa bantuan ayah ibunya. Anak solehah yang sudah hafal Al Fatihah. Anak perempuan jagoan Ayah yang sangat fasih menyebut kata pertamanya “Ayah” di usia 11 bulan. Anak ibu yang sangat mencintai kakek nenek mbah dan ayah ibunya. Anak perempuan yang sangat dekat dengan ibunya, selalu memeluk dan mengucap cinta dengan tatapan mesra dan kata-kata indah tak pernah disangka. Allah mengajarkan Dahayu berkata meski belum sanggup memerintahkan otak agar kakinya berdiri dan berjalan mandiri.
Dahayu jagoan cilik Duoraji, meninggalkan cinta untuk semua kawan orangtuanya, bahkan mewarisi pertemanan baru sepeninggalnya. Dahayu boleh tak berdaya koma di ruang ICU Rumah Sakit, namun kekuatan cintanya dahsyat. Termasuk menghadirkan kekuatan Allah mengalir kepada orangtuanya, yang tetap waras sepeninggalnya, bertahun-tahun kemudian bertahan dalam iman dan keberserahan.
Duoraji patah hati namun berusaha waras menjalani ketentuanNYA. Satu permintaan di ruang ICU Rumah Sakit Agustus 2016 lalu. “Ya Allah, saya ridha ikhlas Dahayu pergi namun mohon berikan kekuatanMU kepada kami menjalani ini, kami mohon kuatkan kami, beri petunjukMU, aliri kekuatanMU, innalilahi wa inna ilaihi rojiun” La haula wa la quwwata illa billah, karena sungguh tanpa itu, kami takkan sanggup. Sepanjang pemakaman dan seterusnya, Allah kabulkan doa permohohan kekuatan itu.
Rumah kontrakan yang Duoraji pernah tinggali bersama Dahayu terasa sempit. Setiap sudut mengingatkan Dahayu. Alhamdulillah berkat hubungan baik nenek Dahayu dan sahabat yang juga kerabat keluarga, Duoraji menempati rumah kontrakan baru dekat Musolah Mujahidin Kampung Kreo Selatan, terasa lega, luas dan mulai perjalanan baru sebagai DUORAJI.
Kami berdua, lagi, berusaha waras dan terus menjalani ketentuanNYA, sampai nanti waktunya tiba berkumpul lagi, semoga. Satu tahun Duoraji tinggal di rumah kontrakan baru sepeninggal Dahayu. Cerita Duoraji masih panjang, 4,5 tahun bertahan waras dan berjuang menjadi lebih baik, sebagai pekerja mandiri berduaan bagai pengantin baru lagi, tanpa anak semata wayang, malaikat Duoraji yang sudah bahagia di surgaNYA, Dahayu bersama kakaknya. Ayah ibunya masih berjuang dalam perjalanan di bumi.
Seri Cerita Duoraji berlanjut….
0 comments:
Posting Komentar