Pengalaman Suntik Vaksin Sebelum dan di Tengah Pandemi
Pilihan lain adalah proteksi diri. Rasanya investasi paling berharga saat ini adalah investasi kesehatan. Jika tubuh dan pikiran sehat, bisa produktif bekerja, beribadah, beraktivitas apa pun itu pilihan hidup kita. Bagi saya, vaksin di tengah pandemi merupakan bentuk ikhtiar menjauhi diri dari penyakit serta mengurangi risiko penyakit, sekaligus investasi kesehatan.
Apalagi, pandemi membuat perjuangan bertahan menjaga imun termasuk hati yang gembira, semakin sulit. Bagaimana tidak, setiap orang tanpa kecuali, punya pergulatan hidup masing-masing. Bisa jadi tertimpa masalah sama beratnya sebelum pandemi, tapi di zaman pageblug ini semua terasa berbeda, butuh usaha lebih kuat mengatasi semua masalah yang pasti datang. Masih hidup masih akan ada terus masalah, bukan? Menjaga imun dengan bertahan tenang dalam situasi sesulit apa pun, sungguh perjuangan di masa pandemi.
Dengan segala ketentuanNYA yang datang ke keluarga inti saya dan suami, pun keluarga besar ayah ibu kami, sebelum dan di tengah pandemi, mau tidak mau kita dihadapi pilihan-pilihan. Untuk membuat pilihan perlu pengetahuan. Alhamdulillah, dalam perjalanan saya urusan kesehatan, selalu terpapar pengetahuan dari ahlinya, sehingga saat menjalani ujian sesungguhnya, Insya Allah mengambil keputusan terbaik.
Dulu, sebelum saya akhirnya menjalani ketentuanNYA memiliki anak lahir prematur, saya menjalani pekerjaan wartawan kesehatan dan gaya hidup sehat. Meski saat merawat anak kandung lahir prematur tidak selalu sama dengan teorinya, namun berbekal pengetahuan setidaknya bisa merawat maksimal meski ketetapanNYA berkata lain, anak kami berpulang di usia 3,5 tahun. Penyesalan, merasa bersalah, merasa kurang maksimal? ya ada perasaan-perasaan itu, saya manusia biasa bukan manusia super. Namun bukan lantas larut dalam kesedihan dan penyesalan, tidak juga berpura-pura tegar, semua berjalan seimbang dengan perjuangan. Satu hal yang kadang saya sesali namun selalu menegur diri sendiri untuk tidak larut dalam penyesalan, adalah vaksinasi tambahan yang belum lengkap untuk anak balita saya. Saya belum sempat memberikan hak kesehatan untuk anak saya, sebagai proteksi, berupa vaksin PCV. Vaksin ini di luar vaksinasi wajib anak yang sudah saya dan suami tuntaskan untuk Dahayu. Vaksin PCV ini tambahan dan sejak dulu kami merawat anak sekitar tahun 2013-2016 harga vaksin ini memang mahal. Faktor biaya menjadi alasan utama kami belum vaksinasi. Proteksi lain menjadi cara perlindungan dari risiko penyakit, seperti higienitas, fisioterapi, dan asupan makanan. Meski sudah ikhtiar maksimal, takdirNYA berkata lain. Anak kami yang berkebutuhan khusus dengan berbagai masalah fisiknya, dugaan cerebral palsy (CP) ringan, memberikan kebahagiaan kehidupan 3,5 tahun, atas izinNYA.
Pengalaman ini yang membuat saya enggak main-main dengan kesehatan. Saya termasuk yang rajin cek kesehatan secara berkala dan percaya ahli medis untuk menjelaskan kondisi fisik jika ada keluhan. Saya juga percaya herbal dan berbagai cara natural menjaga kesehatan tubuh/fisik bahkan kesehatan mental. Berusaha seimbang medis dan non-medis dalam menyikapi penyakit, menjadi pilihan saya dengan berbagai riwayat kesehatan.
VAKSINASI
Soal vaksinasi/imunisasi bukan perkara baru buat saya pribadi. Saya tidak akan membahas vaksinasi anak/bayi. Proteksi kesehatan di masa pandemi juga berlaku untuk orang dewasa yang lebih bisa mengontrol dan peka dengan sinyal tubuhnya. Kepekaan sinyal tubuh sebenarnya kunci utama, mengkhawatirkan kesehatan dan mencari solusi tanpa khawatir berlebihan atau overthinking yang justru akan memperburuk kesehatan diri. Intinya berusaha bertahan berjuang seimbang dalam segala hal, tidak meremehkan tidak juga menyikapi berlebihan.
Soal vaksinasi/imunisasi bukan perkara baru buat saya pribadi. Saya tidak akan membahas vaksinasi anak/bayi. Proteksi kesehatan di masa pandemi juga berlaku untuk orang dewasa yang lebih bisa mengontrol dan peka dengan sinyal tubuhnya. Kepekaan sinyal tubuh sebenarnya kunci utama, mengkhawatirkan kesehatan dan mencari solusi tanpa khawatir berlebihan atau overthinking yang justru akan memperburuk kesehatan diri. Intinya berusaha bertahan berjuang seimbang dalam segala hal, tidak meremehkan tidak juga menyikapi berlebihan.
Vaksin pertama yang dokter suntikkan ke tubuh saya adalah HPV dengan suntikan ketiga (terakhir) pada Maret 2018. Edukasi dan pengalaman pribadi bisa baca tulisan saya. Kenapa vaksin HPV? Saya bisa bilang petunjuk semesta membawa saya mendapatkan pengalaman ini.
Pertama kalinya saya tes IVA, dan yang paling mendebarkan dari setiap kali pemeriksaan sebenarnya bukan pada proses periksanya tapi saat menunggu hasil dan analisa dokter. Hasilnya, saya diduga radang serviks. Beberapa hari setelahnya masih berusaha mencerna dan menimbang, kenapa bisa? Ada yang salah dengan hubungan seksual dengan suami kah? Atau ada yang salah dengan kebiasaan berkaitan dengan organ intim? Saya cari lagi ilmunya, bahkan dari artikel kesehatan yang dulu pernah saya tulis sendiri. Sebenarnya banyak faktor jika ada satu saja diagnosa penyakit. Tidak terburu-buru memutuskan sesuatu, berusaha kontrol diri sebaiknya, tidak meremehkan tapi tidak juga terlalu khawatir. Cara berpakaian misal penggunaan celana dalam kurang higienis, terlalu ketat, bisa saja menimbulkan banyak gangguan organ intim perempuan yang memang sangat sensitif. Kita tidak bisa sekadar mengira-ngira namun screening awal diri sendiri menjadi penting untuk mengakui kesalahan merawat diri. Selanjutnya serahkan kepada ahlinya, saya memilih tes papsmear ke dokter.
Semesta membawa saya ke RS Siloam Karawaci dengan promo pemeriksaan papsmear di sana dan vaksinasi. Vaksin HPV tidak sembarang diberikan. Saya melewati tahapan konsul dokter, papsmear dan menunggu hasilnya beberapa hari, analisa hasil, dan ketika hasil papsmear baik lanjut vaksinasi HPV terjadwal tiga kali suntikan dengan tahapan dan pemantauan dokter.
Satu vaksin sudah disuntikkan ke tubuh dengan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi atau KIPI normal saja, lengan terasa kebas beberapa saat. Saya tetap bisa beraktivitas bahkan melanjutkan kerja terbang ke luar kota sehari setelah vaksin.
Vaksin di tengah pandemi lain ceritanya.
Perubahan informasi dan kebijakan kesehatan yang cepat sekali berubah di masa pandemi, bukan hal yang aneh buat saya. Saya bisa sangat paham kenapa para ahli beberapa kali harus merevisi informasi kesehatan. Virus corona yang menjadi sumber penyakit COVID-19 ini sesuatu yang baru, semua belajar mengalahkannya dengan ilmu pengetahuan dan berbagai cara adaptasi pandemi.
Saya mengikuti sekali kasus COVID-19 sejak di Wuhan. Berempati terhadap kesusahan warga dunia yang terkena pandemi. Sampai akhirnya virus yang tadinya sangat jauh ini tiba di Indonesia. Semua rencana berubah, semua keadaan berbalik, segalanya berubah cepat sekali. Kita dipaksa sesuatu yang maha dahsyat ciptaanNYA yang semestinya membuat kita cukup sadar diri, kita lemah tiada daya namun bukan lantas menyerah dan menyalahkan keadaan saja.
Vaksin menjadi salah satu solusi di masa pandemi. Sejak isu vaksin COVID-19 masih jadi wacana, saya sudah ikuti update informasinya. Awalnya vaksin COVID-19 setelah melewati tahapan uji klinis, hanya boleh untuk usia tertentu dan banyak catatan kondisi yang belum bisa mendapatkan suntikan vaksin. Secara umur, saya masih masuk ketegori penerima namun kondisi saya saat itu, sekitar Januari 2021, baru tiga bulan sembuh TB Paru membuat saya masih memonitor kondisi sambil menunggu update vaksinasi.
Mengetahui hal itu, saya hanya berharap mereka yang aman menerima vaksinasi, bisa sukarela mendapatkan suntikan vaksin gratis dan melindungi kami yang belum bisa divaksin. Saya mencari cara lain berikhtiar melindungi diri dari risiko penyakit di masa pandemi.
Saya riset kecil-kecilan dan hasil ikut webinar bersama vaksinolog Indonesia, dr Dirga, menambah pengetahuan soal vaksinasi di masa pandemi. Hasilnya, saya meyakinkan diri sendiri dan memastikan keamanaannya untuk kondisi saya sebagai penyintas TB Paru. Saya memilih Imuni untuk vaksinasi influensa dan thyphoid.
Kenapa saya pilih dua vaksinasi itu di tengah pandemi? Saya memahami kondis fisik dan riwayat penyakit pribadi. Selain konsultasi gratis via online dengan dokter dari Imuni, saya juga meyakini vaksinasi menjadi cara saya bertahan di masa pandemi COVID-19 ini. Saya ini rentan sekali terpapar dengan pengalaman sakit TB Paru yang menyerang imun dan pernafasan, saya paham sekali betapa kesakitannya penderita penyakit sesak nafas, disertai batuk, keringat yang mengalir, itu sudah saya rasakan saat dirawat seminggu di RS Pelni karena TB Paru November 2019. Lanjut pengobatan satu tahun sampai akhirnya dokter spesialis paru di RS Aminah menyatakan saya sudah tuntas pengobatan pada November 2020.
Saya juga paham kondisi diri. Sebelum dokter memvonis saya TB Paru, saya pernah sakit dengan gejala sejenis. Sesak nafas parah saat terkena flu. Masalah pernafasan memang jadi riwayat penyakit saya, termasuk asma ringan dan sempat sesak nafas parah ketika sedang bekerja di Palembang di tengah kabut asap. Saya sudah mengikhlaskan diri saat terkena sesak nafas karena kabut asap di Palembang dan kondisi imun melemah. Sempat saya katakan kepada diri sendiri, aku berserah kepadaMU ya Allah kalaupun saya harus berakhir di kota ini, sendiri, tanpa orang kesayangan. Bukan bermaksud berlebihan, karena serangan sesak nafas itu benar-benar di luar dugaaan. Terjadi saat saya di bandara hendak pulang ke Jakarta. Saya berjalan sekuatnya ke klinik bandara, dengan kondisi hidung tersumbat, seperti flu berat yang terjadi tiba-tiba saja, lalu muntah, batuk, dan akhirnya diberikan nebulizer oleh petugas klinik bandara dengan sigap dan ramah. Saya dirujuk ke RS terdekat di Palembang, lalu diobservasi cek jantung dan suntik alergi. Saat dokter baik hati menyatakan saya aman terbang, saya dibolehkan kembali ke bandara dan pulang ke Jakarta. Dokter menyarankan sebaiknya saya pulang daripada memilih tetap berada di Palembang saat kabut asap dan kondisi udara sedang buruk. Bismillah, saya pulang dan tiba di Jakarta tak berapa lama bertemu suami tercinta. Saya masih hidup.
Pengalaman sesak nafas karena udara buruk dan flu berat, membuat saya berpikir harus vaksinasi influensa. Keputusan tepat dengan langkah tepat menyerahkan kepada ahlinya, vaksinasi influensa yang direkomendasikan WHO di masa pandemi, bersama IMUNI saya vaksinasi Januari 2021.
Bukan Wawa namanya kalau enggak detil tanya sana sini. Sebelum suntik vaksin influensa, saya beberapa kali pakai aplikasi chat konsul dengan dokter IMUNI. Bersyukur dokter konsulnya informatif dan ramah, saya merasa cukup terinformasi. Terutama tentang apakah riwayat penyakit saya cukup aman untuk suntik vaksin insfluensa dan thyphoid? Saat itu kolesterol saya tinggi, apakah aman? Maklum, baru pertama kali vaksin jadi masih butuh penguatan hati. Semua terjawab lewat konsul online. Selanjutnya ikuti saja petunjuk vaksinasi di IMUNI tentunya dengan pendaftaran, penjadwalan dan pembayaran dong.
Kekurangan saya saat vaksin influensa dan thyphoid adalah kurang makan. Saya merasa agak kelinyengan setelah vaksin, bukan karena vaksinasinya tapi karena jam makan siang saat suntik. Jadi saran saya, brunch aja kalau jadwal suntiknya tepat waktunya makan siang. Dokter vaksinator dengan sabar menunggu 30 menit setelah suntik untuk memastikan aman. Memang aman dan tidak ada keluhan sama sekali dalam 30 menit sampai 3 hari, sepekan bahkan berbulan-bulan kemudian.
Oya, saya memilih vaksin thyphoid juga karena riwayat tipes berulang (2-3 kali) dengan dua kali opname. Cukup rasanya opname karena tipes. Meski begitu vaksinasi bukan lantas bikin imortal atau sama sekali tidak akan sakit. Kalau salah jaga pola hidup dan pola makan ya sakit akan tetap datang. Namun setidaknya, vaksinasi meringankan penyakit atau mengurangi kesakitan. Semoga sih sehat saja.
Saya cukup lama mengendapkan tulisan ini. Sampai saya mempublikasikan ini, sudah tiga bulan lebih, apakah ada dampak vaksinasi? Tidak ada efek samping yang ada saya merasa terlindungi meski akhirnya flu menyerang imun juga. Kena juga deh flu, pikir saya. Lantas apa artinya vaksin tidak bekerja? Jangan dulu menyimpulkan begitu. Banyak faktor kenapa imun kalah dengan flu meski kekebalan tubuh sudah disiapkan lewat imunisasi.
Yang pasti, flu yang saya alami di pandemi hanya gejala ringan dan terjadi dalam satu pekan. Setelah itu sisa batuk saja. Saya merasa flu tidak seberat sebelum vaksinasi. Pernafasan saya aman terkendali. Pilek hidung mampet dan gejala flu lainnya tidak disertai demam dan sembuh lebih cepat. Saya merasa di sinilah vaksin bekerja.
Lalu bagaimana dengan vaksin COVID-19? Hhmm cerita enggak yaaaaa.... saya tunda ceritanya beberapa waktu lagi yaaaa.
1 comments:
Memang vaksin ada efek samping. Tapi lebih baik divaksin daripada tidak sama sekali.
Sayangnya sebagian masyarakat kita ada yang tidak percaya bahwa covid itu nyata adanya.
Posting Komentar