Berjuang Semasa Pandemi Melawan Ego atau Virus?
Memasuki sepuluh bulan pandemi meruntuhkan banyak hal sekaligus memberikan pelajaran berharga. Salut untuk para pejuang apa pun latarnya, termasuk orang-orang yang selalu melihat sisi baik setiap masalah seberat apa pun itu, dan yakin selalu ada jalan keluar di tengah kesulitan. Namun ternyata, ada hal yang tidak runtuh meski pasukan coronavirus menyerang dari berbagai penjuru, yakni, ego!
Lihatlah mereka yang menyangkal Covid-19 dengan menolak memakai masker, merasa aman-aman saja berkerumun, malas cuci tangan pakai sabun. Soal ego ini sungguh "mengundang" energi negatif marasuk masuk pikiran. Kalau bukan karena berusaha ingin waras, rasanya emosi menanggapi sekelompok manusia egois ini.
Kenapa egois? Ya karena memikirkan kenyamanan dirinya (merasa enggak nyaman pakai masker atau merasa baik-baik saja padahal belum tes covid juga untuk mencari fakta). Mereka yang tidak egois di masa pandemi menurut saya adalah individu atau sekelompok orang yang memikirkan orang lain, berempati terhadap siapa saja yang sedang berjuang, menjaga diri dan keluarganya, menjaga lingkaran kecil dan besarnya, dan menjaga komunitas untuk akhirnya secara tidak langsung dia sedang menjaga negerinya.
Saya tergerak menulis tentang para pejuang pandemi, termasuk para penyintas yang selalu berjaga sekuatnya di medan perang Covid-19. Tulisan ini lahir dari perjalanan pribadi di masa pandemi, yang kisruh tapi berusaha utuh, lalu merasa terhubung dengan salah satu video iklan layanan masyarakat yang saya posting di akun Instagram pribadi @wardahfajri memeringati Hari Pahlawan 10 November 2020 lalu.
Pesan video itu mewakili pikiran dan bahkan pengalaman pribadi selama pandemi. Isinya, setiap orang saat ini (di masa pandemi) sesungguhnya adalah pejuang. Bahkan boleh lah beberapa orang disebut pahlawan, sebut saja tenaga medis, tenaga kesehatan, paramedis, para kepala keluarga yang bertahan dan berjuang tanpa mengeluh, para pemimpin dan tokoh masyarakat termasuk tokoh agama yang BERUSAHA SEKUATNYA SERIUS MENGURUS masyarakat yang kadang masih abai dan lalai.
Saya sering bilang, di medsos dan di grup komunitas, kita semua ini terdampak tanpa kecuali meski bisa jadi bentuk ujiannya tak selalu sama selama pandemi. Jadi, jangan pernah berpikir susah sendiri. Tak bisa dan tak usah membandingkan kesulitan satu dengan lainnya. Cukup menerima dan menyadari, kita semua susah dan berempati lah, bahklan mari bergandengan tangan kita saling menjaga.
Coba kita telusuri satu per satu, siapa-siapa saja yang berjuang? Kalau punya cerita serupa, mari berbagi di kolom komentar. Saya yakin, banyak sekali dari kita yang menjadi pejuang saat ini dengan segala permasalahannya, beradaptasi dan bertahan, di tengah pandemi.
Bagi para guru dan murid yang harus adaptasi pembelajaran jarak jauh, itu pun kesulitan dan perjuangan. Belum lagi sebagian guru di yayasan tidak terfasilitasi dengan baik dan atau tidak mendapatkan jaminan finansial yang aman. Bahkan, lingkaran saya yang berprofesi sebagai guru, menyatakan mereka harus menerima konsekuensi pandemi yang memaksa semua belajar dari rumah, dengan pengurangan honor. Saya tidak pernah mengeluhkan ini, namun saya dan suami pun sebenarnya terdampak. Suami yang seorang guru fotografi kelas ekstra kurikuler sekolah internasional, juga tak jelas nasibnya, tidak di PHK namun tidak juga berlanjut kelasnya, berhenti begitu saja tanpa kejelasan sejak awal pandemi. Saya rasa banyak lagi kesulitan para guru di luar sana. Saya yakin hanya sebagian saja yang "memviralkan" kesulitannya, sementara lainnya berusaha menerima dan memikirkan solusi untuk bertahan. Setidaknya, ada orang-orang yang waras dan berpikir jernih mencari solusi hidup meski satu pintu rejeki tertutup karena kondisi wabah yang meruntuhkan banyak ekosistem buatan manusia.
Menjadi orangtua juga sulit, tanpa kecuali, baik orangtua bekerja atau pun orangtua penuh waktu di rumah. Pembelajaran jarak jauh menuntut orangtua menjadi guru dan tak semuanya siap dan menerima kondisi ini. Kakak ipar saya yang menjabat sebagai kepala sekolah TK bahkan harus putar otak berhadapan dengan orangtua murid yang memaksa anaknya tetap datang ke sekolah. Orangtua yang tak siap dengan adaptasi belajar dari rumah, ditambah lagi tidak percaya coronavirus itu nyata, ada dan berbahaya. Bukankah tujuan sekolah ditutup sementara, dan proses belajar mengajar beralih menjadi virtual, belajar dari rumah, itu ada tujuan menekan penyebaran virus? Tujuannya jelas melindungi diri, keluarga, komunitas dari berpindahnya virus dari manusia satu ke manusia lainnya. Kalau orangtua memaksa para guru meladeni pilihan sikapnya untuk tetap datang ke sekolah membawa anaknya dan minta guru mengajari seperti biasa, apa namanya kalau bukan egois?
Butuh berapa banyak lagi bukti bahwa coronavirus ini nyata ada, bahwa penyakit Covid-19 ini enggak main-main? Tak cukup data menunjukkan pejuang kesehatan gugur di medan pertempuran melawan covid?
Tim Survey Mitigasi IDI menunjukkan data per 5 Desember 2020 (disampaikan Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia, dr Lia G Partakusuma dalam Webinar KPCPEN ke-46) ada 190 kematian dokter di Indonesia selama pandemi.
Saya juga punya cerita soal perjuangan dokter paru. Sebagai info, adalah pasien seorang dokter paru di RS Swasta di perbatasan Jakarta dan Tangerang. Sejak November 2019 saya menerima diagnosis tegak dari dokter setelah melewati serangkaian pemeriksaan rontgen dan CT Scan bahwa saya terinfeksi TB Paru. Sejak November 2019 sd November 2020, saya menjalani pengobatan setahun dengan disiplin minum obat dan kontrol sebulan sekali ke RS bertemu dokter paru saya. Kenapa setahun? Karena saya alergi obat paru tertentu yang akhirnya atas konsultasi dokter, saya harus menyelesaikan pengobatan setahun lamanya.
Salah satu pejuang di masa pandemi menurut saya adalah dokter, perawat, petugas kesehatan di rumah sakit, dan pasien yang harus kontrol demi memastikan kesehatannya ke rumah sakit dengan faktor risiko tinggi di tengah pandemi. Mau tahu rasanya ke rumah sakit, bertemu dokter paru, dengan kondisi penyakit paru saat ancaman covid makin nyata? Rasanya seperti tentara yang terjun ke medan perang, berusaha waspada, melindungi diri dan menjaga tak kena tembakan musuh.
Itu saya, penyintas yang kini statusnya mantan pasien paru yang berisiko tinggi di masa pandemi. Sebagai orang awam, saya tahunya penyakit covid ini akan lebih parah kondisinya pada orang-orang dengan faktor risiko tinggi, penyakit bawaan apalagi paru yang kerap jadi sasaran tembak coronavirus. Saya kenal beberapa penyintas Covid-19 yang awalnya adalah perokok berat, terinfeksi dan terkonfirmasi positif Covid-19, berjuang dalam perawatan untuk kembali sehat dengan berusaha menyehatkan paru dan pernafasannya. Kabar baiknya mereka sembuh, dan berhenti merokok demi sehat pascacovid.
Jadi bagi saya dan dokter paru, kondisi pandemi ini sungguh berat. Saya pernah berbincang ringan dengan dokter paru saat jadwal kontrol. Beliau menanyakan kabar dan kondisi covid di rumah. Saat itu saya masih bisa bilang, "Aman, Dok" karena memang belum ada yang terpapar bahkan lingkungan tempat tinggal masih zona hijau, itu di tiga bulan pertama pandemi.
Barangkali dokter paru saya mulai kewalahan, beliau ingin berbagi rasa dan bercerita bahwa kondisinya tidak baik. Dokter dan perawat yang menggunakan APD lengkap dengan prokes ketat di rumah sakit, membuat saya luluh hati. Saya hanya bisa mendoakan dokter dan perawat semua sehat.
Saat saya menulis ini, saya tidak lagi bisa bilang aman.
Warga makin kendor, makin abai, lengah dan kendor protokol kesehatan. Bahkan sebagian orang yang masih bertahan disiplin ketat memakai masker, membawa sanitizer ke mana saja, waspada saat harus keluar rumah, CTPS di mana saja, bertahan di rumah demi menjaga diri dan keluarga, jaga jarak dan jaga kontak, justru dianggap manusia aneh. Sebagian orang merasa sehat dan baik-baik saja, bahkan semakin banyak orang yang terang-terangan bilang, "Corona itu enggak ada, bohong aja itu". Tapi ketika ada keluarga yang terkonfirmasi positif, bahkan membuka pintu rumahnya saja dia tak berani, takut, membantu membawakan makanan untuk keluarga yang sedang isolasi mandiri saja, tidak berani. Lalu apa maksud perkatannya sebelumnya, covid tidak nyata?
Saya melihat begitu banyak keegoisan manusia selama pandemi. Bisa saja saya juga egois tapi setidaknya saya mengikuti apa kata kiyai guru batin saya, bahwa mereka yang tidak pakai masker itu, egois! Tidak memikirkan keselamatan orang lain, karena bisa saja kita ini terinfeksi.
Banyak sekali cerita kegoisan semasa pandemi. Termasuk mereka yang lantang bersuara covid tidak nyata namun ketika ada pemeriksaan tes covid, bergegas menjauh dan pergi tak kembali pulang beberapa saat. Takut tes covid, entah karena tak siap menerima hasilnya atau memang keras hati tidak percaya covid ada sehingga tidak merasa perlu pengetesan. Lalu, jika saja mereka terinfeksi, menolak tes medis untuk penegakkan diagnosa, dan bebas berkeliaran semaunya, berapa banyak lagi orang sehat atau orang berisiko yang terpapar lalu terinfeksi?
Bukan hanya orang sehat yang terinfeksi, namun tak pernahkah terpikirkan bagaimana nasib para nakes yang sudah berbulan-bulan bertugas, tidak pulang demi menjaga keluarga dari risiko terpapar? Bagaimana nasib rumah sakit yang semakin penuh pun Rumah Sakit Darurat Covid Wisma Atlet yang sempat "rehat" kemudian kedatangan pasien covid saat warga mulai lengah dan kendor prokes.
Jadi, jangan bertanya kapan pandemi berakhir? Tak usah juga menuntut siapa-siapa, karena yang seharusnya dituntut adalah diri sendiri, menahan diri saat harus tetap teguh hati jaga jarak dan batasi mobilitas. Menuntut diri sendiri disiplin pakai masker sebagai senjata utama yang sederhana dari penyebaran virus. Menuntut diri sendiri setia cuci tangan pakai sabun kapan dan di mana saja demi menjaga tubuh bersih dan mengusir virus yang bisa dilemahkan dengan kebersihan fisik.
Setiap orang, tanpa kecuali, saat ini berjuang bertahan dengan kewarasannya masing-masing.
Saya pun berusaha waras menjaga diri dan keluarga, saat salah satu anggota keluarga kami terinfeksi dan terkonfirmasi positif covid. Tak mudah menjalaninya karena begitu banyak ketidaktahuan dan simpang siur informasi. Berusaha menangkal misinformasi saat banyak orang menyangkal covid adalah perjuangan. Adaptasi kebiasaan baru memang tak mudah bahkan berat pada sekelompok orang. Namun inilah perjuangan sesungguhnya, mengedukasi diri dan menahan diri dari risiko terpapar, karena abai, lengah dan ketidaktahuan bahkan karena penolakan atas perubahan kebiasaan.
Pada akhirnya semua berjuang untuk waras. Belum lagi hantaman di sektor keuangan dan ekonomi keluarga, bisa menambah beban batin dan ketidakwarasan. Tak ada satu pun yang luput dan dampak wabah coronavirus ini. Hanya penerimaan dan jernih pikiran yang bisa menyelamatkan. Saya setuju apa kata Wanita Inspiratif Indonesia, Anne Avantie, yang berbagi pandangannya di Webinar KPCPEN ke-43. Katanya, kita ini harus bertahan dan berjuang melewati pandemi, buktikan kita mampu melewatinya sampai pada waktunya nanti kita bisa bercerita ke anak cucu. Dulu, ada masa pandemi, saat semua serba sulit dan kita bertahan, berjuang bersama, kuat dan berhasil melewatinya tanpa mengeluh dan menyalahkan. Jika kita bertahan dan menang melawan wabah, kuat sehat bertahan sampai nanti, ini adalah warisan berharga untuk masa mendatang. Kita bisa bercerita dan berbagi caranya, supaya generasi nanti, jika harus menghadapi wabah baru, menjadi manusia yang jauh lebih kuat. Itu saya simpulkan dari perkataan Anne Avantie.
Optimisme menjadi kunci bertahan kuat dan menang melawan wabah. Semua akan sia-sia kalau egoisme terpelihara tanpa sadar pun dengan sadar. Kita bisa memilih, mau mengambil peran sekecil apa pun, untuk memenangkan pertempuran atau setidaknya berjuang sekuatnya menjaga benteng pertahanan terkecil, rumah dan keluarga kita, dengan disiplin protokol kesehatan 3M, siap patuhi 3T dan 3H.
Semangat berjuang! Hati-hati dengan musuh jahat, EGO.
2 comments:
Pengalaman yang bermutu dan menyadarkan betapa setiap orang adalah pejuang dengan kisahnya masing-masing.
Iya Kang MT kt semua pejuang...semua jg berkorban yekan. Semoga menang bareng2 gantung masker.
Posting Komentar