Anak Cerdas,Mandiri, Gembira di Sekolah dengan Filosofi Montessori
Bisa kah sekolah membangun pribadi anak menjadi bukan hanya
cerdas, tapi mandiri dan selalu riang gembira termasuk ketika datang dan
belajar di sekolah? Bisa.
Bisa kah anak belajar life skill, kemampuan dasar, dari
batita hingga usia prasekolah, secara mandiri dengan pengawasan orang dewasa,
tanpa dikte dari guru atau orangtunya? Bisa.
Bisa kah anak memiliki kemampuan berbahasa, terlatih motorik
kasar dan halusnya, sejak dini, tanpa “dipaksa” dengan kewajiban harus mampu
membaca, menghitung, menulis dengan pensil yang diajarkan gurunya? Bisa.
Bagaimana saya bisa menjawab bisa untuk semua pertanyaan
itu? Bisa, karena saya semakin meyakini dampak dari sistem pendidikan
Montessori.
Kurikulum dan filosofi Montessori tak asing bagi saya,
karena sudah mengenalnya sejak teman baik di Bali, Win Wan Nur namanya, pernah panjang
lebar bercerita tentang pengalaman menyekolahkan anak pertamanya, Qien Mattane
Lao, di sekolah Montessori.
Saya terkesima dengan penjelasannya, selain memang metode
belajar Montessori ini menurut saya “canggih”, cara mas Win bercerita memang
membuat saya terbawa dengan alurnya.
Sudah sangat lama cerita tentang Montessori yang saya dapati
dan membekas di pikiran. Hingga kemudian, undangan datang dari teman baik yang
mengajak menghadiri Open House Ceria Montessori di Jl Sinabung 2 No. 1 Jakarta
Selatan.
Saya datang dan berbincang langsung dengan salah satu guru,
bernama Berlian Agustina, menyaksikan sendiri wujud dan fasilitas sekolah
berkurikulum Montessori, dan saya jadi tambah yakin untuk menjawab “Bisa” untuk
semua pertanyaan di awal tulisan ini.
Mengapa Montessori?
Sekilas, istilah Montessori terkesan terkait dengan
kepercayaan tertentu, padahal tidak demikian. Montessori merupakan metode
pendidikan anak yang dikembangkan oleh Maria Montessori, tokoh pendidik asal Italia.
Menurut Maria Montessori, semua anak dilahirkan dengan potensi luar biasa.
Potensi anak akan berkembang jika ada orang dewasa yang mengasuhnya, memberikan
stimulasi tepat di tahun-tahun pertama kehidupan anak.
Montessori sebagai sistem pendidikan, kemudian diaplikasikan
oleh banyak pendidik yang meyakini sistem ini. Untuk bisa mengaplikasikan
sistem Montessori, pendidik harus belajar khusus. Banyak lembaga pendidikan
Montessori, di Jakarta maupun di negara tetangga. Butuh ekstra dana untuk bisa mempelajari
dan menguasai sistem pendidikan ini, untuk kemudian dipraktikkan di sekolah
yang menerapkan sistem pendidikan Montessori.
Pendidik yang sudah mengeyam
pendidikan Montessori, memiliki sertifikat. Siapa saja yang berminat dan bertekad ingin mempelajari
metode pendidikan ini, bisa memilih dan mencari lembaga pendidikan untuk guru
Montessori.
Artinya, sistem pendidikan Montessori bisa dipelajari oleh
pendidik, untuk kemudian berpraktek di sekolah Montessori.Nah, rupanya sekolah
Montessori pun sudah banyak pilihannya. Ada yang menerapkan penuh atau
tradisional Montessori, ada juga sekolah yang mengadopsi sistem Montessori pada
kurikulumnya.
Saya berkesempatan berkunjung ke sekolah Cerita Montessori
untuk usia prasekolah. Umur sekolah Ceria Montessori sudah 21 tahun. Kehadirannya
sejak 1996 menjadikan sekolah Ceria Montessori ini tercatat sebagai sekolah
Montessori tertua di Jakarta.
Ceria merupakan kepanjangan Cerdas, Mandiri & Gembira.
Tiga kata yang memang mewakili sistem pendidikan Montessori. Kurikulum Ceria
Montessori School atau CMS fokus pada pengembangan motivasi mandiri anak
melalui peningkatan konsentrasi, pengembangan kontrol diri, menghargai sesama
teman, alam sekitar dan menumbuhkan rasa cinta pada proses belajar.
Belum terbayang seperti apa ya? Baiklah, saya coba gambarkan
apa yang saya dapati dari perbincangan bersama ibu guru Berliana, dan
pengamatan saya terhadap siswa CMS.
Di CMS, siswa dibagi kelas sesuai usia. Mulai kelas usia 2-3
tahun, lalu 3-4 tahun, dan 4-6 tahun. Penyatuan usia anak dengan rentang 1-2
tahun dalam satu kelas tentu ada
tujuannya.
Dari sini lah sistem Montessori berjalan. Bahwa, anak dengan
perbedaan usia 1-2 tahun, belajar dalam satu kelas yang sama, bertujuan untuk
memberikan pengalaman kepada siswa bagaimana rasanya menjadi yang paling muda,
usia tengah, dan paling tua. Sistem Montessori mulai berjalan di sini. Siswa
yang lebih tua menjadi terlatih untuk belajar bertanggungjawab, membimbing
anak-anak yang lebih muda. Begitu pun yang muda, belajar dan mencontoh dari
siswa yang lebih tua. Pada akhirnya, semua siswa punya pengalaman langsung,
dengan proses belajar, tanpa arahan guru hanya sebatas pengawasan ala
Montessori, untuk menjadi sosok yang memimpin dan dipimpin.
Sampai di sini, semoga sudah tergambar seperti apa sistem
pendidikan pembangunan karakter anak di sekolah Montessori tradisional. Jika
belum, baiklah, berlanjut kepada kegiatan sekolah.
Di setiap kelas Montessori, 80 persen kegiatan adalah
belajar mandiri. Meski CMS mengklaim sebagai sekolah Montessori tradisional,
yang seratus persen menerapkan sistem pendidikan Montessori, proses belajarnya
berbeda dengan sekolah konvensional, di mana guru mengajar di depan kelas
sementara siswa mendengar dan mengikuti arahan. Ini tidak akan terjadi di
sekolah Montessori tradisional.
Berliana, guru di CMS yang berpengalaman satu tahun
mengajar, bercerita bahwa begitu masuk kelas masing-masing (sesuai usia), siswa
CMS duduk di kursi dengan meja belajar yang memiliki beragam kegiatan berbeda.
Tidak ada keharusan, siswa mengikuti pelajaran yang terjadwal.
Siswa diberikan
fasilitas untuk pengembangan karakter dan kemampuan, sesuai usianya, dengan
pengawasan guru, bukan arahan guru. Tidak ada guru yang mengarahkan siswa untuk
belajar apa dan bagaimana caranya. Siswa dibiarkan memilih sendiri apa yang
ingin dipelajarinya. Pada akhirnya siswa bereksplorasi dengan berbagai alat
belajar yang sudah dipersiapkan dan dirancang kegunaannya untuk melatih
keterampilan anak.
Lalu apa fungsi guru? Hanya mengawasi tanpa mengarahkan?
Bisa dibilang benar begitu. Namun jangan dikira guru sekolah Montessori
tradisional memiliki tugas ringan. Justru guru CMS misalnya, harus mengamati
perilaku anak di kelas. Guru melakukan observasi kegiatan anak, menyesuaikan
dengan milestone tumbuh kembang anak, membantu anak berproses tapi tidak dengan
mengarahkan apalagi menyampaikan benar salah kepada anak.
“Anak-anak dilibatkan dalam konflik, dan memecahkan konflik
atau masalah yang dialaminya,” kata Berliana.
Konflik atau masalah apa? Apa pun.
Misal anak batita, masih
belajar sambil bermain, dengan alat bermain belajar memasang kancing seperti
sedang berproses mengancingkan baju. Anak dibiarkan bermain dan belajar
sendiri, anak menemukan masalah, kesulitan, guru akan membiarkan sambil
mengamati. Guru akan membantu, tapi bukan dengan memberi tahu, tapi dengan
bertanya, menajak anak mencari tahu letak masalahnya, dan pilihan solusinya,
untuk kemudian anak menemukan jawabnya.
Ketika anak didampingi dalam prosesnya
menemukan jawaban dari kesulitannya, di sinilah anak belajar dan menyerap
pengetahuan baru. Anak akan merasa senang dan bangga berhasil memecahkan
masalah, dan guru berhasil mendampingi mengawasi tapi bukan mengajari atau
memberi tahu tanpa melibatkan anak dalam menemukan jawaban atas masalahnya.
Berliana mengatakan, untuk bisa efektif mengawasi siswa,
maka satu kelas CMS berisi 16 murid dengan 3 guru. Di CMS ada total 20 guru
dengan total 106 siswa. Guru melakukan evaluasi setiap hari atas anak didiknya.
Guru pun harus membuat laporan observasi yang akan menjadi “rapot” untuk
orangtua. Jangan berpikir rapot ini berisi angka, bukan. Laporan ini lebih
kepada hasil observasi guru dan analisis atas kemampuan anak sesuai tumbuh
kembangnya.
Kalau saya bilang, laporan itu bisa menjadi rujukan orangtua
saat membawa anaknya konsultasi ke dokter anak, untuk sekadar memantau apakah
tumbuh kembang anak sudah sesuai milestone atau tidak. Dengan begitu, orangtua bisa
mengetahui apakah anaknya sudah memiliki keterampilan sesuai usianya. Jika ada
keterlambatan akan sangat mudah diketahui dan dicari solusinya.
Yang menarik dari CMS adalah anak-anak merasa bahagia ke
sekolah, justru menanti-nanti kapan waktunya sekolah. Bagaimana anak-anak
berproses menggali keterampilan dirinya, di sekolah, dengan sistem Montessori
menjadikan sekolah seperti ruang bermain, surganya anak-anak.
Di CMS pun “surga” ini diciptakan, dengan adanya fasilitas
permainan anak. Sebut saja, segala bentuk permainan anak di wahana bermain di
mal misalnya, tersedia di CMS, bahkan kolam renang pun. Kasur pun tersedia
untuk batita, karena jika anak merasa mengantuk, anak akan dibiarkan saja tidur,
tidak dipaksakan belajar. Apa pun aktivitas anak akan masuk dalam pengamatan
dan laporan guru kepada orangtua.
Dengan masa belajar 4-5 jam per hari, anak-anak di sekolah
Montessori berproses menemukan keterampilan dasar dirinya, yang perlahan
berdampak pada peningkatan berbagai kemampuan diri.
Pertanyaan saya adalah, apakah dengan sistem belajar seperti
ini, anak-anak kemudian bisa menulis, membaca, berhitung? Ternyata, bisa!
Usia empat tahun, kata Berliana, anak bisa membaca. Life
skills yang dilatih dengan proses per harinya dengan sistem Montessori ini,
perlahan melatih berbagai keterampilan anak, termasuk membaca, menulis,
berhitung, semuanya melalui alat ajar sistem Montessori.
Ada lima area belajar di CMS yang berhasil membuktikan bahwa
anak pada akhirnya bisa memiliki berbagai keterampilan yang umumnya diharapkan
orangtua. Area EPL atau Exercise Practical Life, Language, Sensorial, Culture,
Math.
Alat belajar ini bisa membantu anak berproses belajar tentang berbagai hal terutama kemampuan pasang baju sendiri dan lainnya (life skills) |
EPL misalnya, ketika anak menumpahkan air dalam gelas, lalu
lantai menjadi basah, anak akan dihadapkan pada masalah. Air tumpah lalu dia
berbuat apa? Siswa Montessori sudah terlatih untuk melihat masalah dan
menemukan solusinya dengan berproses bukan diajarkan apalagi didikte. Anak akan
berproses belajar mengeringkan lantai yang basah dengan lap pel, belajar dengan
sendirinya, dengan bantuan teman sekelasnya, diskusi dengan guru, tapi bukan
diperintah apalagi memerintah.
Semoga tergambarkan seperti apa sistem Montessori ini. Jika
masih penasaran, baiknya konseling saja langsung ke sekolah yang menerapkan
Montessori, terutama yang menerapkan sistem utuh atau tradisional.
Oya, fakta lainnya adalah, sekolah Montessori umumnya
menerapkan bahasa Inggris sebagai bahasa harian. Seperti di CMS yang sebagian siswanya
memang dari keluarga ekspatriat. Bukan negara barat, tapi Jepang, yang juga mau
tak mau harus belajar bahasa Inggris. Faktanya lagi, anak yang awalnya sama
sekali tidak bicara bahasa Inggris, perlahan akan paham dan bisa berbahasa
asing, karena lingkungan membentuknya.
Jika sudah mulai tergambar seperti apa sistem pendidikannya,
barangkali mulai bertanya, berapa biayanya? Di CMS, biaya pendidikan untuk
mencetak anak cerdas, mandiri, gembira dengan kemampuan berbahasa juga bahasa
asing, biaya paling minimalnya adalah Rp 8 juta per tiga bulan masa sekolah,
untuk kelas paling dasar usia 2-3 tahun.
Hasil didikan sekolah Montessori, umumnya mencetak anak yang
memiliki kemandirian tinggi dan logika berpikir dengan problem solving yang
juga berkembang baik. Satu hal lagi, “respect” adalah hasil positif lain yang
terbentuk dalam diri anak-anak Montessori.
Saya menyaksikan sendiri, saat open
house, anak balita yang begitu suportif kepada temannya yang sedang tampil di
depan panggung. Mendengarkan, menyaksikan, memberi tepuk tangan, bahkan pelukan
tanda dukungan kepada temannya yang sedang tampil. Anak yang memeluk
orangtuanya atas inisiatif sendiri, bukan diminta, juga saya lihat sendiri. “Respect”
bagi saya adalah nilai tertinggi dari akhlak seseorang, yang rasanya makin
hilang. Ketika anak sudah belajar menghargai sejak dini, rasanya bekal dia
sudah cukup baik, meski pada akhirnya dunia setelahnya begitu menantang pribadi
untuk tetap memelihara “respect” atau menghancurkannya.
Apakah sekolah tipe ini yang Anda cari untuk buah hati?
Kalau pun ternyata masih sebatas impian, semoga Anda menjadi orangtua yang
dimampukan untuk memberikan pendidikan terbaik untuk anak, demi menyiapkannya
menjadi generasi bisa diandalkan bertahun-tahun ke depan, dengan persaingan
sumber daya manusia yang semakin kompetitif. Semoga.
18 comments:
Baru tau sih mbak, ada sekolah CMS itu. Hehehehe, semoga lancar jaya
Iyah memang belum banyak yang ngeh sih dengan sistem pendidikan asal Italia ini. thanks dah mampir
Di Fakultas Keguruan ada di sentuh tentang teori penddkn M ini . . . memang aspek pendukung jadi prioritas
aku tertarik dengan sistem Montessori yang ajarkan practical life skill ke anak. Jadi ingin ikut open house supaya bisa mengenal dekat sistem pembelajaran di sana. Thanks infonya Mbak Wawa
Sekolah Montessori ini sekarang lagi ngetren cuma beda sekolah penerapannya juga beda ternyata (hasil curhat temen). Di CMS masuk tiap hari mba?
Pas di bagian yang anak punya aktivitas sendiri-sendiri di mejanya, saya kok jadi ingat buku Totto Chan ya Mbak.
Wah beneran baru tahu ada sekolah ini. Apalagi usianya ternyata sudah 21 tahun. Hihihi, telat banget tahunya!
Makasih banyak Mbak. Jadi ada gambaran. Selama ini saya masih suka bingung sebetulnya Montessori itu yang seperti apa.
Metode montessori kayanya bisa di terapkan di rumah, ya? Kadang saya sebagai ibu suka cepat pingin bantu yang sedang dikerjakan anak dan masih belajar cara "mengajak" biar anak mandiri.
Iya ada juga sekolah Islam yg mempraktikkan montessori bunda
Coba nanti aku ajukan yaa ke sekolahnya... Siapa tau bs ajak School Tour
Senin sd Jumat pagi sd siang.. Ada yg lanjut sd sore daycare krn ortu kerja
Iyaaa Toto Chan... Alhamdulillah jk bermanfaat
Bisa aja sih.. Tp kalau mau tau lbh detil kt bisa kursus dulu.. Sekolah utk tenaga pendidiknya jg ada di Jakarta dan Singapura. Jd bs tau detil Ilmuny.
Sekolah montessori, baru tau juga saya Mbak. Metodenya bisa diterapkan dirumah juga ini.
Thanks for share Mbak Wawa
sekolahnya sesuai dengan pemahaman saya tentang arti pendidikan mbak😊
mbak Evi iyaaa padahal dah 21 th yaaa CMS hehe
Iyah Yilan, pendidikan yg holistik yah, salam kenal thanks dah mampir ya
dari dulu sering denger istilah pendidikan Montessori, pengeen bgt masukin anak2 sekolah spt ini, pengen juga andaikan sekolah2 di Indonesia punya konsep belajar spt ini, jadinya anak gak bakal stress ya
fasilitas sekolahnya enak.. feel like home
hai mbak Lia, iyaaah aku pun penasaran, dan ada kok sekolah Islam yg juga mengadopsi sistem pendidikan Montessori. Kita pun bs kalau mau praktekkan.
Mbak Yat, hooh, berasa main di rumah sama temen2 gitu yaaa, gak kayak sekolah. anak2 seneng banget pasti
Posting Komentar