Film “Lima” untuk Millenial Memaknai Pancasila
Tepat 1 Juni 2018, Hari Lahir Pancasila, film “Lima” tayang
di bioskop nasional. Mengawali penayangannya, film yang diproduseri oleh Lola
Amaria ini muncul dalam pemberitaan terkait batasan usia. Kalau pihak rumah
produksi mengkategorikan 13+, lain lagi
dengan Lembaga Sensor Film yang akhirnya menentukan kategori umur mulai 17
tahun.
Kalau menurut saya sih, film ini
cocok menjadi edukasi anak usia sekolah SD sekalipun. Namun memang ada dua
adegan yang mungkin menjadi kekhawatiran jika dipertontonkan kepada usia belia.
Setelah menonton film “Lima” di hari pertama penayangannya,
bersama komunitas BloggerCrony Community, yang mendapat kesempatan nobar dari
Shopback, saya bisa memahami batasan usia itu. Namun saya juga bisa memahami
mengapa Lola Amaria menginginkan film ini ditonton usia muda.
Ada pesan ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, kebijaksanaan,
dan persatuan yang disampaikan melalui sebuah keluarga dalam film “Lima”. Pesan
yang menurut saya perlu dipikirkan bagaimana caranya bisa mengena ke kaum muda.
Menyampaikan pesan melalui film, bagi saya, menjadi saluran
efektif dan kreatif. Pun pada akhirnya penonton dibatasi usianya, saya yakin
film “Lima” yang karakternya lebih masuk ke kategori “festival film” alih-alih
film populer, akan tetap bisa menemukan takdirnya.
Film “Lima” bisa menjadi alat komunikasi di sekolah-sekolah
tentang Pancasila. Sesuai dengan momen peluncuran film ini di Hari Lahir
Pancasila. Bahkan film ini bisa menjadi pemantik diskusi. Seperti halnya kami
beberapa blogger yang usai menonton, akhirnya jadi diskusi, pada bagian mana
dari film yang merepresentasikan nilai-nilai dasar negara, Pancasila.
Baiklah, ini cara saya memaknai Pancasila dari film “Lima”
semoga enggak jadi spoiler ya. Saya
penganut review film no spoiler kok. Soal
dua adegan yang menurut saya akhirnya membatasi usia penonton, akan coba saya
kulik juga di sini.
LIMA
Film “Lima” diawali dengan persoalan agama dalam sebuah
keluarga. Tentang keluarga yang terdiri
dari lima orang, ayah (almarhum) dan ibu, mereka beda keyakinan, serta tiga
anak (yang juga beda keyakinan).
Dari kisah mereka, saya menangkap banyak pesan. Jujur, pesan paling kentara adalah betapa
sulitnya hidup dalam keluarga beda keyakinan, lebih kepada bagaimana persepsi
orang di luar rumah atas keluarga. Jika pun dalam keluarga damai dan saling
menghargai, lain halnya dengan lingkungan yang memiliki persepsi masing-masing.
Selalu ada friksi pun sampai pada menguburkan jenazah almarhumah, ibu yang
muslim apakah boleh dimakamkan oleh anak yang non muslim.
Saya tidak akan dan tidak mau terjebak pada perbedaan
persepsi. Seperti apa kata Pancasila, pertama, KETUHANAN YANG MAHA ESA, saya
memaknai, setiap orang berhak memilih apa pun keyakinannya. Setiap warga negara
Indonesia berhak hidup dengan apa pun pilihan agamanya. Tugas kita di muka bumi
adalah saling menghargai dan tidak menghakimi. Persoalan ada keinginan untuk
mengajak orang kesayangan kepada keyakinan yang kita yakini paling benar, boleh
saja, namun tanpa paksaan.
Saya punya role model, di agama saya, Nabi Muhammad SAW,
yang berjuang sekuat tenaga dengan penuh kasih dan damai untuk mengajak pada
kebenaran yang diyakini. Semua berjalan dengan penuh kasih, bukan hujatan dan
bahkan beliau cukup mendoakan ketika sudah kehabisan cara mengajak pada apa
yang diyakini sebagai kebenaran.
Pada akhirnya, saya memaknai film “Lima” sedang mengajarkan
kita untuk terus belajar, menggali ilmu, bukan sekadar meyakini sesuatu karena
“katanya”.
Seperti dalam keluarga di film “Lima” ini, ketika
Aryo, anak non muslim dalam memakamkan ibunya yang muslim. Saya perlu belajar
lagi banyak hal bahkan tentang agama saya. Tak perlu mendebatkan keputusan anak
perempuan sulung di keluarga ini, Fara, yang akhirnya mengizinkan Aryo turun ke
liang lahat.
“Biar dosa kami yang tanggung,” kata Fara ketika akhirnya
Aryo yang memakai kalung salibnya turun ke liang lahat memakamkan ibunya.
Kedua, KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB, pesan ini
disampaikan secara kontradiktif. Terkait fakta yang kerap kita temui di
masyarakat. Adi, anak bungsu di keluarga dalam film “Lima” ini, adalah siswa
SMA yang memiliki seorang teman pelaku bully. Teman Adi ini digambarkan penuh
dengan kemarahan. Selain melampiaskan
dengan merokok, teman Adi ini juga kerap mudah terpancing emosi.
Adi yang tengah berduka sepeninggal ibunya, sepulang sekolah
singgah ke kediaman teman (atau mungkin studio musik atau toko musik) untuk
bermain alat musik kesukaannya, piano.
Diskusi yang meresapi pikiran Adi terjadi di sana. Dalam perjalanan
pulang ke rumah, Adi dihadapkan pada kondisi yang menguji sikapnya. Adi
terjebak dalam pengejaran maling oleh warga yang main hakim sendiri kepada si
maling tanpa beri ampun, apalagi kesempatan
membela diri.
Teman Adi, yang kebetulan ada di lokasi, terlibat dalam aksi
main hakim sendiri hingga menghabisi nyawa orang lain. Sebagai saksi, Adi
memilih tidak diam dan melaporkan apa yang dilihatnya.
Kalau saja warga memaknai sila kedua Pancasila, bukan aksi
penuh emosi dan luapan kemarahan yang terjadi menyikapi dugaan pencurian.
Bukankah siapa pun yang bersalah, punya kesempatan membela dirinya? Buktikan
kesalahan melalui ranah hukum bukan main hakim sendiri. Apalagi jika ternyata
perkaranya bukan hal besar, si korban diduga mencuri buku untuk adiknya.
Ketiga, PERSATUAN INDONESIA, pesan ini disampaikan lebih
kuat di film “Lima”. Fara, si sulung dalam keluarga adalah atlet yang
berprofesi sebagai pelatih renang. Dua muridnya, orang Indonesia beda suku,
punya potensi yang sama untuk bisa bertanding sebagai atlet nasional dan masuk
Pelatnas. Fara pasang badan untuk satu kandidat yang berkualitas. Namun
kepentingan kalangan elit punya pilihan lain. Kata pribumi dan non pribumi
menjadi sumber konflik.
Jika banyak orang Indonesia seperti Fara, yang katanya
idealis, melawan praktik korup, Indonesia bakal maju. Pernyataan ini yang
disampaikan Fara dengan tegas di depan atasannya. Memilih atlet yang kurang
kompeten hanya karena dia dianggap pribumi, hal konyol bagi Fara. Bukankah
seharusnya kompetensi lebih utama dalam membela nama Indonesia di panggung
kompetisi olahraga dunia? Itu kalau tujuannya adalah membela negara, bukan
membela kepentingan sekelompok orang demi eksistensi, ego atau urusan uang.
Bersatu untuk Indonesia, buang jauh-jauh ego pribadi atau urusan
perut saja, pesan yang menjadi harapan. Semoga saja pelan-pelan karakter ini
terbangun di kalangan muda yang memang jadi harapan bangsa.
Keempat, KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN
DALAM PERMUSYAWARATAN DAN PERWAKILAN. Saya pribadi, dalam keluarga, diajarkan
mengenai musyawarah. Karakter ini terbangun dan ketika akhirnya saya memimpin
komunitas, musyawarah selalu menjadi cara mengambil keputusan. Bisa saja kita
menjadi ototiter, yang memang terkesan tegas, namun kita tidak mendengarkan
orang lain dan hanya memandang cara kita paling baik.
Musyarawah juga saya dapati dari role model saya, Nabi
Muhammad SAW. Beliau selalu mendengarkan orang lain. Meski mungkin sudah
membuat keputusan, beliau masih mendengarkan pendapat orang lain. Bahkan
istrinya Khadijah, menjadi penasehat utama, selalu berbagi pendapat dan saling
mendengarkan dengan pasangan hidupnya.
Kasus pencurian kakao oleh anak sulung bi Ijah (asisten
rumah tangga keluarga Fara), ingin memberikan pesan ini. Beri kesempatan rakyat
jelata membela diri di meja hijau. Pesan lainnya, jadilah penegak hukum yang
punya jiwa musyawarah dan kebijaksanaan optimal. Jangan urusan kecil jadi besar, urusan besar
diperlakukan kecil bahkan menjadi tak berarti di meja persidangan.
Kelima, KEADILAN SOSIAL BAGI RAKYAT INDONESIA. Pesan ini
masih samar bagi saya, hingga akhirnya obrolan di meja makan memberikan
inspirasi. Sebenarnya kisah di persidangan bisa membawa pesan ini. Namun saya
melihat hal lain dari keluarga Fara yang akhirnya memboyong keluarga bi Ijah,
dengan dua anaknya tinggal satu rumah di Jakarta.
Saya jadi ingat pengasuh anak yang pernah bekerja untuk
keluarga kami. Meski upah sudah dibayar layak, tinggal di rumah dengan
perlakukan yang setara sebagai bagian dari keluarga, tetap saja mereka punya
kehidupan yang susah di kampungnya.
Rasanya tak adil, ketika hidup enak di Jakarta, sementara
ada anak yang susah payah di kampung. Kita sebagai pemberi kerja bukankah juga
harus memikirkan mereka yang sudah membantu meringankan hidup kita di kota.
Rasa adil menjadi urusan bersama, bukan soal nasib. Kalau bi
Ijah membantu keluarga Fara sampai sukses berkarier, lalu apa yang harus
dilakukan keluarga Fara untuk anak-anak bi Ijah yang miskin? Keadilan adalah
soal kita memperlakukan orang lain setara, dan berupaya semaksimal kita bisa
membuat orang lain merasa hidupnya diselimuti rasa keadilan.
Jadi, masih ada yang meragukan lima dasar negara? Saya pikir
pemimpin bangsa sudah sangat menyadari potensi perpecahan dari keberagaman di
nusantara. Para pemimpin negara Indonesia juga sudah berupaya maksimal mencari
dasar negara, untuk menjadi panduan bersama.
Panduan yang bukan sekadar dihapal, namun diterjemahkan dalam praktik
hidup sebagai warga negara.
Film “Lima” sedang mengingatkan lagi, kita, soal praktik
nilai Pancasila. Itu, kata saya.
Oh ya soal dua adegan yang mungkin berujung pada pembatasan
usia penonton. Adegan merokok yang menurut saya tak perlu ada, barangkali menjadi
pertimbangan LSF. Saya sepakat soal pembatasan akses tayangan merokok ke kalangan
muda. Kalau adegan main hakim sendiri,
menurut saya bisa menjadi bahan diskusi sebagai pembelajaran oleh millenials soal moral.
Sutradara film ini sudah berusaha menutupi aksi brutal dengan adegan simbolis. Namun memang film ini tipikal film pemantik diskusi usai menontonnya. Jadi
tepat kalau dijadikan alat komunikasi edukasi nilai moral di kalangan siswa di
sekolah.
Setelah menonton, jadikan pesan film untuk bahan diskusi di sekolah
misalnya, rasanya akan seru. Itu, kata saya.
5 comments:
Dalam sekali mbak Wawa ulasannya. Saya setuju banget dengan poin poin dari tulisan ini.
iya nih jadi meresapi Pancasila yah
Film yang sangat menarik ya Mba Wawa, semoga bisa membuka pemikiran Kita semua bagaimana Pelaksanaan Kelima sila Pancasila dalam kehidupan Kita sehari-hari
ilmu praktis ya mbak Dian, menyenangkan pula sambil nonton bareng temen duduk santai sambil silaturahim paket lengkap deh bikin hepi
Film yang menarik dan edukatif. Suka banget sama film ini walaupun konfliknya agak datar. Oya, kita punya perbedaan pandangan dalam hal penerapan sila dalam film nih mbak hihi. Kalau saya memaknai sila keempat itu tergambar pada Aryo saat bermusyawarah dalam membahas warisan sedangkan sila kelima yang keadilan sosial itu tergambar saat Bi Ijah beserta keluarga Fara menuntut keadilan agar anaknya bi Ijah dibebaskan dari persidangan.
Posting Komentar