Suntikan Semangat dari GWRF Wujudkan Impian Menulis Buku
Jadi, ketika ada kesempatan menghadiri undangan Gramedia Writers and Readers Forum 2018, saya tak sia-siakan. GWRF pertama kalinya digelar sebagai cara meningkatkan literasi di Indonesia. Kegiatan ini merupakan kolaborasi Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Republik Indonesia, Badan Ekonomi Kreatif, Komite Buku Nasional, Gramedia.
Kegiatan dua hari yang berlangsung di Perpusnas RI di Jalan Medan Merdeka Selatan no 11 Jakarta, mendatangkan warga yang hobi membaca dan menulis, menghidupkan perpustakaan. Saya pun akhirnya menyempatkan diri membuat kartu Perpusnas RI yang antriannya tak pernah sepi, meski sudah dibatasi 500 pendaftar per hari.
Datang ke Perpusnas pada hari kedua GWRF, tepatnya di pelataran gedung sebelum pintu masuk, pengunjung sudah disajikan dengan pameran Toko Buku Gramedia. Diskon buku 10 persen sudah cukup memancing penasaran buku apa saja yang dijual di area Gramedia Exhibitions ini.
Setelah registrasi, saya pun langsung menuju pameran buku dan membeli 4 buku antara lain Menulis dan Berpikir Kreatif karya Ayu Utami, Wiji Thukul Teka Teki Orang Hilang (KPG dan Tempo Publishing), RE: dan perempuan karya Maman Suherman.
Lantas kapan menulis buku sendiri?
Hobi membaca dan mengoleksi buku sudah berlangsung lama, sejak remaja. Masa remaja saya diisi dengan bacaan OLGA dan LUPUS. Membaca memang menjadi bekal menulis. Wawasan tercerahkan dan selalu menemukan kosakata baru bertambah kaya lagi koleksi kata-kata.
Lantas kapan menulis buku sendiri?
Hobi membaca dan mengoleksi buku sudah berlangsung lama, sejak remaja. Masa remaja saya diisi dengan bacaan OLGA dan LUPUS. Membaca memang menjadi bekal menulis. Wawasan tercerahkan dan selalu menemukan kosakata baru bertambah kaya lagi koleksi kata-kata.
Lalu bagaimana dengan menulis buku? Saya masih dalam tahap menulis buku pesanan dan membantu orang lain menulis buku. Buku pesanan pertama adalah ide penerbit untuk menghasilkan buku tentang bisnis minimarket. Mereka mencari penulis yang istilahnya dibayar putus, kemudian menulis buku sesuai outline yang dibuat oleh penulis berdasarkan arahan penerbit. Satu buku tentang bisnis minimarket berhasil dicetak dua kali oleh penerbit. Proses kreatif menulis buku bisnis kala itu berkaitan dengan latar belakang saya sebagai wartawan ekonomi.
Begitu pindah bidang menjadi wartawan lifestyle dan dunia perempuan, ada tiga buku yang saya bantu tuliskan. Satu buku tentang fashion, satu lagi tentang motivasi diri dan kepemimpinan, serta buku biografi tokoh di Karawang.
Semua buku orang lain, bukan pemikiran sendiri.
Menulis buku selalu menjadi resolusi tahunan yang tak kunjung berwujud. Berprofesi sebagai wartawan online yang dikejar target tulisan, selalu jadi alasan saya tak kunjung sempat membuat outline buku sendiri. Profesi wartawan pun saya tinggalkan dan memutuskan fokus menjadi blogger dan bisnis kecil-kecilan di ranah konten digital. Ternyata kesibukan masih menjadi alasan kenapa saya tak juga kunjung menulis buku sendiri.
Datang ke GWRF dan mengikuti berbagai kelas yang menghadirkan para master kepenulisan dan literasi, memberikan suntikan semangat buat saya. Saya mendapat insight dari sesi bincang-bincang dengan penulis millenials: Almira Bastari, Elvira Natali, dan Rain Chudori.
Saya yakin, peserta yang duduk dalam majelis memiliki impian yang sama, menulis buku. Kebanyakan peserta adalah Gen Z dan millenials, hanya beberapa saja yang sudah berusia matang seperti saya. Anggap lah saya millenials juga karena punya semangat yang sama.
Membuka wawasan bisa di mana saja dan dari siapa saja, termasuk saat mengikuti perbincangan dan tanya jawab di sesi millenials ini. Betapa semangat menulis begitu tinggi, dan semuanya haus ilmu sehingga ingin terus menggali dari mereka yang sudah terlebih dahulu sukses mewujudkan impiannya, menulis buku.
Seperti halnya belajar bahasa yang sangat mungkin multitafsir, begitu pun belajar menulis. Semakin banyak kita mengikuti kelas menulis, mendengar langsung pengalaman penulis, pengetahuan semakin banyak, terasa kaya karena wawasan makin luas. Pada akhirnya, kepercayaan diri pun muncul dan semangat terpompa untuk mewujudkan impian menulis buku.
Saya paling terkesan dengan paparan Almira Bastari penulis buku berjudul “Resign” genre Metro Pop. Tekad menulis buku diwujudkannya dengan menyempatkan menulis di mana saja. Sesi penulis dan pembaca millenials ini bikin saya segera menuju pameran buku dan membeli novel “Resign”.
Di GWRF saya juga sempat berbincang singkat bersama penulis dan pegiat literasi, kang Maman Suherman. Pria berlatar belakang jurnalis ini selalu lihai bicara dengan banyak muatan berisi menambah pengetahuan.
Dari berbagai pertemuan di GWRF saya pun belajar beberapa hal yang menjadi bekal untuk mewujudkan impian menulis buku.
1. Produktif Menyicil Tulisan
Dari Almira saya diingatkan lagi untuk lebih fleksibel demi lebih produktif menulis. Saya selalu beralasan tak cukup waktu dan lain-lain karena urusan pekerjaan. Padahal waktu menulis bisa kita ciptakan sendiri di mana dan kapan saja. Mengubah kebiasaan yang selalu mengandalkan laptop untuk menulis juga bisa jadi cara lain. Inilah yang dilakukan Almira menuntaskan bukunya. Usai jam kerja, di parkiran sambil menunggu waktu ganjil genap berakhir, dia menulis di smartphone, di dalam mobilnya, dan menghasilkan 1-2 bab bukunya. Jadi, produktif menulis menciptakan waktu menulis di mana saja menggunakan alat se-minimalis mungkin, tetap bisa menghasilkan tulisan. Tak ada lagi alasan.
2. Batasi Stalking di Medsos
Salah cara produktif menulis untuk mewujudkan impian menerbitkan buku adalah batasi penggunaan medsos. Ini tantangan buat saya yang pekerjaannya sangat mengandalkan medsos. Saya mengelola akun medsos partner bisnis, saya pun harus terus memantau medsos komunitas, saya pribadi membranding diri sebagai influencer mikro yang setiap hari harus update medsos. Agak berat memang tapi wajib dicoba untuk membatasi dan menggantikan waktu stalking dengan menulis di smartphone. Inilah yang dilakukan Almira, mengurangi penggunaan medsos dan produktif mencicil tulisan novelnya.
Catatannya adalah, batasi waktu akses medsos dibutuhkan saat sedang proses menulis buku. Nah, ketika bukunya sudah dicetak dan waktunya pemasaran, menurut saya penulis harus optimalkan media digital. Medsos menjadi cara jitu untuk mempromosikan buku dan merancang aktivasi digital lainnya dalam rangka branding dan pada akhirnya pemasaran buku.
3. Tujuan Menulis Buku dan Literasi
Obrolan dengan kang Maman selaku pegiat literasi membuka wawasan saya. Perjuangan literasi sungguh tak mudah. Tak usah membahas minat baca yang rendah, masyarakat yang buta huruf saja masih banyak. Pun ada gerakan literasi membagikan buku gratis saja masih banyak penolakan atau tantangan yang tak bisa ditembus.
Lantas apakah kondisi ini membuat calon penulis buku jadi mundur? Tentu tidak. Di kelas GWRF hari kedua, Elvira membuat pertanyaan sekaligus pernyataan, untuk apa kita bikin buku? Untuk diri sendiri atau komersial? Bebas saja jawabnya. Jika pun tujuannya komersial, artinya sangat memikirkan marketing dan jumlah eksemplar terjual, yang akhirnya terkait dengan daya beli pembaca. Sementara kondisi literasi di Indonesia masih berjuang untuk terus dikuatkan. Memproduksi bahan bacaan menurut saya justru akan terus mengerakkan literasi. Jangan khawatir tidak akan ada pembacanya. Menulis saja intinya, produktif, nanti tulisan itu akan menemukan takdirnya, kalau kata orang bijak.
4. Tambah Wawasan dari Forum Penulis
Mengikuti kelas menulis dan berkumpul dalam forum kepenulisan, buat saya, memberi tambahan gizi penulis dan calon penulis buku. Serap pengetahuan dan pengalaman dari para penulis buku yang sudah berpengalaman mau pun yang sedang berjuang memasarkan bukunya. Silaturahim di forum penulis menjadi salah satu cara ampuh membangkitkan gairah menulis. Paling tidak kita jadi lebih tersadarkan untuk segera menerbitkan buku seperti penulis lainnya. Mereka bisa kenapa kita enggak?
5. Mulai Membuat Outline
Sudah terbuka wawasan dari GWRF, selanjutnya, membuat outline buku sendiri. Saya termasuk tipikal penulis yang membutuhkan outline buku. Ada juga yang tidak membutuhkan outline, langsung menulis saja. Sekarang, waktunya mulai, tentukan mau menulis apa dari bank ide yang sudah menumpuk itu, dan membuat outline buku.
Semoga GWRF tahun depan saya sudah memproduksi buku, minimal dalam proses kreatif penulisan, bukan hanya masih tersimpan di bank ide seperti sekarang ini.
1 comments:
Sampai dibatasi 500 per hari untuk membuat kartu. Berarti minat baca masyarakat Indonesia sebetulnya lumayan juga, ya, Mbak. Semoga semakin banyak perpustakaan yang bangus seperti ini :)
Posting Komentar