Kontrol “Baper” di Media Sosial dengan “Kopdar” Berkualitas
Setiap kata yang kita tuliskan ada pertanggungjawaban. Ini
sudah menjadi prinsip saya, dan membuat saya sangat berhati-hati menulis, di
media sosial, bahkan pesan singkat aplikasi chat apa pun, apalagi menulis di
blog.
Saya pernah menulis soal pentingnya kehati-hatian dalam blogging, belajar
dari narasumber terpercaya, dan dari pengalaman pribadi. Karena itulah ketika
menuliskan ini, saya sudah benar-benar yakini, bahwa sudah waktunya menulis,
menyerap dari berbagai ilmu yang saya cari dan dapatkan begitu saja, juga dari
analisis dan observasi postingan netizen di media sosial.
Netizen saya bilang,
termasuk blogger di dalamnya, juga nonblogger yang makin “candu” dengan media
sosial dalam menyampaikan apa pun yang terlintas di kepalanya.
Ada teman saya bilang, di sebuah komentar di media sosial,
bahwa tuliskan apa yang saya pikirkan tentang suatu kasus. Waktu itu tentang
suatu kasus etiket dan attitude. Saya sudah sampaikan, saya akan menuliskan
setelah merasa siap menuliskan, merasa sudah dibekali berbagai pengetahuan.
Karena menulis hanya karena momentum atau menulis hanya karena ingin cepat
merespons, apalagi dikuasai emosi, hasilnya hanya akan memperuncing.
Menulis sebaiknya
memang bermotif, dan alangkah lebih baik jika motifnya untuk memberi manfaat,
meski pun pada akhirnya akan kembali kepada masing-masing persepsi yang
menyerapnya, dengan berbagai latar dan pengalamannya.
Untuk menulis dengan
motif memberi manfaat, bekalnya harus banyak atau setidaknya merasa cukup
dibekali dengan berbagai contoh kasus dan referensi bacaan atau pengetahuan
yang bisa dipertanggungjawabkan. Nanti
ya, di tulisan berikutnya saya bahas soal attitude (mudah-mudahan sudah cukup bekalnya).
Dan inilah satu tulisan berbekal pengetahuan dan fenomena
media sosial belakangan. Tulisan media sosial, dari saya, yang masih newbie di
dunia media sosial, yang masih terus belajar.
Pendatang baru yang memberanikan
menyebut diri sebagai Social Media Strategist, karena memang itulah yang saya
kerjakan bersama Toska PR, memikirkan strategi media sosial dengan pengetahuan dan pengalaman yang saya punya,
yang ternyata ada manfaatnya untuk sebagian mereka yang masih belum
memaksimalkan bahkan belum memulai fungsi media sosialnya.
Banyak sekali praktisi yang lebih mahir dari saya, namun setiap
orang ada porsinya dan setiap porsi ada peluangnya. Mereka yang sudah lebih
mahir, punya porsi dan peluang lebih besar. Kalau mau membuka mata dan wawasan
kita, dunia digital sangat berkembang pesat, begitu banyak peluang dan
kesempatan, untuk mereka yang mau belajar dan berani mengambil tantangannya
juga jeli melihat peluang.
Baiklah, prolog saja sudah banyak paragraf. Kita mulai
bincangkan “baper” dan “kopdar” lewat tulisan, judul yang saya pilih, saat bangun
tidur di suatu pagi dan digerakkanNYA menulis ini.
“Baper” dan “Kopdar”
Saya beri tanda petik pada kedua kata itu, karena seperti
kata guru bahasa saya, Anwari Natari, gunakan bahasa Indonesia yang baik dan
benar, dan beri tanda baca yang tepat, karena bisa jadi tulisan kita dibaca
oleh berbagai lapisan masyarakat, yang belum tentu semua paham istilah yang
barangkali sudah dipahami sekelompok
orang tapi tidak oleh kelompok yang lain.
Berilah keleluasaan pada tulisan kita,
dengan pengunaan bahasa yang baik dan benar, antisipasi saja kalau-kalau
tulisan kita dibaca sampai Papua, yang belum semua paham apa sih “baper” dan “kopdar”.
Tanda petik menunjukkan itu adalah kata khas yang umum digunakan di kalangan
urban, belum tentu semua orang paham (meski mungkin hanya sebagian kecil saja
yang tak paham).
Oke, kembali ke topik. Bawa perasaan atau disingkat baper,
belakangan makin marak diperbincangkan, bahkan jadi pilihan judul tulisan media
online, dengan tujuan supaya cepat ditangkap mesin pencari dan SEO berjalan
dengan maksimal. Kopi darat atau kopdar, barangkali sudah sangat umum, apalagi
bagi kalangan komunitas yang merujuk pada makna kumpul, pertemuan, tatap muka
yang dilakukan berkala oleh sekelompok orang karena kesamaan kesukaan/hobi atau
apa pun motif di baliknya.
Saya, sebagai pendiri dan pengelola komunitas, yang juga
punya jabatan social media strategist di Toska PR (sebagai associate), punya
tugas wajib (yang saya ciptakan sendiri), untuk memantau media sosial. Apa yang
sedang ramai diperbincangkan, apa yang sedang menjadi perhatian, bahkan apa
yang sedang menjadi krisis media sosial.
Juga lewat media sosial, saya
menganalisis penggunanya, bukan untuk menilai apalagi menghakimi, tapi sekadar
menjadi bahan pembelajaran yang kemudian bisa saja menjadi bahan pertimbangan
dalam mengambil keputusan, sikap, apa pun itu yang terkait dengan pekerjaan
profesional atau bahkan referensi pribadi.
Dari netizen saya banyak belajar. Boleh lah dibilang
praktisi, yang memang saya terjun bebas ke ranah media sosial, setelah belasan
tahun berjibaku dengan dunia media mainstream sebagai jurnalis profesional .
Tak puas
belajar dari netizen, saya pun mencari guru untuk belajar soal media sosial,
terutama terkait etiket. Dari buku saya pun belajar soal media sosial. Workshop
adalah sarana paling tepat untuk menambah pengetahuan, dan mencari workshop
media sosial itu memang tantangan. Rata-rata training dan workshop media sosial
itu mahal ongkosnya, wajar saja karena memang ilmunya sedang naik daun.
Kembali ke soal “baper” media sosial. Dengan berbagai
pengalaman personal berselancar di dunia maya, dan mencari ilmunya inilah saya
bisa lebih siap menyikapi media sosial dan dampak juga imbasnya.
Dari pembicara workshop (#BloggerHangout) Ferri Yuniardo,
dari Channel Dikidi.com di BloggerDay 2017 inisiasi BloggerCrony
Community (BCC), saya makin yakin dengan apa yang saya belajari otodidak soal
media sosial.
Bersyukur bisa berkolaborasi dengan @omferri (akun Instagramnya) yang berkenan berbagi,
untuk workshop komunitas, untuk people development, program BCC #BloggerHangout,
jauh-jauh ke Bogor dari Bintaro.
Kata-kata @omferri yang paling mengena adalah (dalam
penafsiran saya) jangan baper di media sosial karena sejatinya media sosial
bukan dunia yang sebenarnya, bisa jadi yang disajikan adalah palsu, bukan
sesungguhnya nyata persona pemilik akun itu, bisa jadi si pemilik akun medsos
memang sedang melakukan pekerjaan dengan medsosnya, dengan memaksimalkan
benefit dari jumlah followers yang dikumpulkannya susah payah. Bisa jadi apa
yang disajikan benar adanya.
Jadi, jangan “baper” apalagi mudah menyimpulkan
segala sesuatunya. Lihat kondisi dan sikap saling mendukung satu sama lain,
akan lebih baik diciptakan daripada mengomentari dengan nada negatif lantaran mungkin
kita tak kebagian kesempatan pekerjaan itu, atau mungkin kita merasa tak
memiliki apa yang sedang ditampilkan di media sosial. Sekali lagi “No Baper” di media
sosial, begitu banyak makna dan semua kembali kepada pemahaman dan pengalaman
masing-masing kita dalam mencerna maknanya.
Sebagai penikmat juga pegiat media sosial, saya lalu menyimpulkan, kita
hanya perlu memilah mana yang asli dan palsu. Bagaimana bisa memilih dan
memilahnya? Inilah alasan yang kemudian saya jadikan judul tulisan.
Saya
menjadi lebih yakin bahwa perjumpaan menjadi penting. Kebiasaan lama kita, “kopdar”
yang mulai diambil alih teknologi dengan berbagai kreativitas inovasi dalam
bentuk aplikasi dan lain sebagainya, perlu dipertahankan bahkan ditingkatkan,
kualitas dan kuantitasnya.
Pertemuan, silaturahim/gathering, apa pun itu penyebutannya
jelas punya dampak dan manfaatnya. Kita bisa saling kenal bukan hanya nama dan
wajah, tapi juga pribadinya.
Benar apa yang dikatakan @omferri bahwa media
sosial itu palsu (maknai dengan melihat konteksnya loh ya). Bahwa apa yang kita baca
di status medsos teman kita, teman baru, apalagi baru kenal di medsos, apa yang
kita lihat dan rasa, tidak sepenuhnya demikian adanya.
Kita sungguh bisa lebih
memaklumi dan tidak terpancing apalagi menambah keruh opininya di medsos, jika
kita paham siapa dia. Pertemuan langsung dengan orang-orang yang kita sapa dan
komentari di medsos, akan menambah pemahaman kita tentang apa yang
dituliskannya.
Kita menjadi orang yang tidak mudah merespons reaktif dan akan
menyaring ulang apa yang akan kita sampaikan, karena kita sebenarnya paham, apa
yang dimaksudkannya. Sebenarnya, jika dia sedang menulis sesuatu yang
rasanya kok tidak sepantasnya menurut kita, maka karena kita sudah mengenalnya
langsung, kita akan tidak mudah menghakimi dan cenderung akan memakluminya. Atau cara lainnya, tanda kita sayangi dia, adalah dengan menegurnya langsung, sekadar mengingatkan atau memberikan pembelajaran kalau memang kita punya kompetensi untuk itu dan kalau sudah sangat kenal baik. Jangan sampai juga niat baik malah salah makna dan bikin hubungan malah jadi runyam. Atau pilihan lainnya, lebih baik diam jika memang tak sepenuhnya paham dan tidak ada kepentingan.
Hanya dengan kenal langsung, tatap muka, jabat tangan,
berbincang mengenal pribadinya, lewat “kopdar” kita bisa memahami seseorang.
Bukan dari statusnya di media sosial. Bukan dari kicauannya, bukan dari opini
pribadinya yang kadang mungkin bablas tidak terkontrol olehnya. Namanya manusia, tiada yang sempurna, terkadang mungkin saja kita lupa bukan?
Hanya dengan kenal langsung, pernah menjabat tangannya,
pernah berbicara atau setidaknya menyapa lewat “kopdar” kita jadi lebih mudah
menyikapi apa pun postingan medsosnya. Bahkan kita bisa lebih bijak menyikapi
postingannya. Yang pada akhirnya membuat media sosial bukan menjadi ajang
perselisihan dan gosip, atau ajang saling menjatuhkan dan saling tunjuk, tapi
menjadi ajang untuk kita saling memperluas jangkauan silaturahim dengan energi
positif yang menyebarluas.
Sampai di sini saya jadi berpikir, ah mungkin memang
kekisruhan di media sosial sengaja dibentuk atau sengaja diciptakan. Saking
sederhananya, saya pernah menyimpulkan, oooh barangkali bikin “rame” dengan apa
pun model postingan medsos menjadi cara
paling ampuh menarik perhatian dan traffic.
Sama seperti media online tertentu
yang kadang pakai judul bombastis atau sensasional agar target pageview
tercapai. Tujuannya, tentu saja traffic tinggi. Kalau pengguna medsos, mungkin
bisa menambah Klout Score sebagai salah satu penanda seberapa aktif seseorang
di media sosial. Skor yang kadang (ulangi, kadang) jadi pertimbangan agensi
dalam menyeleksi pengguna medsos mana yang tepat menjadi influencer untuk
sebuah kampanye atau aktivasi media sosial, yang dilibatkan dalam pekerjaan
profesional alias berbayar.
Saya sih percaya, menebar kebaikan di medsos juga bisa
meningkatkan traffic. Kalau balik ke ajaran agama, bukankah sudah dituliskan
untuk kita berlomba dalam kebaikan. Dan bukankah sudah dituliskan dan
dijanjikanNYA bahwa dengan berbuat baik maka serahkan segala urusan kepada NYA
karena DIA akan melipatgandakan kebaikan dengan caraNYA, bukan cara kita yang
tiada daya, caraNYA yang akan mengangkat derajat kita dan memberikan balasan
lebih dari yang kita kira, dengan terpenuhinya segala urusan dan rejeki tiada
putus.
Maaf yaa diselipi “ceramah”. Saya memang tergerak untuk
menyampaikan walau satu ayat, dengan cara saya, termasuk di media sosial. Tentu
ada alasan di balik sikap saya itu, pasti ada alasan di balik segala sesuatu.
Sekadar selipan, alasannya adalah almarhumah anak balita saya yang mengubah
cara pandang saya atas dunia. Sudah itu saja.
Lanjut ke topik. Mengenal pribadi yang lebih sering berinteraksi
dengan kita di medsos, lewat kopdar, sungguh bisa jadi bekal dalam kita
bersikap/berkata/merespons apa pun postingannya di medsos. Akhirnya, kita bisa
mengontrol rasa “baper” ber-medsos-ria karena sebenarnya “baper” itu bagian
yang tak terpisahkan di medsos. Bahkan dengan kita sudah mengenal persona di
medsos saja, sudah pernah menjabat tangannya, ketika sesuatu disampaikan di
medsos, akan tetap muncul asumsi/prasangka yang membuat kita punya persepsi
tertentu kepadanya. Bisa saja kita jadi menarik diri darinya karena
postingannya itu, karena merasa “tersinggung” atau merasa tak nyaman lagi
dengannya.
Baper akan selalu menyertai aktivitas kita di media sosial. Namun saya
percaya, dengan kita pernah bertatap muka, yang bukan sekadar kenal nama dan
wajah, tapi berinteraksi langsung lewat momen silaturahim apa pun, kita akan
lebih bijak mengontrol baper di media sosial.
Jika masih belum terkontrol bapernya, bisa jadi kualitas
pertemuan di ajang kopdar belum maksimal. Tugas kita adalah menjadi pribadi
yang lebih ramah dan hangat, sehingga saat kopdar, ajang yang sebenarnya sering
terjadi, kita bisa berinteraksi lebih baik. Berkenalan dan berbincang, tulus,
bukan berpura-pura atau formalitas semata.
Tancapkan niatan, kita ingin
mengenal lebih dekat, supaya bisa saling kenal, menjadi cara kita untuk menjadi
pribadi lebih baik lagi karena punya niatan ingin mengontrol “baper”. Hanya
jika percaya bahwa “baper” di medsos hanya akan merusak diri sendiri. Ya, hanya
jika percaya demikian.
Jika tidak, atau punya persepsi lain, silakan menjalani
apa yang diyakini masing-masing, senyamannya. Kalau saya sih percaya, dengan
kita mengenal pribadi secara langsung, berusaha kenal lebih dekat dengan
setidaknya berbincang tentang pribadinya, kita bisa menumbuhkan pertemanan dan
hubungan baik.
Teman dan relasi yang terpelihara dari ajang silaturahim inilah
yang saya yakini, menjadi harta termahal, karena kita tidak akan pernah tahu
suatu waktu kita akan saling membantu dan membutuhkan, bukan atas dasar mencari
keuntungan, tapi bagi saya, teman itu berharga dan dengan menjaga hubungan baik
ada waktunya saat kita membutuhkan dukungan semangat, mereka yang akan datang
dengan suka cita, tanpa diminta.
Adakah yang lebih berharga dari hubungan baik yang terpelihara? Bukankah sudah menjadi rahasia umum bahwa silaturahim mendatangkan banyak rejeki, apa pun bentuknya, tak melulu soal uang.
Nah, soal kopdar. Saya sempat membaca sebuah postingan di
medsos. Posting berupa komentar tersebut menjadi sebuah harapan sebenarnya,
dalam persepsi saya. Harapan atau barangkali juga kritik, tentang kualitas
kopdar masa kini. Dalam hal ini konteksnya dunia blogger.
Komentar sederhana dan singkat tersebut, bagi saya,
menggambarkan kondisi atau fenomena dunia blogger bahwa kopdar yang terjadi
sekarang ini kebanyakan karena suatu acara atau event. Bukan kopdar seperti
blogger era lama, yang bisa saya pahami, kondisinya berbeda dan semangatnya
memang beda. Saya pahami ini karena saya pernah berdiskusi dengan salah satu
blogger yang mengikuti perkembangan dunia blogging dari jaman ke jaman.
Saya persepsikan begini, dulu, di masanya para penggagas
blogging, era para pelopor blogging, kopdar murni silaturahim. Semangat
kebersamaan yang tinggi, kumpul saja tanpa ada maksud apa-apa. Kopdar selayaknya
banyak komunitas lakukan.
Kini, di saat blogger makin menjadi incaran agensi, brand,
dan menjadi partner kerja profesional, kopdar lebih sering terjadi karena
adanya sebuah event, bukan kopdar murni inisiatif beberapa atau sekelompok orang
karena merasa perlu berkumpul berkala.
Bagi saya, semua terjadi sudah atas kehendakNYA. Sesederhana
itu saja menyikapinya. Semua terjadi karena ada alasan, pasti ada sebabnya.
Benar
bahwa kopdar blogger era kini lebih banyak terjadi karena event, tapi saya juga
melihat, di luar itu masih ada yang berkumpul dengan caranya masing-masing. Masih
ada sekelompok kecil blogger yang kumpul, nongkrong sampai lupa waktu, sekadar rujakan
atau ngopi bareng memanfaatkan "buy 1 get 1". Masih ada kok blogger yang
silaturahim mendatangi satu per satu, ngobrol, saling mengenal apa pun motif
dan tujuannya. Masih ada hanya memang tak terlihat karena tertutup oleh
seringnya event yang mempertemukan blogger lintas generasi lintas masa lintas
platform.
Kopdar murni atau kopdar event untuk blogger berjalan
mengalir begitu saja. Semua terjadi ada asal muasalnya. Panjang lagi kalau mau
membahas ini. Yang pasti eranya memang sudah berkembang dan bagaimana kita
menyikapi perubahan, itu yang semestinya menjadi perhatian bersama, jika kita
peduli dan mau bersusah payah memikirkan ini.
Seperti saya sebutkan sebelumnya, kualitas atau kuantitas
kopdar, itu yang perlu jadi perhatian bersama. Sekali lagi, jika memang peduli
dan mau memperbaiki keadaan ini.
Kuantitas kopdar blogger misalnya, menurut saya, banyaaaak
dan sering, meski memang masih terpusat di ibukota. Bahkan kota besar lain di
luar Jakarta saja masih bisa dihitung jari event/kegiatannya. Padahal, teman
baik saya di Lombok bilang, blogger makin berkembang di Lombok. Kondisi yang
sebenarnya perlu dipikirkan, komunitas, agensi, brand, korporat jika mau mengembangkan
sayapnya adalah dengan lebih mempertimbangkan jelajah kota seluruh Indonesia,
bukan hanya Jakarta.
Namun memang kualitas kopdar, itu yang menjadi perhatian
bersama. Memanfaatkan kopdar event untuk lebih mengenal sesama teman blogger,
itu menjadi cara paling mudahnya.
Saya sendiri sudah mempraktekkan ini sewaktu
menjadi jurnalis baru di perusahaan media besar ternama pada 2010 lalu. Meski
nama besar media saya sudah menguntungkan, tak sulit untuk membranding diri
atau mengenalkan diri agar bisa membaur dalam lingkungan jurnalis di lapangan,
bersama para senior atau sesama jurnalis baru. Namun, bagaimana sikap kita saat
bertatap muka, bagaimana pembawaan diri (dengan tetap menjadi diri sendiri
namun menyesuaikan lingkungan baru), dan cara kita berinteraksi akan menentukan
keberhasilan kita membranding diri dan menjadi bagian dari komunitas tersebut. Sehingga
akhirnya berhasil membaur, dikenal, dan memiliki banyak teman baru dan membina
relasi positif sehingga mendatangkan kebaikan untuk kita, apa pun bentuknya.
Saya
bisa bilang, dengan sangat percaya diri bahwa relasi positif yang kita bangun dan jaga bertahun-tahun, akan berdampak
dan membawa manfaat untuk kita kemudian hari. Saya yakini dan bisa yakinkan
itu.
Kopdar blogger adalah ajang untuk membangun hubungan baik
itu. Pada akhirnya, kita pun bisa mengenal baik setiap pribadi blogger. Jadi,
ketika dia mungkin ada kalanya terselip lidah, posting sesuatu yang bikin “baper”,
kita bisa kontrol diri, tak mudah terhasut dan bisa menyikapinya cukup dengan
senyum atau komentar tanpa menunjukkan “baper”.
Saya jadi membayangkan apa jadinya kalau netizen termasuk
blogger bisa lebih bijak dan matang dalam menggunakan medsos. Rasanya tak perlu
khawatir traffic akan menurun drastis lantaran tak ada lagi “drama” dan “baper”. Barangkali akan tercipta satu kondisi medsos
tetap riuh ramai, karena energi positif menyebar, semua saling dukung beri
likes dan komen tanpa “baper”.
Seperti kata @omferri kalau orang Indonesia
pelit kasih like atau retweet, beda dengan orang Malaysia yang meski followers
tak seberapa tapi rajin mengapresiasi dengan like saja misalnya. Saya merasakan sendiri soal
ini, memiliki teman baru di Malaysia, berkat kesempatan luar biasa menjadi
peliput Malaysia Fashion Week, lalu hubungan berlanjut di media sosial, memang
benar, mereka rajin beri like di postingan Instagram dan Facebook. Saya jadi
malu, karena saya masih termasuk orang Indonesia kebanyakan yang enggak rajin
beri likes. Barangkali saya masih gagap,
karena belum sebegitunya memantau postingan teman. Yang pasti jangan sampai
kita enggan beri like karena “baper” apa pun itu alasannya silakan tafsirkan
sendiri.
Demikian. Panjang lebar tulisan yang saya sadari ada
pertanggungjawabannya dalam menyampaikan setiap katanya. Semoga ada manfaatnya,
dan semoga enggak pakai “baper” ya membacanya. Kalau masih “baper” yuk kenalan
lagi sama saya, kita ngopi ajah, tapi saya pesannya cukup teh ajah yah (yang
kenal saya pasti tahu saya bermasalah dengan kopi). Yuk, kopdar! Salam hangat.
5 comments:
Posting Komentar