Ketika Tuhan Menjawab, Ada Konsekuensi yang Harus Kau Tanggung
Tulisan lama dari Multiply
takdir. Kala itu
masa remaja. Masa di mana Tuhan begitu dekat dan kutakuti.
Ah,
senangnya. Masa itu adalah waktu-waktu indah yang kucipta untuk diri sendiri.
Satu-satunya kewajiban yang menjadi tanggung jawab besar adalah menyelesaikan
kuliah dan merebut gelar S1 untuk mencari kerja. Ya! Berharap dengan pendidikan
tinggi peluang kerja terbuka lebih lebar.
Kuliah
dan mencari kebenaran. Nikmatnya. Bercinta dengan buku dan pertemuan-pertemuan.
Perjumpaan dengan berbagai karakter manusia dan ide-idenya yang menyegarkan.
Ide-ide
yang keluar dari dogma. Gagasan-gagasan dan pemikiran mendalam akan hidup dan
bagaimana seharusnya manusia hidup. Indahnya.
Tuhan
menjawab. Ia menggiringku pada suatu proses hidup yang bermakna namun
melelahkan.
Sebuah
perjuangan mencari kemenangan dan keberkahan. Meski waktu tersita. Harta dan
pikiran terkuras. Walau aku menjadi pintar. Proses itu menjadi konsekuensi atas
pilihan hidup yang menentramkan pencarian jiwa.
Tuhan
menjawab, dan aku menjalankan konsekuensinya. Berhasil pada awalnya. Namun
menyerah pada akhirnya. Pertentangan diri kembali beraksi. Dan cinta telah
menyelamatkan dari kerisauan. Cinta manusia.
Tercipta
masa ketika aku tak lagi percaya doa. Hidup tetap indah. Mengalir dalam arus
yang tak lagi lurus. Berliku. Turunan tajam. Tanjakan mendaki. Jalan
berkerikil. Terkadang terlalu panas untuk dipijak, namun ada masanya begitu
sejuk dilewati. Kisah hidup menjadi lebih nakal dan berwarna. Tapi hidup tetap
indah. Dan aku berhasil menyelesaikan kuliah.
Tak
sulit bagiku mendapat kesempatan bekerja. Wisuda April saat tenagaku masih
dimanfaatkan disebuah majalah. Tak berstatus. Tapi tak apa untuk memulai
berkenalan dengan dunia materi.
Sebulan
setelahnya, surat
lamaran beramplop coklat dengan cap pos disudut kanan, ternyata menarik
perhatian sebuah perusahaan penyelanggara segala macam event. “Hah. Gagal
cita-cita ku menjadi jurnalis.” Pikirku kala itu. Tapi tak apa. Aku butuh bekerja.
Untuk membayar semua hutangku kepada keluarga yang telah membantu menyelesaikan
kuliah. Tak apa. Aku ingat betul rasanya ingin cepat lulus kuliah. Ya! Untuk
berkelana membentuk dunia baru di masa depan yang cerah. Aku ingat betul.
Ketika rasa malas menggodaku kala menyusun laporan penelitian tiket
meninggalkan kampus tercinta. Kala itu, kupasang beberapa lembar kertas di
lemari, di tembok, di computer. Lembaran yang terkadang berhasil memancing
motivasi untuk segera mengakhiri kewajiban. lembaran-lembaran yang terus
mengingatkanku bahwa akan ada masa depan yang lebih baik jika tugas akhir itu
bisa akhiri. Ada
harapan di masa mendatang bahwa dengan aku lulus aku bisa bekerja, bisa
membantu orang tua, bisa menyekolahkan adik tersayang, bisa membayar hutang ke
abang, bisa menikah, bisa membiayai semua kebutuhan orang-orang tercinta. Ah
indahnya menjadi orang berguna. Lembaran itu berhasil mencambukku dari
kemalasan dan membawaku pada pekerjaan.
Tanpa
pengalaman aku memulai pekerjaan. Ragu. Khawatir. Tak bersemangat. Merasa
membohongi diri. Merasa bukan pada tempatnya. Merasa gagal impian tak tercapai.
Merasa tak nyaman. Merasa dan bermain perasaan pada orang yang salah. Merasa
tak berdaya. Berharap bisa keluar dari tak keberdayaan. Takdir berkata lain. Aku
tetap bertahan. Bekerja sekeras mungkin. Yang terbaik. Maksimal. Belajar.
Manfaatkan kesempatan. Menambah keterampilan dan kemampuan. Berhasil. Aku
berhasil melewati konsekuensi atas jawaban Tuhan. Disaat aku tak lagi percaya
doa. Tuhan menjawab. “Kuberi kau pekerjaan untuk membantu orang-orang yang kau
sebut tadi. Kau tak minta pekerjaan apa secara detail. Aku berikan itu. Dan
terima konsekuensinya.” Tuhan mungkin berkata padaku. Aku berhasil. Sedikit
membantu kebutuhan rumah orangtua. Tapi tak sanggup aku membeli baju-baju baru.
Uangku sedikit sekali. Gajiku tak seberapa. Aku hanya sanggup memborong
baju-baju layak pakai dari yola-yola. Ah. Hidup tetap indah. Ada cintaku yang mendampingi pula.
Sekali
lagi Tuhan menjawab meski aku tak berdoa. Keinginan untuk keluar dari
ketidakberdayaan terjawab. Perusahaan terpaksa tutup sementara. Meski aku
mendapat nilai A+. Tetap saja uang bulanan tak lagi kudapati. Pengangguran.
Oktober
menjelang lebaran tak punya penghasilan. Sedikit THR untuk menutupi kebutuhan
lebaran. Ah. Hidup tetap indah.
Ingat
betul kala itu. Aku sedang memijat punggung seorang kakak. Telepon berdering.
Menjelang lebaran aku mendapat panggilan. Bekerja untuk sebuah majalah. Ah.
Senangnya. Tuhan menjawab lagi. Aku bisa menjadi wartawan. Hanya saja tak
terbayang konsekuensi akan semenyakitkan itu.
Hidup
mengalir. Tanpa curiga. Yang ada hanya semangat berusaha. Mengejar mimpi
menjadi penulis. Menulis di media. Dikenal dan mengenal banyak orang. Ah
indahnya hidup.
Seorang
reporter. Itu status yang kudapati selama delapan bulan. Konflik. Amarah. Dan
kepolosan. Aku bekerja untuk mimpi. Untuk diri sendiri. Bukan untuk keinginan
berbagi seperti janji semula. Hidup sangat indah. Begitu indahnya sampai aku
tak memperhitungkannya.
Bekerja
keras tak dibayar dengan pantas. Bukan soal jumlah tapi komitmen perusahaan
untuk membayar dengan pas. Pas waktunya pas jumlahnya. Waktunya selalu saja
tidak pas. Lewat beberapa hari, minggu, bahkan bulan. Hah! Aku tertipu
mimpi-mimpi. Mimpiku dan mimpi pemilik modal itu.
Aku
nyaris tak bisa membantu orang-orang rumah. Bagaimana bisa, jika untuk makan
saja harus berhutang. Membayar sewa kamar kos saja harus menadah. Bekerja tapi
menadah. Ah. Hidup tetap indah. Karena perjumpaan dengan kawan-kawan membuat
hati selalu ceria. Perjumpaan yang menyenangkan, mengesankan, menyisakan
kenangan.
Konflik,
amarah, derita menyatukan sekaligus memisahkan. Aku pergi. Cukup sudah
bermimpi.
Tuhan
menjawab, aku menerima konsekuensinya.
Aku
tetap bermimpi. Tapi masih tak percaya aku akan doa. Tuhan kembali menjawab.
Dia memberi pekerjaan untuk membantu orang tua sekaligus mengejar mimpi. Aku
menjadi wartawan. Disebuah Koran. Baru. Potensial katanya. Dan bergaji besar.
Ah. Hidup memang indah. Aku sangat bisa membantu orang tua. Meski hidup sedikit
berubah. Jadi lebih mudah rasanya. Kapanpun ingin bersenang-senang tak perlu
memikirkan kekurangan. Tapi tetap saja aku tak bisa membeli baju baru. Tak bisa
memanjakan diri di pusat perwatan wajah, tubuh, rambut. Tak bisa dengan leluasa
memilih sepatu, tas, laptop, handphone, ah banyaklah lagi kebutuhan yang tak
pernah habis-habisnya itu.
Tapi
aku bisa makan enak dimanapun aku suka. Tak melulu nasi goreng dan warteg yang
murah. Aku juga bisa dengan santainya memberhentikan taksi kala sangat mendesak
waktuku. Tak melulu buskota yang sesak dan bau atau ojek yang selalu saja
berhasil memporakporandakan penampilanku.
Tuhan
menjawab dan aku menikmati konsekuensinya.
Tapi tak lama. Enam bulan pertama
aku bisa bernafas lega. Kerja keras membuahkan hasil, batinku berkata. Tapi
tidak disangka. Kembali derita. Enam bulan berikutnya, lagi-lagi, kerja keras
tak dibayar sepantasnya. Telat sehari, seminggu, sebulan gajiku. Berhutang lagi
untuk bekerja. Berhutang lagi untuk membantu orangtua. Tak tahan menerima konsekuensi
rasanya. Tuhan kembali menjawab.
Bulan
kesebelas aku bekerja pada seorang terkenal. Cukup tenar. Setidaknya koleganya
sangat bernilai, kuantitas dan kualitas. Tak disangka, sebagai sekretaris
pribadinya, aku pernah berbicara dengan dekan sebuah universitas progressive
milik pemikir liberal. Seorang dekan yang adalah kolega bosku. Ah. Nyaris saja
aku mendapatkan jaringan yang luar biasa. Tapi tak jadi. Karena aku tak kuat
menahan goda. Karena aku tak kuat menyimpang dari mimpi. Aku ingin tetap menjadi
penulis dan jurnalis. Aku bukan sekretaris. Aku hanya ingin jujur. Pada diri
sendiri. Alasan yang kulontarkan untuk berhenti setelah tujuh hari membantunya.
Tuhan
menjawab dan aku tak bisa menanggung konsekuensinya. Fisik dan Psikis lemah.
Aku menyerah. Pilihan seorang editor kantor berita asing ternama jatuh
kepadaku. Aku layak menjadi jurnalis lokal. Itu yang kupahami dan aku jalani.
Sebulan. Hanya sebulan karena aku tak tahan. Bayangan gaji membuatku bertahan
karena ingin sekali mendapat lebih untuk memberi lebih. Aku ingin memanjakan
ibu dengan rice cooker paling canggih supaya tak lelah ia menanak nasi. Aku
ingin membelikan lemari es baru agar tak pusing ia menyimpan sayuran. Aku ingin
membelikan handphone supaya kapanpun ia dan aku kangen kita bisa berbincang
walau sedetik saja. Aku ingin mencarikan pembantu supaya ia tak lelah ketika
aku tak bisa membantunya di dapur. Aku ingin, dengan bayangan gaji itu, bisa
membantu ayah membayar tagihan, supaya tak pusing ia menjelang tanggal 20
setiap bulan.
AKKHHH!
Aku bisa menanggung beban mereka dengan bekerja. Dan aku sangat bisa menabung
untuk menikahkan diriku dengan dirinya tercinta.
Tapi,
aku tak sanggup dengan konsekuensi akan jawaban Tuhan. Aku berhenti. Aku tak
mau jadi gila. Aku mau hidup tenang, sehat fisik dan psikis. Aku gagal. Aku tak
layak berada disana. Aku kehilangan kepercayaan atas diri sendiri. Aku bukan
siapa-siapa dan bukan apa-apa. Aku bukan mereka yang beruntung pernah kuliah di
luar sana .
Inggris, Jerman, Belanda , Australia . Akhhhh! Beruntung sekali
mereka. Bahagialah. Ketika kau mampu bekerja dengan hasil yang luar biasa.
Aku
hanya perempuan pekerja dari sebuah kampung. Perempuan yang ingin sekali
merubah keadaan menjadi lebih terang. Pekerja keras yang berhasil menginjakkan
kaki di tempat-tempat luar biasa, tapi aku hanya orang biasa. Tak bisa apa-apa.
Ah!
Sudahlah. Hidup tetap indah.
Aku
mulai percaya doa dan harapan. Aku percaya kekuatan. Aku ingin mendekat dan
mengenal cahaya. Tapi tak tau harus bagaimana memulainya. Aku kehilangan.
Seorang teman mengingatkan. Ah. Hidup memang indah. Seorang kawan datang ketika
aku sangat membutuhkan pendamping untuk lebih jauh mengenal-Nya. “kenali dirimu
maka kau bisa kenali Tuhan mu,”. Itu katanya. Ah, banyak sekali kata-kata indah
yang menyemangati untuk terus mendekat dan memohon pertolongan. Ya! Aku sangat
butuh pertolongan. Setidaknya untuk mengenal siapa diriku. Untuk mendapatkan
kembali makna sebuah diri. Aku mulai jatuh cinta pda Tuhan dengan caraku.
Dengan buku. Dengan perjumpaan. Dengan pengenalan diri. Ah hidupku indah.
Kepasrahan
menjadi kunciku untuk membuka pintu keberkahan. Aku pasrah dan berserah. Tak
perlu tamak. Tak perlu gundah. Tak perlu amarah. Aku hanya perlu berserah.
Ikhlas, bersyukur, dan Tuhan akan memberi segalanya. Aku mulai berdoa. Menangis
dan berdoa. Memohon ampun dan pertolongan.
“Just
say thanks to God, every second, and God will give you everything!”, “just
ask!”, “Just tell God what you really need!”, kata kawan-kawanku.
“I
am just trying to do my best, pray and release everything, let God lead my way,
I just need to wait and see what God will do,” I say.
Tuhan
semakin menjawab doa, karena aku sudah meminta pertolongan.
Aku
selalu berharap bisa bekerja sesuai kemampuan. Karena aku tak mau menerima
amanah yang tak kuyakini bisa kujalankan.
Aku
ingin bekerja sekaligus bisa membantu ibu di rumah. Aku ingin membagi waktu
dengan ibu sekaligus bisa memberinya sedikit uang belanja.
Tuhan
menjawab. Surat
elektronik yang kukirim untuk mendapat penghasilan lebih baik lagi belum
membuahkan hasil.
Tapi
kawan dan hubungan baik menyelamatkan. Aku masih dibutuhkan di Koran harian
dengan menulis mingguan. Dan pekerjaan datang satu persatu. Lokasi syuting
lahan nafkah berikutnya. Menjadi wardrobe dan talent coordinator. Ah hidup indah
meski terkadang sangat lelah.
Aku
masih bisa bernafas. Dan beruntung sekali ibuku tak pernah menuntut apa-apa
kecuali yang terbaik untuk anak perempuan satu-satunya.
Tuhan
terus menjawab doaku. Dan kali ini aku tak tau harus bagaimana lagi. Akan seperti
apa konsekuensi. Aku ada diantara pilihan sulit. Selalu saja begitu. Hidup tak
seindah itu.
Mimpiku
adalah menjadi penulis. Aku telah dan sedang menjadi penulis. Mimpiku adalah
menerbitkan buku. Aku sedang menulis buku dan akan menerbitkan sebuah buku.
Jadi, apalah lagi yang tak kudapatkan.
Jadi
teringat sebuah perjumpaan setahun silam. Sewaktu bekerja untuk majalah, aku
mewawancarai seorang penulis. Dulunya ia adalah wartawan tapi kini seorang
penulis buku. “Menjadi penulis buku lebih leluasa menuangkan gagasan
dibandingkan wartawan sebuah media,” kira-kira
begitu salah satu kutipan wawancara itu. AH! Indahnya menjadi penulis
buku. Aku ingin sekali mendapatkan kesempatan seperti dia. Dan menjadi seorang
penulis buku. Ah hidup akan sangat indah.
Dan,
dunia kecil ini mempertemukanku padanya. Ah, dia pasti lupa. Tapi aku akan
selalu ingat. Ingat pada mimpi dan perjalanan yang membawaku kesini.aku
berkerja ditempat di mana orang itu bekerja. Beda genrenya, tapi kita berada
dalam satu atap.
Ah!
Aku bisa saja sepertinya. Menjadi wartawan, penulis buku, terkenal, berhasil,
dan mungkin terpenuhi sudah semua kebutuhan hidupnya.
Hidup
itu memang ajaib. Selalu saja ada kejutan-kejutan kecil yang menyenangkan. Aku
sangat menikmatinya. Tapi entah kenapa aku tak bisa menikmati kesempatan ini.
Aku
bermimpi menjadi penulis dan menerbitkan buku. Aku sedang menulis buku untuk
sebuah penerbit. Aku berpengalaman menulis profil bisnis. Dan aku sedang
menulis buku tentang bisnis. Aku ingin sekali menjadi editor. Dan kesempatan
ini bisa saja mengantarkanku kesana. Aku sudah tiga kali melamar ke penerbit
ini, semua tak berhasil, hanya satu yang masuk tahap wawancara, itupun karena
ada orang dalam. Dua lainnya tak ada panggilan sekalipun. Dan kali ini berkat
informasi dari seorang teman, aku bisa mengirim amlop coklat bercap pos itu,
menerima panggilan, lulus ujian, dan menjadi penulis lepas sebuah penerbit.
Penerbit
yang pernah kubersitkan dalam hati dulu kala, ah mungkin ini yang akan aku tuju
nantinya. Benar adanya. Tapi kenapa aku tak menikmatinya.
Tuhan
menjawab, tapi kutak tau harus bagaimana menerima konsekuensinya.
Sebuah
pernyataan dari teman kakakku cukup menggoda, kau harus tekun. suatu hari kelak
kau akan menjabat posisi penting di suatu media seperti om ku, katanya.
Apakah
aku selalu berhenti karena ketidaktekunanku? Rasanya
bukan. Aku berhenti karena aku harus bertahan hidup dan bertaruh dengan hidup
serta menafkahi hidupku dan hidup orangtuaku. Aku tak bisa bermimpi. Mengejar
mimpi dan tak perduli akan seperti apa kenyataan menghantam di depan mata.
Ah,
tapi aku juga tak meyakini alasan itu karena sebenarnya aku seorang pemimpi. Hingga kini. Ketika pekerjaan yang kuinginkan belum juga datang aku tak serta
merta mencari pekerjaan lain, sekretaris misalnya.
***
0 comments:
Posting Komentar