Puasa Rokok Menjauh dari Narkoba

11.00.00 wawaraji 0 Comments


Penggunaan narkoba berawal dari merokok. Pernyataan ini sudah sering disuarakan berbagai pihak yang peduli kesehatan dan mereka yang aktif memberantas narkoba. Puasa rokok semestinya bisa menjadi langkah awal untuk memotong rute kebiasaan merokok kepada penggunaan narkoba. Ramadan selalu menjadi momentum yang tepat melatih diri. 

Namun, perokok selalu punya alasan dan cara membela dirinya, apalagi komunitasnya mendukung, pun negara seakan “melindungi”.  Faktanya, industri rokok menjadi penyokong dana yang kuat lewat cukai. 

Saya termasuk yang terbiasa mendengar pernyataan tersebut, dan menganggap angin lalu. Pada akhirnya jadi tak peduli karena merasa lelah dengan para perokok yang entah harus disadarkan dengan cara apa lagi.

Beruntung suami saya tidak merokok dan bukan perokok. Namun kakak, ayah, lingkungan keluarga, bahkan teman dekat saya banyak yang merokok.

Saya bukan tipe yang bawel melarang mereka yang memilih merokok. Namun saya cenderung menghindar semaksimalnya, meski kadang kondisinya menyulitkan untuk menghindari asap rokok.

Bukan apa, saya menderita asma, jadi memang harus menjaga kondisi dari asap rokok yang menyiksa. Kalau di rumah orangtua, saya masih bisa “berteriak” untuk meminta dengan hormat kakak-kakak merokok di luar bukan di dalam rumah.

Apalagi dulu saat masih ada anak balita, saya punya kekuatan besar untuk meminta penghuni rumah menjauhkan anak saya dari asap rokok. Namun setelah anakku tiada, hilang sudah kekuatan itu dan saya memilih untuk tidak mendekat, menjauh, mengenyahkan asap rokok dari hidup saya.

Pada suatu kesempatan saya pernah mendapatkan fakta kesehatan, bahwa abu rokok menempel kuat di perabotan rumah tangga. Bisa menempel di gorden, sofa, bahkan tembok. Kalau menempel di baju masih bisa diselamatkan dengan mencuci bersih. Lalu bagaimana dengan tembok? Membayangkan bagaimana partikel kecil rokok itu menempel dan akhirnya menjadikan saya perokok pasif sungguh membuat saya gerah. 



Di bulan Ramadan, tepatnya 28 Mei 2018 di Jakarta, saya menghadiri Diskusi Publik diadakan LSM Komnas Pengendalian Tembakau, bertajuk Rokok dan Puasa, Murahnya Harga Rokok.

Saya mendapati lagi pesan itu bahwa partikel rokok menempel kuat di sekitar kita dan menjadikan kita perokok pasif.

Pesan lain yang begitu kuat mengena adalah pesan dari dokter jiwa, dokter narkoba, DR Adhi Wibowo Nurhidayat SpKj(K) MP, Psikiater dari RS Jiwa Soeharto Heerdjan, yang juga adalah Direktur Eksekutif Indonesia Neuroscience Institute (INI).

“Rokok itu bagian dari narkoba”, katanya tegas. Baik, begini penjelasannya.

Sifat rokok itu stimulan yang bisa mempengaruhi alam perasaan, bikin happy, enggak cepat capek, terjaga, menambah atensi sehingga bisa membuat perokok merasa lebih bisa berpikir dengan merokok.

Nikotin pada rokok memiliki adiksi yang kuat. Adiksi adalah kriteria yang juga didapati pada alkohol. Menurut DR Adhi, adiksi pada rokok lebih jahat daripada alkohol. Nikotin bahkan masuk rangking tiga di bawah kokain dan heroin.

Ketika seseorang secara rutin, minimal satu tahun, merokok maka dia masuk dalam kriteria ketergantungan. Nah, ketergantungan pada rokok ini masuk dalam kriteria narkoba.

Itu soal rokok bagian narkoba.

Penjelasan lainnya dari DR Adhi yang juga penting dicatat adalah kaitan rokok dengan kesehatan jiwa. Orang yang merokok kemungkinan besar mengalami gangguan jiwa. Sekitar 59% orang yang depresi akan “melarikan diri” ke rokok. Ini akan membawa pada kondisi lebih parah karena perokok 70-80 persen mengalami gangguan jiwa berat. Ini disampaikan DR Adhi yang berpengalaman 20 tahun sebagai dokter narkoba.

Paparan bahaya rokok ini barangkali tidak lantas bisa menyadarkan perokok untuk mulai berhenti merokok. Apalagi dengan harga rokok murah ditambah iklan di pinggir jalan hingga di layar kaca, seakan tak ada yang bisa menghentikannya.

Namun fakta ini barangkali bisa menjadi pertimbangan untuk perokok mulai stop merokok. Siapa pun yang merokok akan menurunkan kebiasaannya kepada anak. Faktor genetik ini angkanya tinggi, 75 % merokok akan diturunkan kepada anak.

Terbukti, di keluarga saya sendiri, ayah perokok berat dan menurun kepada lima anak laki-lakinya, saya dan adik laki-laki saya menjadi perokok pasif, terpapar asap rokok sepanjang hidup serumah. Kondisi kesehatan dan usia lansia yang akhirnya membuat ayah saya berhenti merokok. Di usia 82 tahun sekarang ini beliau akhirnya berhenti merokok.

Murahnya Rokok


Kalau perokok harus melawan kecanduan merokok, jika mau berhenti dan menyehatkan jiwanya, lain lagi bicara negara. Dr Abdillah Ahsan, Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menyampaikan, negara pun kecanduan rokok. 

Pemerintah kecanduan penerimaan cukai rokok. Menurutnya, pemerintah harus mencari sumber pendanaan lain dari cukai. Misal menambah jenis barang yang dikenai cukai, bukan hanya alkohol dan rokok. Mencontoh negara lain yang punya 26 jenis barang terkena cukai.

Solusi lain kalau mau serius menyehatkan bangsa dari rokok adalah naikkan 100% cukai rokok. Pada akhirnya rokok tak lagi murah. Sebungkus rokok harganya menjadi Rp 50.000 misal, itu lebih efektif. Nah, syaratnya jeda harga jenis rokok satu dengan lainnya, jangan terlalu jauh. Jangan sampai rokok kretek harganya 50 ribu per bungkus, tapi rokok putih harganya jauh di bawah itu. Bikin harga rokok mahal bahkan untuk rokok termurah pun.

Puasa Rokok

Cara lain adalah pendekatan orang tersayang. Anak dan cucu yang paling ampuh membuat perokok merasa terasing. Contoh kisah seorang cucu yang menolak dipeluk kakeknya yang perokok, ampuh membuat sang kakek berhenti merokok atau setidaknya bertahap mengurangi. Sang cucu tak suka dipeluk kakek yang menurutnya bau mulut akibat rokok. Tak ada yang lebih mengiris hati dari keterasingan ketika orang tersayang menjauh karena rokok.

Kalau keterasingan masih juga belum ampuh, entah cara apa lagi untuk menghentikan kebiasaan merokok. 

Namun menurut saya, anak dan cucu memang menjadi alasan kuat. Ini terjadi pada ayah saya, yang kerap saya omeli karena masih merokok. Perhatian dan permintaan anak kepada ayah untuk tidak lagi merokok menjadi cara efektif. Setidaknya saya berhasil meski baru bisa menikmati keberhasilan beberapa tahun belakangan, dan itu pun masih dihadapkan rasa kangen merokok, karena kadang ayah saya masih bandel merokok. Kalau sudah seperti itu, cukup saya cemberut dan marah, biarlah kemudian ayah yang berpikir apakah masih mau merokok atau meninggalkannya, selamanya. 

Pada akhirnya semua kembali kepada niat untuk meninggalkan asap kelam rokok. Berawal dari puasa rokok untuk perlahan menjauh dari adiksi apalagi memicu pada penggunaan narkoba jenis lainnya yang makin berbahaya.

Jika sudah muncul niat kuat segala cara pasti akan dilakukan demi kesayangan. Salah satu cara yang bisa dicoba adalah terapi kecanduan rokok yang digagas oleh Fuad Baradja, Bidang Pendidikan & Pemberdayaan Masyarakat Komnas Pengendalian Tembakau. Tekniknya cukup unik berbasis akupuntur. Jika ingin tahu lebih lanjut bisa email ke fuadbaradja@yahoo.com 

 







You Might Also Like

0 comments: