Beda Persepsi dan Selera Tetap Dukung Film Indonesia

16.59.00 wawaraji 5 Comments


Film Indonesia memang masih berjuang dan perlu diperjuangkan pun didukung perjuangannya.  Tak sedikit orang Indonesia yang memandang sebelah mata,  dengan apa pun alasannya. Namun tak sedikit pula yang mengapresiasi bahkan dukung film Indonesia dengan rela bayar beli tiket ke bioskop. Persepsi bisa muncul berbeda, sah saja, yang pasti sih penonton film Indonesia itu membludak jumlahnya dan seleranya beragam. Jadi, pinter-pinter saja ambil hati kami, penggemar film buatan sineas negeri sendiri. 

Kalau buat saya dan suami, film Indonesia selalu punya tempat khusus di hati kami yang memang hobi nonton di bioskop.  Selain memang sebagai hiburan hemat,  nonton film Indonesia di bioskop semacam cara kami #dukungfilmindonesia. Mungkin karena dulunya saya dan suami aktif di teater dan suka seni peran,  jadi senang menikmati akting lewat nonton film. 

Makin hepi karena bioskop legenda andalan masih beroperasi, XXI Hollywood Jakarta, bioskop termurah di Jakarta dan tetap nyaman. Semoga panjang usianya yaaa dan dipertahankan keberadaannya. 

Biasanya kami nonton film komedi dan drama atau action, namun jarang sekali horor.  Suami sih suka film horor, tapi saya enggak menikmati karena nonton film di bioskop harusnya buat hibur diri bukan menakuti diri sendiri.

Belakangan kami makin sering nonton di bioskop, baik beli tiket maupun nobar komunitas BloggerCrony yang beberapa kali dipercaya menjadi partner pemutaran perdana film Indonesia.





Beda Persepsi Beda Selera
Soal film memang balik ke selera.  Mulai genrenya dari drama, komedi, action atau horor.  Bagaimana persepsi tentang film juga beragam.  Jadi kalau ada yang viral pro kontra film Indonesia di medsos, saya sih silent reader aja. Pastinya saya dan suami bukan tipe komentator dan menilai film dari ocehan di medsos.  Datang ke bioskop,  beli tiket,  nonton, baru deh komentar atau bikin review di medsos atau di blog.

Contohnya, kami pernah underestimate Ayat Ayat Cinta 2 dan enggak menjadikannya prioritas nonton di bioskop.  Pertama kami enggak ikuti apalagi baca novelnya.  Kedua,  kami enggak nonton film pertamanya.  Ketiga,  kadung baca review spoiler di medsos jadi bikin hilang selera.  Tapi,  akhirnya kami nonton juga.  

Hasilnya,  persepsi saya positif untuk Ayat Ayat Cinta 2. Bagi saya, enggak ada yang salah dengan sosok orang macam malaikat yang hobinya membantu orang lain semaksimalnya. Meski mungkin bagi sebagian orang itu mustahil, bahkan tidak logis. Bebas dan sah saja menilai demikian, namun saya kok bisa paham sebagian lagi kalangan yang menilai hal itu sebagai kewajaran. 

Ada kok sosok seperti itu, yang hidupnya bukan lagi soal dirinya, memikirkan orang lain padahal dirinya sendiri pun kekurangan. Beda dengan Fahri yang memang berkelebihan, lha wong yang dirinya sendiri kekurangan saja, ada kok yang masih mau memberi ke orang lain yang menurutnya lebih membutuhkan. Sosok malaikat di bumi selalu ada karena memang ada keteladanannya. Barangkali belum bertemu langsung saja jadi punya persepsi manusia bak malaikat itu mustahil nyata. Ketika seseorang sudah hidup bukan untuk dirinya, bukan lagi soal dirinya, saya sih menganggapnya dia sudah naik level, hidupnya untuk meraih rasa suka dari DIA karena merasa apa yang dimilikinya bukan miliknya tapi untuk bersama. DIA suka kita berbuat yang enggak masuk akal sekalipun selama itu baik untuk sesama.  Ini menurut saya loh ya, beda persepsi sah saja.






Itu soal AAC2. Beda lagi soal Dilan 1990 yang kejar-kejaran menggaet angka jumlah penonton dalam hitungan 2-4 Minggu. Film Dilan 1990 berhasil menyalip rekor AAC2 sukses menggaet lebih dr 6 juta penonton dalam 30 hari. 

Awalnya saya enggak minat dengan film Dilan 1990 meski sudah mengikuti promonya di radio Bahana FM kesayangan, teman perjalanan kerja di kendaraan. Tanpa rencana, saya dan teman lama tak jumpa, reuni dengan nonton Dilan 1990 di Bintaro. Alhasil cekikikan berduaan selama nonton. Jujur, film Dilan 1990 sukses bikin hepi, ringan aja nontonya, natural ajah alurnya, dan ceritanya memang bikin kangen masa remaja. 






Meski awalnya enggak menjadikan film ini tontonan wajib, lha saya kok sukses "terdilankan". Sampai bikin rencana nonton ulang dengan teman SMA, teman profesi, dan tentunya suami. Akhirnya hanya nonton dua kali, dan yang kedua bareng suami.

Suami sih adem ayem aja nontonnya, justru saya yang kembali cekikikan di dalam bioskop. Ah, ini film memang sukses bikin hati senang pikiran ringan. Film sebagai hiburan, itu saja.

Nah, lanjut ke film Indonesia berikutnya adalah Bunda Kisah Cinta 2 Kodi. Film ini masuk dalam list tontonan wajib saya dan suami. 

Sengaja beli tiket bioskop tak jauh dari tanggal munculnya di layar lebar. Berbeda dengan film sebelumnya yang menjual mimpi. Kalau AAC2 "menjual" impian pria idaman (sebagian orang), Dilan 1990 juga "menjual" cowok romantis yang bisa bikin perempuan tersipu-sipu manja, lain dengan Bunda Kisah Cinta 2 Kodi yang "menjual" penderitaan dan pejuangan perempuan dan pasangan menikah dalam berumah tangga. 

Rupanya, film yang mengisahkan perjuangan itu terasa berat. Barangkali beban hidup sudah teramat berat jadi rasanya kisah nyata menyayat hati itu cuma bikin tambah berat, enggak kuat. Penonton barangkali lebih senang menonton cerita film yang ringan, bikin senang, senyum-senyum tertawa cekikikan tapi ada pesan dan impian sewajarnya. 

Kalau melihat pro-kontra AAC2 bisa dilihat impian yang melangit bukan membumi juga ada yang segitunya kontra. Padahal sih ya pro kontra biarkan saja, toh malah meringankan promosi rumah produksi film bukan? Filmnya jadi ramai diperbincangkan dengan segala pro kontranya. Sudah risiko melempar ide liar ke penonton Indonesia yang sangat beragam rupa pikirannya pun seleranya.

Jadi, meski pesannya sangat bagus,menurut kami, sedihnya Binda Kisah Cinta 2 Kodi tak mampu bertahan. Bahkan kami sampai menghitung, hanya beberapa bioskop saja di Jakarta yang memasang film ini. Sempat kami merasa kesulitan pilih jadwal nonton karena pilihannya sedikit. Bahkan lebih banyak poster Dilan 1990 daripada Bunda. Kami pun melihat langsung akhirnya poster Dilan 1990 turun digantikan Bunda. Itu pun hanya satu layar saja, sedih juga melihatnya.

Industri Harusnya Dukung Film Indonesia 
Kalau sudah begini, siapa yang harusnya mengatur? Pasar harusnya tetap diatur, supaya film Indonesia bisa bergantian pamer tampil di layar. Kalau mengikuti nafsu untung rugi sih yaa monopoli satu - dua film sangat mungkin terjadi. Tapi kalau ada misi dukung film Indonesia, semestinya ada batasan mungkin ya, kalau sudah kelamaan dan memang sudah laris, ya mungkin gantian sama film Indonesia lainnya yang masih butuh dukungan.

Nyatanya, bisnis tetap bisnis. Bahkan dunia film pun keras bung perputaran bisnisnya. Berapa banyak buzzer sudah dilibatkan, strategi promosi atau kampanye sudah dijalankan, juga digital marketing pun dijalankan, tetap saja kalau urusan bisnis, niatan dukung film Indonesia terkalahkan. 

Kalau sudah begini, rumah produksi harus mikir lebih kreatif bikin terobosan strategi promosi dan komunikasi ke penonton. Kalau kami sih, sebagai penonton, tersedia banyak pilihan yang tinggal cap cip cup pilih saja. Lihat juga isi dompet, masih cukup kah untuk beli tiket bioskop, kalau enggak ya mending jajan.

Jangan heran juga kalau masih banyak kalangan yang memilih menunggu film Indonesia nongol di layar kaca. Untuk kalangan ini sih saya cuma bisa senyumin aja. Pilihan mereka juga sih, ya mau apa. Paling kalau cukup uang, saya dan suami pernah sampai membelikan tiket untuk mereka yang antipati film Indonesia. Rela bayarin demi merasakan sendiri secara langsung film Indonesia. Meski pun persepsi enggak berubah, setidaknya mengajak orang lain nonton film Indonesia itu menyenangkan.

Maju terus lah pokoknya film Indonesia. Banyak belajar juga dari penonton macam kami ini. Jangan baper di medsos dan teruslah berkarya karena masih ada kami, penonton setia film Indonesia #dukungfilmindonesia. 













You Might Also Like

5 comments:

Claude C Kenni mengatakan...

Film Indonesia makin sini makin bagus kok, misalnya Cek Toko Sebelah, Dilan 1990, dll. Saya bangga melihat kemajuan perfilman Indonesia saat ini.

kabar cendekia mengatakan...

beberapa kali mendapat kesempatan nonton bersama BloggerCrony, saya menaruh harapan besar dgn film2 dalam negeri belakangan ini. Kualitas boleh diadu. Mungkin salahsatunya, promosi bisa lebih gencar ya kak

@blogger_eksis mengatakan...

Setuju Mba Wawa..

Perfilman Indonesia harus menjadi tuan rumah di jaringan bioskop lokal.
Semoga dengan bertambah jumlah penonton Indonesia setiap tahun, produksi film nasional semakin meningkat dan pihak bioskop memberi tempat yang layak untuk apresiasi kebangkitan industri perfilman tanah air.

Selamat Hari Film Nasional*

Nurul Sufitri mengatakan...

Haloooo mbak Wawa apa kabar? Wow deh kalau ditanya soal film Indonesia. Terkahir aku nonton Dilan 1990. Keren, beneran kasih 2 jempol eh 4 deng sama kaki hihihihi.. Bikin aku teringat masa remaja duluuu seneng ketawa2 dan mesem2 sendiri. Meskipun sebagian orang mungkin mencibir kualitas film anak bangsa, tapi aku tetap suka kok film Indonesia. Ada juga Ayat2 Cinta 2 nih oke deh meskipun endingnya kayak face off hihihihi.... Mantap!

wawaraji mengatakan...

Hai Kev. Iya dua film itu bagus menurutku. Tosss. Tp Susah Sinyal susah bikin aku menikmati meski sebagian org suka. Ya itulah balik ke selera.