Bicara, Berbagi Cerita dan Rasa, Langkah Awal Hindari Depresi

10.00.00 wawaraji 0 Comments


Siapa saja, tanpa kecuali, dari anak-anak hingga usia senja, bisa saja terganggu kesehatan mentalnya. Banyak faktor yang membuat seseorang bisa stres hingga depresi. Tekanan tugas/pekerjaan, kekhawatiran berlebihan, tuntutan berlebihan atas diri baik yang datang dari dalam diri sendiri atau orang lain, kekecewaan, kesedihan, duka cita, apa pun kondisi jiwa dengan berbagai latar dan faktornya, sangat bisa menimbulkan depresi.

Sadar atau tidak sadar, depresi sangat dekat dengan hidup kita. Meski begitu, depresi bisa diatasi juga dihindari. Langkah paling awal adalah kesadaran bahwa penting untuk berbagi cerita dan rasa yang kita alami, dengan bicara.

Memilih teman bicara yang nyaman dan bisa kita percaya memang menjadi kuncinya. Namun yang terpenting adalah menyadari, kadang tak semua rasa yang berkecamuk dalam diri bisa kita hadapi sendirian. Penting untuk kita sadari bahwa kita butuh orang lain, bahkan untuk sekadar mendengarkan ocehan kita. Di sinilah peran bicara yang sangat bisa menyelamatkan kita dari depresi, baik ringan sampai berat. Baik bicara kepada sesama manusia juga “bicara” kepada Tuhan dengan semakin mendekat-Nya dan meminta kekuatan dari Nya. Keduanya perlu dijalankan bersamaan, karena bagaimana pun kita manusia yang punya rasa, butuh teman untuk berbagi rasa.

Mungkin tak mudah bagi sebagian orang yang tak terbiasa bicara tentang dirinya, masalahnya, kepada orang lain. Namun, rasanya kita harus mulai mengubah kebiasaan. Karena jika kita membiarkan diri kita tak bisa membuka diri berbicara dan bercerita kepada orang lain (yang dipercaya), ancaman depresi makin dekat.

Bicara menjadi langkah paling awal, dan bahkan direkomendasikan Badan Kesehatan Dunia, atau WHO, dengan ajakannya Let’s Talk, untuk mengatasi depresi. Dunia sudah mulai memberikan perhatian lebih kepada depresi. WHO, sudah mengamanatkan untuk mengangkat masalah kesehatan jiwa sejak 2001. Kemudian mengeluarkan modul interfensi mental pada 2012, dan bergerak mulai 2014.

Apa yang dilakukan WHO, kemudian mendorong pemerintah Indonesia lewat Kementerian Kesehatan dengan menggerakkan kampanye “Depresi: Yuk Curhat”.

Ada Apa dengan Depresi

Mengapa depresi begitu menjadi perhatian institusi kesehatan? Sudah separah itu kah kasus depresi di dunia?



Data menunjukkan, 50 persen anak remaja kesepian dan lebih banyak terjadi pada remaja perempuan. Menurut dr Eka Viora SpKJ yang juga menjabat sebagai Ketua Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia, setiap 40 detik ada satu orang bunuh diri yang diawali dari depresi. Depresi juga bisa memicu berbagai penyakit fisik seperti artritis, kanker, diabetes, penyakit jantung, hipertensi, penyakit paru kronik, penyakit saraf.
Dan yang perlu dipahami adalah bahwa depresi merupakan penyakit. 

Kementerian Kesehatan melalui Ditjen P2P telah mengedukasi bahwa depresi merupakan sebuah penyakit yang tidak dapat dianggap sebagai kelemahan karakter. Depresi adalah penyakit dengan gejala rasa sedih berkepanjangan dan hilangnya minat melakukan kegiatan yang biasanya disukai, diikuti ketidakmampuan menjalankan kegiatan yang biasa dilakukan sehari-hari selama setidaknya dua minggu.

Juga perlu dipahami bahwa selain persoalan kekuatan iman, yang bisa sangat berbeda kondisinya pada setiap individu, depresi tak selalu bisa dikaitkan dengan keimanan. Seseorang bisa lebih mudah terkena depresi, meski mungkin secara keimanan sudah dibekali, karena faktor gangguan neurotransmitter.

Gangguan ini yang bisa memperberat kondisi seseorang yang berpotensi terkena depresi. Artinya, di luar faktor keimanan, pada sebagian orang yang mengalami gangguan neurotransmitter, maka peluang terjadinya depresi dari ringan sampai berat sangat bisa terjadi. Begitu berada dalam kondisi pemicu depresi, internal dan eksternal, ketika ada gangguan ini, maka ia bisa terkena depresi.

Itulah sebabnya, sebagian orang dengan gangguan ini, perlu mendapatkan pertolongan dari ahli. Mulai psikolog hingga psikiater yang tugasnya harus memberikan resep obat setelah melalui pemeriksaan hingga penetapan diagnosisnya. Meski begitu, pertolongan ahli ini takkan membuahkan hasil optimal, jika kesadaran tak muncul sendiri dari penderita depresi. Jika kesadaran muncul datang dari orang yang memiliki tanda-tanda depresi, bahwa ia butuh pertolongan, maka akan lebih mudah mengatasinya.

Selain perlu kesadaran dari diri sendiri, kapan kita merasa butuh pertolongan orang lain atau ahli, butuh juga dukungan dari lingkungan terdekat, teman atau keluarga. Itulah sebabkan dorongan untuk “curhat” atau bicara dari berbagai lembaga kesehatan baik nasional maupun internasional, menjadi sangat kuat. Dorongan kuat untuk bicara dengan orang yang dipercaya, berbagi cerita dan rasa, akan membuat kita lebih terdeteksi, seberapa jauh masalah yang kita alami mempengaruhi kesehatan jiwa.

Perlunya bicara dan teman/keluarga yang saling mengingatkan, juga melihat dari sudut pandangnya tentang kondisi mental kita, menjadi penting. Karena dari bicara, kita bisa mendeteksi diri sendiri. Pun ada orang lain yang bisa melihat dari sisinya. Meski memang, kadang kesulitannya adalah orang lain belum tentu bisa memahami, bagaimana harusnya menyikapi rasa kita saat bicara. Kadang memang tak semua orang bisa paham, bahwa ketika kita bicara, kita hanya perlu didengarkan, bukan untuk dikomentari apalagi dihakimi. Memilih teman bicara yang memahami dan membuat kita nyaman, sekali lagi memang menjadi kuncinya.

Namun setidaknya, dengan kita mau terbuka “curhat” tentang apa yang dirasakan, terutama saat sedang sedih, berduka, kecewa, khawatir, maka setidaknya satu langkah sudah dijalani, untuk kita menghindari terjadinya depresi.

Selain mencari teman bicara, penting juga kita mulai memahami tanda depresi. Dari informasi yang saya dapatkan melalui dialog dengan Kemenkes RI, mereka yang mengalami depresi biasanya memiliki beberapa gejala berikut:

Kehilangan energi
Perubahan nafsu makan
Gangguan tidur (bisa berlebihan atau bisa kurang dari biasanya)
Cemas
Menurunnya kemampuan konsentrasi
Ketidakmampuan membuat keputusan
Rasa tidak tenang
Perasaan tidak berguna
Bersalah atau putus asa
Pikiran menyakiti diri sendiri (self harm)
Bunuh diri

Tak semudah itu memang untuk mengenali, apakah diri kita mengalami depresi atau tidak. Karena depresi bisa terjadi dari tingkatan ringan sampai berat. Untuk mengetahuinya memang harus mencari bantuan profesional. Bisa juga dengan mencari informasi melalui aplikasi “Sehat Jiwa” dari Kemenkes RI bekerjasama dengan WHO. 



Aplikasi ini membantu kita untuk Deteksi Dini hingga info kesehatan dan info pelayanan.
Perlu diketahui juga, ketika muncul dalam pikiran perasaan tidak berguna dan muncul keinginan mengakhiri hidup, sebenarnya itu sudah menjadi petanda awal depresi. Perlu waspada jika ada teman atau  bahkan anggota keluarga yang mengalami gejala tersebut, apalagi jika sudah ada upaya melakukan bunuh diri.

Tinggal bersama orang yang mengalami depresi pun butuh mengetahui cara terbaik untuk mengatasinya. Lagi-lagi ajak bicara menjadi langkah pertamanya. Syaratnya tidak menghakimi yang pada akhirnya akan membuat kondisi semakin memburuk. Berikutnya adalah mencarikan bantuan profesional jika merasa sudah waktunya untuk memeriksakan diri, demi mencegah terjadinya depresi lebih berat.

Yang pasti depresi adalah penyakit yang bisa diobati, bisa disembuhkan dengan terapi, konsultasi atau pengobatan antidepresan, atau gabungan keduanya.

Bagaimana dengan Saya?
Mengetahui semua informasi ini melalui dialog kesehatan, membuat saya merasa bersyukur dan beruntung. Dengan berbagai peristiwa dalam hidup, dengan berbagai perjalanannya, yang terberat adalah ketika saya harus berpisah selamanya dengan anak perempuan semata wayang. Masa berduka saya jalani dengan keajaiban. Saya bertahan dengan kekuatan iman. Bersyukur saya tidak mengalami gangguan saraf, sehingga kondisi kesedihan mendalam tidak menganggu kesehatan mental. Meski begitu, apakah saya bebas depresi?

Saya belum bisa menyimpulkan sebelum berkonsultasi dengan ahli. Saya meyakini, depresi bisa terjadi kepada siapa saja, dari ringan yang mungkin sangat samar, tidak mudah dikenali, sampai terberat. Sekali lagi bersyukur saya tidak mengalami depresi berat, karena tidak muncul keinginan menyakiti diri apalagi mengakhiri hidup. Meski kadang muncul rasa rindu teramat kuat yang kadang membawa saya berpikir, saya ingin bertemu anak saya, saya ingin bersamanya. Entah apakah itu bisa disebut sebagai keinginan mengakhiri hidup, sekali lagi, saya belum berani menyimpulkan apa-apa sebelum bicara dengan ahlinya.

Bicara menjadi cara terampuh untuk mengatasi duka. Seperti saya sudah tuliskan di awal, saya bicara lebih intens dengan Tuhan meminta kekuatan-Nya agar saya bisa melanjutkan hidup atas kehendak-Nya.  Namun saya juga punya teman bicara sesama manusia. Pasangan hidup jelas menjadi teman bicara paling memahami kondisi. Selain itu, support group, support system, juga sangat menguatkan.

Tak sengaja, tanpa rencana, saya bertemu lebih intens dengan beberapa teman lama yang bisa diajak bicara memahami rasa. Saya pun beberapa kali dipertemukan dalam lingkaran yang menguatkan.

Teman bicara saya adalah dua perempuan survivor kanker. Kami kadang bertemu di suatu waktu yang diatur bersama, saling bercerita. Kami sama-sama kehilangan, saya kehilangan anak kesayangan, mereka "kehilangan" kesehatan. Kami sama-sama harus menjalani kehendak Tuhan atas kami. Itulah yang menyatukan dan kami berbagi cerita sewaktu-waktu.

Teman bicara memang sangat berarti. Pun saya punya teman bicara di Bandung, sesama teman blogger, Intan Rosmadewi namanya, seorang ibu yang berpisah dengan ayah dari anak-anaknya, istri yang berpisah selamanya dengan suami tersayang. Kami sama-sama kehilangan kesayangan, berbeda ceritanya, namun rasa yang sama. Kami saling bercerita dalam doa dan penguatan iman.

Semua terjadi dengan langkah awal bicara. Karena itulah yang menguatkan kita dengan apa pun kondisi seberat apa pun.

Karena siapa pun akan mengalami perjalanan dalam hidupnya. Entah kini atau nanti. Tuhan maha berkehendak, tentu umat beragama meyakini ini. Maka bersiap dengan segala kondisi dan peristiwa dalam hidup adalah tugas manusia yang hidup.

Saya pun dipertemukan dengan banyak cerita. Tentang ibu yang depresi pasca melahirkan, tentang ibu yang mengalami baby blues, dengan remaja yang kesepian kemudian membuat jiwanya kosong, semua berujung pada depresi. Pada akhirnya semua peristiwa dalam hidup sangat mungkin memicu penyakit depresi ini, disadari atau tidak. Mengenalinya adalah langkah paling sederhana yang bisa dilakukan oleh setiap kita.

Meski mungkin ketika kita makin paham apa itu depresi, bisa saja menimbulkan kekhawatiran. Seperti saya yang khawatir dengan orangtua yang berusia senja. Karena mereka bisa saja mengalami depresi, dengan berbagai latarnya. Dengan penurunan kondisi fisiknya, hidup usia senja tanpa pasangan, tidak lagi bisa melakukan berbagai hal yang pernah dilakukan selagi muda.

Beryukur orangtua saya masih lengkap, namun yang menjadi kekhawatiran adalah mereka selalu mengeluhkan penyakit yang dirasakan dalam tubuhnya. Semoga mereka masih bisa berbagi rasa, bicara, dan anak-anaknya pun punya waktu bicara. Depresi mungkin saja tidak terjadi, namun dengan memahami bahwa usia senja rentan depresi, saya jadi semakin waspada. 

Semoga kita terhindar dari depresi, dengan bekal pengetahuan tentangnya.



You Might Also Like

0 comments: