Berlimpah Inspirasi di Hari Kartini Bersama The Body Shop, Ayu Dyah Pasha dan Yenny Wahid

18.31.00 wawaraji 9 Comments

Dok. Gathaya


Peringatan Hari Kartini setiap 21 April pada 2016 terasa berbeda bagi saya. Sepanjang bulan April tahun 2016 begitu banyak kegiatan baik terkait sejarah Kartini, juga kiprah Kartini masa kini, yang saya ikuti dan berlimpah inspirasi.

Salah satu kegiatan berkesan sepanjang April adalah peringatan Hari Kartini lewat monolog dan talkshow yang didukung oleh The Body Shop.

The Body Shop dan Goldmart bersama Gathaya mengadakan rangkaian kegiatan peringatan Hari Kartini di Auditorium Merauke, Gedung Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta. Pada 20 April 2016, kegiatan menyambut Hari Kartini ini sungguh menginspirasi.



Inspirasi datang berturut-turut mulai dari sambutan ibu Eveline E Soekotjo, Vice President  The Body Shop Indonesia. Berlanjut dengan Monolog Kartini oleh Ayu Dyah Pasha, aktris dan perempuan penggerak Sahabat Ibu Indonesia. Kemudian Yenny Wahid berbagi pandangannya di Talkshow Peringatan Hari Kartini 2016: Membangun Ketahanan Bangsa dan Negara Melalui Ketahanan Keluarga.

Saya tidak menolak ketika undangan datang dari ibu Ayu Dyah Pasha untuk menghadiri acara tersebut, atas kesempatan yang dibuka seluas-luasnya oleh rekan kerja, Dya Loretta. Tak cukup terinspirasi dengan film Surat Cinta untuk Kartini, dengan Ayu Dyah Pasha berperan sebagai ibu kandung Kartini di dalam cerita film tersebut, inspirasi hebat lainnya datang dari Monolog Kartini.

Rabu pagi hari, pukul 09:00 saya sudah tiba di lokasi acara, berkumpul bersama perempuan lain, kaum ibu dengan berbagai gaya dandanannya, memeringati Hari Kartini. Saya datang dengan gaya busana kasual formal, kekinian, tidak berhias sedemikian rupa. Saya datang untuk menyerap pengetahuan dan pesan dari peringatan Hari Kartini ini.

Duduk di kursi deretan ketiga dari depan, saya pun mendapatkan apa yang saya cari, inspirasi dan pengetahuan. Sambutan ibu Eveline sungguh menjadi pembuka yang mencerahkan. Saya pun sudah dibuat nyaman di awal kegiatan. Sederhana saja sambutannya namun sangat mengena.

Ibu Eveline bercerita tentang neneknya, perempuan yang menginspirasinya dengan tiga kata: Kebahagiaan, Kerja Keras, Kesuksesan.

“Apa pun yang dikerjakan dengan kebahagiaan pasti berhasil, apa pun bentuk bentuk rewardnya, kita akan merasa tenang dan tidak takut kalah,” katanya.

Ya, Eveline lahir dari perempuan yang memiliki ibu dengan pemikiran “melawan arus”. Jika kebanyakan orang beranggapan untuk menjadi sukses maka harus diawali kerja keras untuk menjadi bahagia, nenek Eveline berpikir sebaliknya. Pemikiran seorang perempuan di masanya yang menginspirasi hingga ke generasi keduanya.

Saya pun menyerap inspirasi ini, dan memang benar adanya. Ketika kita memilih pekerjaan untuk menjadi bahagia, kita akan tergerak untuk selalu bekerja lebih keras, dan pada akhirnya berbuah kesuksesan. Kesuksesan yang membawa keberkahan bukan hanya untuk diri sendiri tapi orang lain di sekitar kita.

Monolog Kartini

Sambutan petinggi The Body Shop Indonesia di peringatan Hari Kartini ini saling terkait dengan Monolog Kartini yang ditampilkan luar biasa oleh aktris senior Ayu Dyah Pasha.

Luar biasa adalah penilaian yang tak berlebihan. Ayu Dyah Pasha hanya berlatih empat hari untuk memainkan monolog satu jam lamanya, tentang sejarah RA Kartini. Satu jam bermonolog, tanpa selip kata, dan membuat kita para penonton seperti didongengkan sejarah perempuan penggerak kemerdekaan berpendidikan dari Jawa.

Ayu Dyah Pasha mengenakan busana khas perempuan Indonesia, kebaya. Warnanya putih dengan aksen renda yang feminin di bagian depan dari dada hingga ke pinggangnya. Berbalut kain batik, dengan sanggul sederhana khas dandanan RA Kartini, Ayu Dyah Pasha bercerita panjang lebar tentang perjalanan singkat Ibu Kita Kartini. Saya seperti dibawa ke masa lalu, masa kesulitan, perjuangan, pemberontakan perempuan bangsawan Jawa yang merasa dibatasi gerak dan haknya.

Monolog Kartini melengkapi kilas balik sejarah pahlawan perempuan Indonesia, setelah Sembilan hari sebelumnya saya menyaksikan film fiksi berlatar sejarah RA Kartini.
“Harusnya bisa lebih baik lagi kalau latihannya lebih lama,” kata Ayu menjawab pertanyaan saya usai bermonolog.

Luar biasa, tak berlebihan saya memberikan penilaian, karena hanya empat hari latihan bisa bermonolog dengan penuh penghayatan. Itu pun dirasa kurang maksimal menurutnya, sungguh pekerja seni yang menginspirasi betapa butuh totalitas untuk memberikan penampilan terbaik, menghantarkan cerita sejarah dengan Monolog Kartini yang membuka mata.

Ya, membuka mata, karena menurut saya, banyak fakta sejarah yang belum terungkap seluruhnya. Monolog Kartini menceritakan kembali betapa begitu banyak kronologis perjalanan RA Kartini memperjuangkan hak perempuan Jawa di masanya, yang tak terungkap di buku sejarah.

Saya sendiri merasa malu. Begitu banyak sejarah nusantara yang tak saya pahami. Begitu banyak sejarah orang hebat dari Indonesia yang tak kita baca ulang, telusuri, untuk memperkaya jati diri.

Usai monolog, saya berdiskusi kecil dengan Ayu Dyah Pasha. Kami seperti bersepakat, pemikiran Kartini visioner mengenai pendidikan pribumi yang belum merdeka, terutama untuk perempuan Jawa pada masanya.  

Kami pun seperti bersepakat, kisah Kartini seperti ini, yang nyata, 100 persen berasal dari buku sejarah, dari surat-surat Kartini, semestinya perlu sering dituturkan ulang, lagi dan lagi, di berbagai perayaan perempuan. Menjadi pengingat untuk lintas generasi, bahwa ada perempuan bangsawan Jawa yang berpikiran progresif di masanya, dan mau peduli memperjuangkan  kaum perempuan lebih merdeka untuk mengembangkan diri, menjadi perempuan lebih berkualitas. Karena di tangan perempuan lah, sebagai ibu, yang akan mendidik generasi penerus.

Seperti kata RA Kartini dalam rekonstruksi sejarah di Monolog Kartini, bahwa ilmu pengetahuan, pendidikan, budi pekerja harus diajarkan. Ada peran kaum perempuan, kaum ibu, untuk mengajarkan budi pekerti.

Cerita Kartini membangun sekolah dalam Monolog Kartini adalah cerita menciptakan perempuan berpendidikan untuk salah satunya bisa mengajarkan budi pekerti. Karena perempuan punya andil dalam menentukan kualitas suatu generasi.

Monolog ini berhasil mengisahkan sejarah perjuangan Kartini. Sangat terasa sekali tantangan, kesulitan, pergolakan batinnya sebagai perempuan dengan berbagai keterbatasan. Bahkan gelar bangsawan yang melekat padanya membuatnya merasa terbatasi, apalagi kaum perempuan yang tak punya hak istimewa sepertinya. Kartini adalah perempuan yang peduli dengan kemajuan kaumnya.

Maka tak salah jika kemudian dia menginspirasi dengan berbagai caranya, sejak dalam masa pingitan hingga terpaksa menikah dengan persyaratan pada 1903.

Kartini memikirkan perubahan untuk seratus tahun ke depan. Benar saja, terbukti perjuangannya kini. Kalau saja tidak ada Kartini yang menjadi penggerak, kalau saja Presiden Soekarno tidak menerbitkan Surat Keputusan Presiden (1964) yang mengangkat RA Kartini sebagai pahlawan bangsa dan menetapkan hari nasional Hari Kartini setiap 21 April, kita, para perempuan Indonesia mungkin tak semerdeka berkegiatan apa pun yang kita suka, di era millennium ini.

Dok. Gathaya


RA Kartini yang lahir 21 April 1879, dan mencapai puncak perjuangannya di usia 24 (1903) jelas punya kontribusi untuk kesetaraan hak perempuan Indonesia, hingga 100 tahun kemudian kita menjadi kaum perempuan  yang menikmatinya.

Tentunya, tanpa bermaksud menafikan perempuan pahlawan Indonesia lainnya seperti Raden Dewi Sartika yang bertaut usia lima tahun lebih muda dari RA Kartini. Juga Cut Nyak Dien yang berbeda masa, berjarak usia 30 tahun lebih tua dari RA Kartini, berjuang di masa yang berbeda, masa perang melawan penjajah Belanda. Meski Kartini lebih dahulu tiada, empat tahun meninggal lebih awal dari Cut Nyak Dien yang lebih tua darinya.

Takkan habisnya menceritakan sejarah Kartini dari Monolog Kartini, rekonstruksi sejarah yang ditulis ulang oleh sutradaranya, Wawan, bersumber dari buku-buku dan referensi lainnya. Wawan menjahit cerita yang terpisah menjadi satu rangkaian perjalanan RA Kartini dalam Monolog. Memudahkan kita, penikmat Monolog untuk menyerap inspirasi Kartini.

Ayu Dyah Pasha pun berharap, semoga ada generasi penerusnya, yang bisa menceritakan Kartini lewat Monolog, menyebarkan sejarah dengan cara yang berbeda. Perempuan muda berusia 18-24 tahun dirasa tepat menurutnya untuk membawakan Monolog Kartini seperti ini. Perlu kedewasaan berpikir untuk bisa menghayati pengalaman dan menceritakannya, lewat monolog, satu jam lamanya.

Meresapi dan Bersyukur
Usai Monolog Kartini, giliran Yenny Wahid, perempuan masa kini yang juga menjadi penggerak perempuan untuk menjadi agen perdamaian, pemberdayaan.

Di sesi talkshow,Yenny memberikan pandangannya yang selalu mencerminkan keberanian berpikir. Tak ada salahnya jika perayaan Hari Kartini, perempuan berkebaya, bersanggul, berpenampilan khas perempuan Indonesia. “Kita bisa saling menginpirasi,” katanya sederhana.

Justru Kartini punya peran lain menginspirasi perempuan. Tetap mempertahankan tradisi dan kearifan lokal, namun punya pikiran terbuka jauh ke depan.
Yenny pun berpandangan, perempuan masa kini perlu bersyukur dengan pendidikan yang bisa diraih setinggi-tingginya, dengan kesempatan yang terbuka seluas-luasnya untuk perempuan.

Sayang saya tak bisa menyerap inspirasinya lebih lama. Tapi saya selalu terkesima dengan sosok puteri  Presiden RI Abdurrahman Wahid atau Gusdur, yang bernama lengkap Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid ini. Pesan perdamaian dan menggerakkan toleransi, dan menjadi smart netizen yang berbudipekerti santun menjadi kesan yang saya dapatkan darinya, saat pernah berkesempatan mengikuti kegiatannya di suatu gerakan sosial.

Yenny punya peran tersendiri sebagai perempuan Indonesia yang bergerak, bertindak melakukan sesuatu untuk orang lain.

Saya pun menyerap begitu banyak semangat di perayaan Hari Kartini tahun ini. Betapa nikmat yang perempuan punya saat ini, semestinya kita maksimal lagi, untuk berbuat sesuatu yang berguna. Setidaknya berguna untuk anak-anak kita. Tanpa menafikan, masih banyak perempuan dengan berbagai kondisi yang mungkin tak seberuntung kita, yang tak jauh dari kita, masih membutuhkan dukungan  sesama perempuan Indonesia.

Dok. Gathaya


Saya yang semakin terinspirasi Kartini, bisa mengerti mengapa WR Supratman pun terinspirasi darinya dengan menuliskan lirik lagu ini pada 1929, sekitar 25 tahun sepeninggalnya RA Kartini:

Ibu kita Kartini

Putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya

Ibu kita Kartini

Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka


Wahai ibu kita Kartini

Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia

9 comments:

Surat Cinta untuk Kartini: Cerita Cinta yang Menyertai Perempuan Pejuang Pendidikan

21.00.00 wawaraji 5 Comments

SCUK Trailer MNC Pictures
Film fiksi berlatar sejarah selalu menjadi tontonan favorit saya. Bagi penyuka sejarah, tentu akan menarik menggali sejarah dengan perspektif berbeda. Perspektif yang diciptakan oleh orang kreatif dengan berbagai keahliannya mulai menulis naskah, bermain peran, dan tentunya peran sutradara film yang mengatur keseluruhan proses kreatif sebuah film layar lebar.

Film Surat Cinta untuk Kartini produksi MNC Pictures menjadi salah satu film fiksi berlatar sejarah terbaik, menurut saya, setidaknya di awal tahun 2016 ini.


Penilaian saya ini tak lepas dari imej Kartini yang melekat kuat di pikiran saya. Tentang perempuan, tentang perjuangan perempuan dalam bidang pendidikan dan sosial budaya, yang memang menjadi perhatian dan role model bagi saya. Jadi, penilaian positif yang sangat personal muncul dari penggemar film macam saya sangat dipengaruhi cara berpikir saya soal isu yang diangkat di film ini, yakni perjuangan perempuan dalam berbagai siklus kehidupannya.


Beruntung saya mendapatkan kesempatan menonton film SCUK ini saat pemutaran perdana sesi akhir, atas undangan aktris Ayu Dyah Pasha, pemeran ibu kandung Kartini di film ini. Menghadiri Gala Premiere Surat Cinta untuk Kartini pada 11 April 2016, di sesi pemutaran film ketiga usai Press Screening adalah keberuntungan yang diberikan kepada komunitas blogger jaringan  Sahabat Grup.


Berkumpul dalam kerumunan undangan khusus, bersama para pemain dan kru film, untuk menyaksikan bersama film Indonesia ini menjadi kesenangan tersendiri. Kesempatan bertemu para pemain usai menonton, bahkan berbincang hingga larut malam sampai lampu lobby bioskop mulai dimatikan, adalah kepuasan tak terbayarkan.
Dari obrolan itulah saya menyimpulkan, bahwa meski SCUK adalah film fiksi, rasa sejarahnya kental sekali. Produser film SCUK, Lukman Sardi, kepada kerumunan wartawan mengatakan film SCUK 30 persen kontennya adalah sejarah, 70 persen fiksi. Saya mendapati fakta ini sebelum masuk ke studio 2 untuk menyaksikan film berdurasi 90 menit ini.


Mengikuti alur cerita dari awal hingga akhir, pikiran saya dibawa kepada cerita-cerita sejarah tentang Kartini. Saya tidak sedang mencocokkan buku sejarah dengan cerita film ini tentunya. Hanya saja saya menemukan sejarah yang diceritakan ulang dengan bahasa film. Terasa sekali bagaimana perjuangan Kartini untuk perempuan Indonesia yang lebih teredukasi. Bagaimana perjuangan perempuan Jawa untuk membuka mata dunia, mengangkat derajat perempuan di seluruh nusantara, bukan hanya Jawa.


Kisah Kartini yang Dikemas Kreatif


Raden Ajeng Kartini adalah satu di antara banyak pahlawan perempuan Indonesia yang bergerak di bidang pendidikan. Membuka jalan, menerangkan langkah perempuan Indonesia untuk berdiri setara, memiliki hak yang sama atas pendidikan, atas kesempatan belajar mengembangkan potensi dirinya.


Film SCUK menyadarkan kembali kita para perempuan modern, bahwa tanpa “pengorbanan” Kartini atau sebutlah kontribusinya, perjuangannya, takkan ada wanita modern yang bisa leluasa bepergian ke mana pun dia mau, menuntut ilmu setinggi-tingginya, mengejar impiannya secara merdeka, bahkan mungkin takkan ada perempuan yang bisa mencapai posisi puncak dalam karier di korporasi. Karena semua hal itu takkan ada kalau perempuan terkendala mengakses pendidikan sebagai modal utama mencapai impian.


Meski tentu kalau bicara fakta, hanya sepersekian persen saja perempuan Indonesia yang berada di level merdeka mencapai impian. Tak perlu jauh-jauh ke pedalaman, di pinggiran kota saja masih banyak perempuan Indonesia yang tak punya pilihan untuk hidupnya namun setidaknya mereka masih bisa menulis dan membaca. Ya, menulis dan membaca, ajaran Kartini kepada anak-anak perempuan didikannya, yang menjadi perhatiannya kala itu.


Bagaimana Kartini membangun sekolah untuk anak perempuan diceritakan dengan bahasa film yang ringan dan meresap. Bagaimana semangat Kartini dan kerja kerasnya, keteguhan pemikirannya digambarkan dengan sangat jelas. Pemeran Kartini, Rania Putri Sari, perempuan asal Surabaya keturunan Tionghoa sungguh meresapi peran Kartini.


“Saya mendalami peran hingga syuting dalam waktu dua bulan,” katanya saat saya temui usai Gala Premiere.


Kisah Kartini yang diceritakan dengan apik tak lepas dari pemerannya. Rania mendalami sosok Kartini dengan belajar semua hal untuk mengasah keterampilan perempuan Jawa, agar bisa meresapi sosok perempuan hebat dari Jepara ini.


“Saya sampai belajar membatik,” katanya lagi.


Peran sutradara dan penulis naskah juga tak kalah pentingnya. Sutradara film SCUK, Azhar Kinoi Lubis berhasil membawa penonton meresapi sejarah dengan kekuatan karakter para pemainnya. Soal naskah, penulis scenario Vera Varidia berhasil membuat rajutan cerita yang kuat untuk menyempurnakan film ini.
Trailer SCUK MNC Pictures
Tentang Ayah yang Jatuh Cinta


Sebenarnya film drama ini tidak banyak mengambil porsi cerita Kartini. Film ini lebih banyak menyorot cerita dua tokoh imajinatif yang diciptakan oleh pembuat film, yakni si pengantar surat Sarwadi dan anaknya, Ningrum.


Sarwadi bekerja sebagai pengantar surat di Jepara. Pekerjaannya ini mengantarkannya ke rumah Bupati Jepara, di mana Kartini tinggal di dalamnya. Rupanya sosok Kartini membuatnya jatuh hati. Sosok dan peran Kartini yang mengambil hati pria yang kehilangan istri setelah melahirkan anak tunggalnya.


Kisah cinta pengantar pos diceritakan secukupnya, tidak berlebihan. Tentu ada sedikit drama namun entah karena kekuatan cerita Kartini, sosok ibu kandungnya yang besar hati, dan kisah sejarah yang kuat, membuat cerita cinta hanya terasa sebatas bumbu saja.
Mengikuti alur cerita film SCUK menjadi keasyikan tersendiri. Kadang ada alur maju mundur, karena memang awalnya film ini berlatar masa kini, saat ada dua orang guru bercerita sejarah di kelas berisi anak usia SD.


Saya menangkap pesan, film ini punya cerita yang sangat kuat, dan selalu ada ketertaikan antara cerita satu dengan lainnya, sempurna relasinya.


Misalnya saja, bicara Kartini adalah bicara perjuangan kesetaraan. Ada adegan di kelas saat anak-anak mendengarkan cerita sejarah Kartini, seorang murid laki-laki (Vito) tak kuasa menahan emosi, dengan menangis hingga air matanya deras mengalir. Film ini punya pesan kuat dari segi cerita. Termasuk cerita Vitoi menangis.


 Saya ingat betul, dalam perjuangan kesetaraan, kita akan berhadapan dengan stereotip. Salah satunya, perempuan ditampilkan sebagai sosok lemah dan lelaki kuat. Jadi kalau perempuan tak apa menangis, namun laki-laki pantang mengumbar emosi apalagi mengeluarkan air mata. 


Ah, itu mungkin hanya pikiran saya saja yang terlalu mengaitkan segalanya. Namun saya jadi sangat menikmati film SCUK dan tak sanggup menahan gemuruh emosi saat menonton bagian tertentu film ini, dengan menitikkan air mata.
Bagian di mana perempuan dihadapkan dengan banyak keadaan tanpa ada piihan, adalah paling mengiris. Bagaimana Kartini bisa menghadapinya adalah contoh luar biasa. Bagian di mana perjuangan yang penuh pengorbanan berbuah manis, juga mengiris hati tapi lebih kepada terharu bangga.


Perjuangan Kartini, yang membuat pengantar surat jatuh hati dan ikut mendukung perjuangan perempuan, berbuah kebaikan. Cinta di film ini juga digambarkan dengan pengorbanan. Pengorbanan atas cinta Kartini terhadap pendidikan dan masa depan perempuan. Pengorbanan cinta pengantar surat terhadap perempuan bangsawan yang berujung pada kehilangan. Kehilangan sosok pejuang, dan kehilangan sosok perempuan idaman saat Kartini dihadapkan pada pernikahan yang diatur orangtua, pernikahan poligami yang ditentangnya.


Film ini sebenarnya berakhir bahagia, namun bukan sembarang bahagia. Kebahagiaan yang diceritakan dan digambarkan dengan penuh kemenangan, ketika muncul Kartini-kartini muda, para perempuan generasi penerus, yang memiliki semangat Kartini untuk berbagi pengetahuan. Termasuk Ningrum, murid Kartini yang mengawali ketertarikannya belajar lantaran bapaknya sedang jatuh cinta kepada gurunya.


Bagi saya, cerita tentang perempuan muda penerus Kartini menjadi akhir bahagia film ini. Kartini berhasil membentuk generasi baru, para perempuan yang bisa baca tulis, dan bahkan lebih dari itu.  Ibu Kartini berhasil menciptakan perempuan muda yang besar hati dan impiannya, untuk mengajak perempuan lain maju bersama.


Film Surat Cinta untuk Kartini, menjadi pengingat betapa kita, perempuan, harus berterima kasih kepadanya. Tak ada salahnya sesekali tampil berkebaya dengan sanggul khas Ibu Kartini, untuk mengenang kembali jasanya. Namun focus utamanya adalah semangat Kartini yang harus terus dijaga dalam pikiran semua perempuan Indonesia, semangat mengejar impian untuk berbagi dan membesarkan perempuan lain di sekitar kita yang mungkin membutuhkan perhatian karena tak seberuntung kita.


Ayu Dyah Pasha pun punya harapan untuk para penonton film ini. “Semoga inspirasinya Kartini menyemangati kita perempuan Indonesia dan para pria makin menghargai keberadaan perempuan sebagai manusia merdeka sama seperti mereka.”


Sebuah harapan yang patut kita amini bersama.












SURAT CINTA UNTUK KARTINI
Sutradara: Azhar Kinoi Lubis
Penulis Skenario: Vera Varidia
Pemain
Chicco Jerikho sebagai Sarwadi
Rania Putri Sari sebagai Kartini
Ayu Dyah Pasha sebagai Ngasirah

Christabelle Grace Marbun sebagai Ningrum

5 comments: