Ode to My Father: Film Korea Penuh Drama Sarat Pesan Cinta

01.05.00 wawaraji 2 Comments


1424969155895824134
Sumber foto: CJ entertainment

Bicara soal film, rasanya tema cinta tak tergantikan oleh apa pun. Cinta selalu menjadi tema menarik. Bagaimana cinta ini diterjemahkan dengan kreativitas tinggi, inilah yang kemudian akan membedakan film-film bertema cinta.

Film Korea pun begitu, termasuk film terbaru yang mulai tayang di Blitzmegaplex sejak 16 Februari 2015, berjudul Ode to My Father. Pemilihan penayangan bulan Februari saya pikir pun terkait dengan tema cinta ini.

Saya tidak pernah menonton film Korea, karena terlalu cinta film Indonesia. Ternyata, film Korea ini sukses membuat saya menangis saat mengikuti Komik Nobar pada Sabtu, 21 Februari 2015 di Blitzmegaplex Pacific Place Jakarta.

Tapi tunggu, saya mau cerita satu hal. Sebelum datang ke Komik Nobar, saya membaca komentar di FB Grup Komik, isinya kira-kira adalah siap-siap tisu saat nonton film ini.

Saya pun benar-benar menyiapkan tisu, bukan apa, saya merasa butuh untuk urusan wajah. Saya tak pernah menyangka akhirnya tisu itu berguna untuk lainnya, menyeka air mata yang tak tertahankan saat menonton film ini. Saya pun berbagi tisu ke peserta Komik Nobar di samping saya, yang saya perhatikan ikut terharu menonton film ini.

Sepulang Komik Nobar, saya berdiskusi dengannya. Kami sepakat, film Ode to My Father merupakan film berlatar zaman perang yang isinya lebih kuat kepada pesan cinta sebuah keluarga. Perjuangan keluarga di masa sulit, zaman perang Korea, perang Vietnam, perang dunia.

Jadi ingat dengan film Indonesia yang belum lama saya tonton, Di Balik 98, disutradarai Lukman Sardi. Film yang sama-sama mengangkat kisah keluarga, humanisme, berlatar sejarah, situasi sulit di Indonesia kala itu.

Keduanya menggambarkan situasi sulit (zaman perang/konflik/krisis) yang sama-sama bikin merinding. Namun kalau mau dibandingkan, akan terasa perbedaannya. Bedanya, film Indonesia belum “secanggih” film Korea terutama yang satu ini. Saya cinta film Indonesia, hanya saja, dengan menonton (studi banding) film produksi negara lain, saya belajar, bahwa banyak ketertinggalan di film Indonesia, meski bukan berarti kita tak bisa mengejarnya.

Salah satu ketertinggalan film Indonesia, yang saya dapati dari film Korea, Ode to My Father, adalah berhasilnya film ini, dengan sangat kuat, memunculkan kebanggaan akan negaranya, Korea. Selain film ini dirilis dengan kualitas film dunia, bukan hanya dengan memunculkan “peran” beberapa negara, seperti Jerman, Amerika, Vietnam.

Artinya, kalau saya warga negara Korea, menonton film ini di Indonesia atau di negara mana pun saya tinggal, akan muncul rasa bangga terhadap negara saya. Kenapa? Karena film ini menonjolkan banyak kekuatan negaranya. Mulai kekuatan keluarga di Korea, sumber daya manusia Korea yang berani “mendunia” mengadu nasib di negeri asing, menjadi pekerja kasar demi mengubah nasib keluarganya. Film ini sekaligus juga menunjukkan etos kerja orang Korea yang begitu kuat ditampilkan. Belum lagi soal orang Korea yang menghargai tradisinya, melalui pakaian lokal dan lainnya. Dan yang paling menyentuh adalah, bagaimana keluarga Korea memelihara cinta dan keutuhan keluarga.

Ya, ini film cinta tapi bukan cinta ala Korea menyek-menyek yang belakangan banyak muncul di drama televisi. Film ini menunjukkan bagaimana keutuhan keluarga di atas segalanya dan pemberi kebahagiaan seutuhnya. Sikap pantang menyerah begitu kuat muncul demi mempersatukan keluarga. Inilah pesan cinta sebenarnya.

Pesan universal yang barangkali muncul idenya dari hal sederhana. Ada bagian di film ini yang kaya pesan moral, yang saya rasa idenya berasal dari “sikap durhana anak masakini”. Anak-anak muda, generasi kedua atau ketiga dalam sebuah keluarga, yang kadang dengan entengnya berpikir untuk menjual/mencari keuntungan dari “warisan” keluarga.

Cerita menyentuh yang disampaikan dengan cerdas-kreatif oleh sang sutradara JK Youn, dengan alur maju mundur tanpa membuat dahi berkerut, adalah ketika si tokoh utama mempertahankan toko peninggalan bibinya. Toko yang dipercayakan kepadanya, toko yang dibelinya dari sang paman yang ingin mencari keuntungan darinya, toko yang menjadi simbol cinta dan harapan si tokoh utama dengan ayahnya. Ayah yang terpisah darinya saat mengungsi akibat perang Korea.

Toko yang menjadi simbol harapan, ia akan bertemu kembali dengan ayahnya. Toko yang akhirnya ia jual saat usia makin senja, atas dorongan dari anak-anak yang sudah banyak memberinya cucu. Hanya satu yang mengubah pandangannya untuk akhirnya melepas toko simbol cinta dan harapan itu.

“Kita jual saja tokonya, lagipula ayah rasanya tidak akan datang ke toko itu,” kira-kira seperti itu kata penutup film ini, yang disampaikan si tokoh utama sambil duduk bersanding dengan istrinya, di balkon rumahnya, sambil memandang kota yang semakin bertumbuh sementara mereka sudah semakin renta.

Sikap ini menyiratkan makna, kita, generasi ke sekian sebuah keluarga, kadang hanya berpikir dengan sudut pandang kita dalam memutuskan sesuatu terkait peninggalan keluarga. Padahal, para orang tua kita pasti punya alasan mengapa sebuah peninggalan tetap dipertahankan. Bukan semata soal materi, namun ada sejarah, ada cinta, ada harapan di baliknya. Harapan yang tak pernah dipahami oleh si “anak durhaka” saya menyebutnya.

Film ini membuka mata sekaligus membawa pesan cinta yang akan membuat kita lebih menghargai keluarga terutama leluhur yang tak punya pilihan selain menjalani pahit dan kerasnya hidup di masa sulit di waktu lampau.

Pantang bagi saya mengulas isi film ini lebih dalam, silakan persepsikan sendiri film ini. Kalau tertarik nonton Ode to My Father, jangan lupa bawa tisu!

2 comments:

Terima Kasih, Selamat Jalan Anakku

12.33.00 wawaraji 0 Comments

Banten, 22 November 2010: Bantu Bunda ya Nak, untuk mengganti tangisan dengan senyuman, melepasmu baby.

Aku selalu ingin menuliskan sesuatu tentangmu Nak, babyku. Aku ingin selalu berbagi kebahagiaan, anugerah yang Tuhan ijinkan kunikmati. Tapi aku tak pernah menyangka akan menuliskan, kepergianmu. Aku menulis, hanya untuk berproses melepasmu Nak. Tak mudah ternyata menerimanya, meski aku sudah berserah mengembalikan semua kuasa kepada khalik sang penciptamu.

Raji, AyahBunda mengambilnya dari bahasa arab, artinya harapan. Raji adalah nama belakangmu. Nanti adik-adikmu punya nama belakang yang sama. Gabriel, malaikatku, jibrilku, sang pembawa pesan, itu nama depanmu. Aku selalu ingin menamai anakku Gabriel atau Gabriella. Benar saja, kau memang pembawa pesan. Nak, kau selalu memberiku pesan pertanda, sejak awal kehamilan hingga waktunya kau pergi. Ah, Nak, usiamu baru 9 minggu. Belum waktunya jenis kelaminmu terbentuk. Belum saatnya ruh ditiupkan. Meski AyahBunda pernah mendengar detak jantungmu sempurna saat usiamu 6 minggu, ukuranmu 2,4 cm, kau sempurna Nak di usia itu. Rasanya janggal memberimu nama, aku bahkan tak tahu jenis kelaminmu. Bagaimanapun, AyahBunda meyakini kau sudah hidup Nak, kau sudah digariskan menjadi anakku, meski hanya 9 minggu. Boleh ya Nak, kami menamaimu, untuk memanggil namamu dalam doa, agar kita selalu terhubung dengan cara yang berbeda, cara yang mendekatkan AyahBunda dengan pelindungmu di sana, Tuhan kita. Kak El, begitu adikmu akan memanggilmu kelak.

El, anakku, terimakasih ya, kau selalu bicara dengan Bunda dengan caramu. Kau beritahu, "Bunda jangan terbang ke Ubud, aku akan hadir dalam rahimmu, Bunda hamil loh, jangan capek, jaga aku di dalam rahim yaa, aku akan hadir Bunda. Ayahbunda kan sudah lama menungguku, dua tahun kan ya? Bunda, tenang ya, aku akan hadir, Tuhan sudah mengijinkan aku menjadi buah hati AyahBunda, aku senang Bunda, Bunda juga pasti senang".

Oktober tanggal 7, 2010, testpack menunjukkan tanda garis dua, meski aku curiga mengapa garis kedua begitu tipis. Kudatangi Bidan paling tersohor di kampung bunda, yang paling dekat dengan rumah, benar, sama persis seperti tes di rumah, garis dua, dengan garis keduanya begitu tipis, bunda positif hamil setelah dua hari terlambat haid. Bunda membatalkan rencana ke Ubud, Bunda tentu saja memilihmu Nak, anugerah yang selalu kunanti dua tahun lamanya. AyahBunda memastikan kehadiranmu, mengunjungi dokter yang pernah bunda temui saat menyiapkan kehamilan tahun lalu. USG transvaginal, oleh dr Fara di RS Muhammadiyah Taman Puring menunjukkan hasil yang lebih akurat, positif, Insya Allah hamil, kata dokter. Alhamdulillah.

AyahBunda senang luar biasa. Kabar segera menyebar. Bukan bermaksud riya. AyahBunda hanya ingin berbagi kabar gembira. Terutama untuk Mbah Hary dan Mbah Wati di Bekasi. El, kamu cucu pertama untuk anak sulung, lelaki satu-satunya di keluarga Bekasi, keluarga Ayah. Kakek Uci dan Nenek Ucum juga bahagia, mereka terbiasa dengan kabar kehadiran cucu. Maklum El, kamu cucu ke-9 dari keluarga Bunda. El, kamu adalah kabar gembira, anugerah, pemberi pesan, bahwa Bunda harus berhati-hati, menjaga diri dan kandungan. Kamu pemberi pesan, kepasrahan, ikhtiar dan kesabaran berbuah manis, dua tahun menanti dan berserah, akhirnya kau datang memberi harapan.

Tiga hari berlalu. Bunda sehat, tetap bekerja seperti biasa, hanya saja berbeda rasanya, Bunda senang luar biasa, senyum tak henti, berhati-hati membawamu kesana-kesini. Lagi-lagi, Tuhan memberi pesan lewat kamu, El. Minggu, 10 Oktober 2010, Bunda bangun pagi hari dengan flek berwarna coklat kemerahan, sedikit sekali namun Bunda begitu khawatir, panik lebih tepatnya. Tak sabar menunggu Senin tiba, untuk bertemu dr Fara. Belum waktunya kita berkunjung kontrol ke dokter kandungan baby, tapi kamu sudah tak sabar. Ingin segera bertemu dokter muda yang cantik dan baik hati itu ya. Dr Fara belum bisa mendiagnosa apa-apa, masih menunggu perkembanganmu baby. Untuk memastikan aman dan selamat, bunda bed rest 2 minggu, diberi obat penguat kandungan dan sejumlah vitamin. Bunda tak bekerja, beruntung Tante Dini dan teman kantor lainnya memahami kondisi ibu hamil muda, dengan flek terutamanya.

Baby, kamu sehat hingga 6 minggu usiamu pada 25 Oktober 2010. Bunda lebih berhati-hati sejak muncul flek lalu. Berat Bunda bertambah 1 kg. Baby sehat, detak jantungnya positif. AyahBunda pulang dengan hati senang dan bersyukur usai kontrol ke dr Fara. Bunda menghitung hari,,hey kamu sudah mendekati 2,5 bulan, lalu nanti 3 bulan, lalu 4 bulan, bunda dan nenek Ucum sudah menyiapkan rencana syukuran atas kehadiranmu. AyahBunda, kakek nenek mbah, semuanya tante om, teman-teman Bunda yang baik tak hentinya mendoakanmu baby. Supaya baby sehat, kuat, selamat, normal, sempurna digariskan kehidupan yang beruntung, baik, berguna buat orang lain, diberkati hidupnya, menjadi berkah untuk semua. El. kamu datang membawa bahagia dan harapan, itu pesan utamanya.

Seperti biasa El, kamu selalu ingin bertemu dokter sebelum jadwal kontrol tiba. Lagi-lagi kau membawakan AyahBunda sebuah pesan. Seharusnya kita bertemu dr Fara 22 November 2010. Tetapi, karna bunda flu dan batuk, AyahBunda memutuskan bertemu dokter yang berbeda di rumah sakit berbeda yang lebih dekat dari rumah. Bunda hanya ingin cek kesehatan dan apakah virus dan batuk pengaruhi kamu baby. Apa daya, berita yang AyahBunda terima lebih mengejutkan. Baby, dr Junita yang baru pertama kali bertemu kita, dibuat bingung dengan kondisimu, usia mendekati 2,5 bulan tetapi detak jantungmu tak terlihat. Melalui USG transvaginal di RS Mutiara Bunda, Mencong, Ciledug menunjukkan gambar, ukuran kamu masih 2,4 cm, terlihat sempurna, namun detak jantungmu tak lagi ada. Baby,,,Bunda shock, Ayah bingung tetapi lebih tenang. Dokter bilang, mudigah mortal, kematian embrio. Diduga, baby sudah tak ada sejak seminggu. Penyebabnya 50 persen faktor genetik, faktor kualitas kromosom dan proses pembuahan yang tak sempurna. Penyebab lain 30 persen virus bakteri, 20 persen tidak diketahui. Merasa tak percaya, AyahBunda diminta kembali kontrol 26 November 2010. Foto mu AyahBunda bawa pulang, menunjukkannya ke nenek Ucum, dan Bunda tak lagi bisa menahan kesedihan.

AyahBunda merasa gelisah malam harinya dan memutuskan, Sabtu pagi akan mengunjungi dr Agus di RS Muhammadiyah. Bunda perlu kepastian, dari RS yang selama ini sudah Bunda datangi untuk mengontrol keadaanmu baby, meski dr Fara tak ada jadwal hari itu. Dr Agus memulai USG melalui perut. Hasilnya sama, detak jantung baby negatif. Ah, Bunda tak kuat mendengarnya, meski berusaha sok tegar. Dengan tenang dan perlahan, dr Agus menjelaskan detil. Kematian embrio, penyebab utamanya, 70 persen faktor genetik, karena kualitas kromosom yang kurang sempurna, begitupun dengan proses pembuahan dan penempelan kromosom yang tak sempurna, katanya sederhana. Penyebab lainnya 30 persen karena virus, bakteri dan lainnya, namun ini tak bisa didiagnosa begitu saja, harus dengan tes darah dan konsultasi menyeluruh. Sebab utamanya, memang genetik, dan itulah yang membuat baby bertahan sehat dan normal selama 6 minggu, namun tak lagi hidup di usia 7-8 minggu, itulah teorinya seperti kata dokter. Saat Bunda datang, hari itu, Sabtu (20/11/2010), baby berusia 9 minggu. Jadi, anakku, kau sudah tak ada dan berdiam meringkuk d kantong kehamilan dalam rahimku dengan indahnya, selama seminggu. Baby, demi kebaikan kita berdua, kamu harus di kuret, dibersihkan, kapanpun Bunda siap melakukannya. Disarankan maksimal sebulan setelah vonis mudigah mortal, proses kuret sudah dijalankan, kata dokter. AyahBunda berusaha menerima sepenuh hati, keterangan dua dokter sudah cukup. AyahBunda pasrah, berserah, Tuhan Mahatahu, hanya itu yang ada di pikiran AyahBunda, menenangkan hati. Sekarang waktunya menyiapkan diri untuk menjalani kuret, yang rencananya akan dilakukan seminggu ke depan. Bunda butuh waktu menenangkan hati dan menyiapkan diri, baby "diambil" melalui kuret.

Ayah menghibur Bunda, mengajak Bunda ke Masjid Sunda Kelapa. AyahBunda memang senang berada di rumah Tuhan yang teduh itu. Bunda juga suka rujak buah segar di sana, meski saat datang si abang tak buka lapaknya. Usai berdoa memohon kekuatan hati menerima baby sudah tak ada, Ayah kembali menghibur Bunda dengan mengajak kamu ke sebuah museum. Baby, cara Ayah memang unik ya, tapi Bunda terhibur, sesaat tak ingat kamu sudah tak ada, sambil tetap mengusap perutku yang buncit dan seperti biasa, kita berkomunikasi ya. Baby, kita sedang ke museum sasmitaloka, kediaman pahlawan revolusi Ahmad Yani, tempat ia dibunuh saat peristiwa berdarah 1965. Bunda suka barang antik, di sanalah Bunda menghibur diri selepas kepergianmu baby, dengan melihat benda antik peninggalan sang jenderal. Terhibur, namun tetap saja Bunda lelah, hati dan fisik. Sepanjang perjalanan pulang, Bunda tak bisa berhenti menangisimu Baby. Bunda menghibur diri lagi dengan membeli mukena yang mudah dibawa kemana saja, lantaran tadi di Masjid, Bunda kebingungan mencari mukena dan beruntung ada ibu baik hati yang meminjamkannya. Bunda pulang, terhibur dengan mukena baru dan berdoa, sekali lagi meminta kekuatan hati, fisik, pikiran agar ikhlas menerima ketentuan-NYA.

AyahBunda saling menguatkan, nenek Ucum datang menanyakan. Nenek menguatkan Bunda, dengan ketenangan dan juga rasa tak percayanya. Nenek juga masih berharap kamu hidup baby. Tak tega ia melihat puteri satu-satunya bersedih kehilangan anak pertamanya. Kami saling menguatkan. Setelah merasa kuat hati, Ayah mulai mengabarkan Mbah Hary, Mbah Wati, Tante Hany dan Tante Tyas. Sudah, keluarga saja yang lebih dahulu tahu. Tak sanggup AyahBunda mengabarkan yang lainnya. Tunggu Bunda menguatkan hati dan melepas kamu, anakku.

Semalaman Bunda berusaha menguatkan diri. Merebah di pelukan Ayah juga Nenek, Bunda begitu lemah ya baby. Dini hari, Bunda terbangun, tak kuat menahan beban sendirian. Bunda berkirim pesan, kepada om dan tante, sekadar memberitahu dan mencari dukungan moral, sekadar menitipkan doa semoga AyahBunda kuat menjalaninya. Sekaligus menjelaskan, mengapa baby tak bisa bertahan. Subuh, saat nenek membangunkan AyahBunda untuk beribadah, baby, kamu memberi pesan lagi. Darah segar keluar membasahi celana putih Bunda, tak banyak namun membuat Bunda resah. Ayah bangun dan langsung bersiap. Kakek dan Nenek juga bingung. AyahBunda ke bidan, namun disarankan ke rumah sakit saja. AyahBunda segera menuju RS Muhammadiyah. Mendapat perawatan di sana, menunggu jadwal kuret siang harinya, kali ini Bunda siap tak siap harus melepas kepergianmu baby.

Bunda siap, Ayahpun begitu, namun nenek terlihat begitu cemas. AyahBunda berkelakar sepanjang pagi hingga siang hari menghibur diri. Kami saling menguatkan untuk segera melepasmu, untuk tak lagi merasakan ragamu melalui perut Bunda. Baby, AyahBunda sudah siap, tak lagi menangisi, meski kau pasti tahu, hati Bunda teriris jika mengenangmu Nak. Dr Fara memeriksa, USG transvaginal untuk terakhir kalinya, memastikan baby tak lagi berdenyut jantungnya. Jadwal kuret diperkirakan pukul 14, Minggu (21/11/2010).

Mbah Hari, Mbah Wati, Tante Hanny dan Tante Tyas datang pagi harinya. Ah, Bunda tak tahan ingin menangis lagi. Sepanjang pagi, darah terus mengalir, dengan rasa mulas luar biasa, rasanya sama seperti melahirkan, bedanya tak ada sosok bayi yang akan kupeluk nanti. Beberapa kali bidan datang, memeriksa kondisi Bunda yang bingung dengan darah yang terus mengalir. Jalan lahir masih kuncup, belum terbuka, katanya, meminta Bunda bersabar menunggu jadwal kuret pukul dua. Siang hari, Bunda diperiksa dan diberi obat melalui vagina, untuk melunakkan jalan lahir katanya, mungkin agar kuret lebih mudah. Pukul dua siang, Bunda dipindahkan ke ruang bersalin, untuk bersiap kuret. Masih lama waktunya, pukul 15 ternyata, menunggu dokter selesai dengan prakter caesar. Ayah selalu mendampingi, menguatkan Bunda, memberikan kasih sayangnya yang luar biasa. Satu persatu, Mbah, Kakek, Nenek, Om, Tante, Kakak Aisyah dan Nabila datang mengunjungi, juga Tante Dini, baby. Mereka masuk bergantian, ramai sekali, tapi Bunda senang, merasa tak sendiri. Tante Nur lama mengusap perut Bunda yang terasa mulas dan ia mengaliri semangatnya, terima kasih ya. Semua orang menenangkan, hanya saja nenek terlihat cemas. Ia begitu khawatir, tak pernah menyaksikan Bunda seperti ini, dan juga merasa kehilanganmu baby. Waktunya tiba, semua orang menunggu di luar ruang bersalin. Bunda grogi dengan alat asing di sana, membaca zikir dan doa, meminta kekuatan melepasmu dan berharap usai operasi kecil ini semua akan baik-baik saja. Ah, Bunda tak sadar diri, terakhir ucapan dokter spesialis anastesi yang terdengar, selamat tidur ibu, katanya sambil memberikan obat bius melalui infus. Sekitar 30 menit kemudian, suara bidan memanggil samar, ibu Wardah, kuretnya sudah selesai. Iya, terima kasih,,,jawab Bunda setengah sadar akibat bius total. Tak lama Ayah tersenyum di samping Bunda yang membalas senyumannya. Baby, kamu sudah tidak ada lagi di perut Bunda, namun tersisa satu wadah bening berisi gumpalan daging dan darah, sebagian kecil saja dari hasil kuret. Sebagian besar lainnya dibawa ke lab, nanti akan diteliti dan menjadi rujukan untuk nanti kehamilan adik-adik mu baby Gabriel Raji.

Kak El, selamat jalan ya. Tunjukkan AyahBunda jalan ke syurga, untuk bertemumu suatu waktu. Terima kasih atas semua pesan yang kau bawa dari Tuhan. AyahBunda akan selalu bersyukur, atas anugerah yang Tuhan berikan melalui kehadiranmu yang teramat singkat, baby, hanya 9 minggu saja. We Love You Nak.

Tak jauh dari pekarangan rumah, tempat gumpalan darah daging baby El ditanam.


0 comments: