Ketika Tuhan Menjawab, Ada Konsekuensi yang Harus Kau Tanggung

13.23.00 wawaraji 0 Comments

Tulisan lama dari Multiply 

Ada masa ketika aku sangat percaya doa dan penyerahan diri pada sang maha penentu
takdir. Kala itu masa remaja. Masa di mana Tuhan begitu dekat dan kutakuti.

Ada masa saat aku semakin menjauh. Tak percaya, muak pada dogma, mencari kebenaran yang sebenarnya. Jauh dan jauh. Tuhan menjawab disaat aku sudah tak lagi berdoa. Ada suatu masa ketika aku berkelana mencari makna keilahian dan mencari kebenaran. Kebenaran yang kuyakini bisa membuat hidup lebih bermakna.

Ah, senangnya. Masa itu adalah waktu-waktu indah yang kucipta untuk diri sendiri. Satu-satunya kewajiban yang menjadi tanggung jawab besar adalah menyelesaikan kuliah dan merebut gelar S1 untuk mencari kerja. Ya! Berharap dengan pendidikan tinggi peluang kerja terbuka lebih lebar.

Kuliah dan mencari kebenaran. Nikmatnya. Bercinta dengan buku dan pertemuan-pertemuan. Perjumpaan dengan berbagai karakter manusia dan ide-idenya yang menyegarkan.

Ide-ide yang keluar dari dogma. Gagasan-gagasan dan pemikiran mendalam akan hidup dan bagaimana seharusnya manusia hidup. Indahnya.

Tuhan menjawab. Ia menggiringku pada suatu proses hidup yang bermakna namun melelahkan.

Sebuah perjuangan mencari kemenangan dan keberkahan. Meski waktu tersita. Harta dan pikiran terkuras. Walau aku menjadi pintar. Proses itu menjadi konsekuensi atas pilihan hidup yang menentramkan pencarian jiwa.

Tuhan menjawab, dan aku menjalankan konsekuensinya. Berhasil pada awalnya. Namun menyerah pada akhirnya. Pertentangan diri kembali beraksi. Dan cinta telah menyelamatkan dari kerisauan. Cinta manusia.

Tercipta masa ketika aku tak lagi percaya doa. Hidup tetap indah. Mengalir dalam arus yang tak lagi lurus. Berliku. Turunan tajam. Tanjakan mendaki. Jalan berkerikil. Terkadang terlalu panas untuk dipijak, namun ada masanya begitu sejuk dilewati. Kisah hidup menjadi lebih nakal dan berwarna. Tapi hidup tetap indah. Dan aku berhasil menyelesaikan kuliah.

Ada masa ketika aku berusaha membuktikan bahwa ijazahku laku di bursa kerja. Bahwa aku mampu bersaing di system kapitalis, mengeruk keuntungan darinya, bergantung, agar hidup bisa berjalan dengan lebih indah.

Tak sulit bagiku mendapat kesempatan bekerja. Wisuda April saat tenagaku masih dimanfaatkan disebuah majalah. Tak berstatus. Tapi tak apa untuk memulai berkenalan dengan dunia materi.

Sebulan setelahnya, surat lamaran beramplop coklat dengan cap pos disudut kanan, ternyata menarik perhatian sebuah perusahaan penyelanggara segala macam event. “Hah. Gagal cita-cita ku menjadi jurnalis.” Pikirku kala itu. Tapi tak apa. Aku butuh bekerja. Untuk membayar semua hutangku kepada keluarga yang telah membantu menyelesaikan kuliah. Tak apa. Aku ingat betul rasanya ingin cepat lulus kuliah. Ya! Untuk berkelana membentuk dunia baru di masa depan yang cerah. Aku ingat betul. Ketika rasa malas menggodaku kala menyusun laporan penelitian tiket meninggalkan kampus tercinta. Kala itu, kupasang beberapa lembar kertas di lemari, di tembok, di computer. Lembaran yang terkadang berhasil memancing motivasi untuk segera mengakhiri kewajiban. lembaran-lembaran yang terus mengingatkanku bahwa akan ada masa depan yang lebih baik jika tugas akhir itu bisa akhiri. Ada harapan di masa mendatang bahwa dengan aku lulus aku bisa bekerja, bisa membantu orang tua, bisa menyekolahkan adik tersayang, bisa membayar hutang ke abang, bisa menikah, bisa membiayai semua kebutuhan orang-orang tercinta. Ah indahnya menjadi orang berguna. Lembaran itu berhasil mencambukku dari kemalasan dan membawaku pada pekerjaan.

Tanpa pengalaman aku memulai pekerjaan. Ragu. Khawatir. Tak bersemangat. Merasa membohongi diri. Merasa bukan pada tempatnya. Merasa gagal impian tak tercapai. Merasa tak nyaman. Merasa dan bermain perasaan pada orang yang salah. Merasa tak berdaya. Berharap bisa keluar dari tak keberdayaan. Takdir berkata lain. Aku tetap bertahan. Bekerja sekeras mungkin. Yang terbaik. Maksimal. Belajar. Manfaatkan kesempatan. Menambah keterampilan dan kemampuan. Berhasil. Aku berhasil melewati konsekuensi atas jawaban Tuhan. Disaat aku tak lagi percaya doa. Tuhan menjawab. “Kuberi kau pekerjaan untuk membantu orang-orang yang kau sebut tadi. Kau tak minta pekerjaan apa secara detail. Aku berikan itu. Dan terima konsekuensinya.” Tuhan mungkin berkata padaku. Aku berhasil. Sedikit membantu kebutuhan rumah orangtua. Tapi tak sanggup aku membeli baju-baju baru. Uangku sedikit sekali. Gajiku tak seberapa. Aku hanya sanggup memborong baju-baju layak pakai dari yola-yola. Ah. Hidup tetap indah. Ada cintaku yang mendampingi pula.

Sekali lagi Tuhan menjawab meski aku tak berdoa. Keinginan untuk keluar dari ketidakberdayaan terjawab. Perusahaan terpaksa tutup sementara. Meski aku mendapat nilai A+. Tetap saja uang bulanan tak lagi kudapati. Pengangguran.

Oktober menjelang lebaran tak punya penghasilan. Sedikit THR untuk menutupi kebutuhan lebaran. Ah. Hidup tetap indah.

Ingat betul kala itu. Aku sedang memijat punggung seorang kakak. Telepon berdering. Menjelang lebaran aku mendapat panggilan. Bekerja untuk sebuah majalah. Ah. Senangnya. Tuhan menjawab lagi. Aku bisa menjadi wartawan. Hanya saja tak terbayang konsekuensi akan semenyakitkan itu.

Hidup mengalir. Tanpa curiga. Yang ada hanya semangat berusaha. Mengejar mimpi menjadi penulis. Menulis di media. Dikenal dan mengenal banyak orang. Ah indahnya hidup.

Seorang reporter. Itu status yang kudapati selama delapan bulan. Konflik. Amarah. Dan kepolosan. Aku bekerja untuk mimpi. Untuk diri sendiri. Bukan untuk keinginan berbagi seperti janji semula. Hidup sangat indah. Begitu indahnya sampai aku tak memperhitungkannya.

Bekerja keras tak dibayar dengan pantas. Bukan soal jumlah tapi komitmen perusahaan untuk membayar dengan pas. Pas waktunya pas jumlahnya. Waktunya selalu saja tidak pas. Lewat beberapa hari, minggu, bahkan bulan. Hah! Aku tertipu mimpi-mimpi. Mimpiku dan mimpi pemilik modal itu.

Aku nyaris tak bisa membantu orang-orang rumah. Bagaimana bisa, jika untuk makan saja harus berhutang. Membayar sewa kamar kos saja harus menadah. Bekerja tapi menadah. Ah. Hidup tetap indah. Karena perjumpaan dengan kawan-kawan membuat hati selalu ceria. Perjumpaan yang menyenangkan, mengesankan, menyisakan kenangan.
Konflik, amarah, derita menyatukan sekaligus memisahkan. Aku pergi. Cukup sudah bermimpi.

Tuhan menjawab, aku menerima konsekuensinya.

Aku tetap bermimpi. Tapi masih tak percaya aku akan doa. Tuhan kembali menjawab. Dia memberi pekerjaan untuk membantu orang tua sekaligus mengejar mimpi. Aku menjadi wartawan. Disebuah Koran. Baru. Potensial katanya. Dan bergaji besar. Ah. Hidup memang indah. Aku sangat bisa membantu orang tua. Meski hidup sedikit berubah. Jadi lebih mudah rasanya. Kapanpun ingin bersenang-senang tak perlu memikirkan kekurangan. Tapi tetap saja aku tak bisa membeli baju baru. Tak bisa memanjakan diri di pusat perwatan wajah, tubuh, rambut. Tak bisa dengan leluasa memilih sepatu, tas, laptop, handphone, ah banyaklah lagi kebutuhan yang tak pernah habis-habisnya itu.
Tapi aku bisa makan enak dimanapun aku suka. Tak melulu nasi goreng dan warteg yang murah. Aku juga bisa dengan santainya memberhentikan taksi kala sangat mendesak waktuku. Tak melulu buskota yang sesak dan bau atau ojek yang selalu saja berhasil memporakporandakan penampilanku.

Tuhan menjawab dan aku menikmati konsekuensinya. 

Tapi tak lama. Enam bulan pertama aku bisa bernafas lega. Kerja keras membuahkan hasil, batinku berkata. Tapi tidak disangka. Kembali derita. Enam bulan berikutnya, lagi-lagi, kerja keras tak dibayar sepantasnya. Telat sehari, seminggu, sebulan gajiku. Berhutang lagi untuk bekerja. Berhutang lagi untuk membantu orangtua. Tak tahan menerima konsekuensi rasanya. Tuhan kembali menjawab.

Bulan kesebelas aku bekerja pada seorang terkenal. Cukup tenar. Setidaknya koleganya sangat bernilai, kuantitas dan kualitas. Tak disangka, sebagai sekretaris pribadinya, aku pernah berbicara dengan dekan sebuah universitas progressive milik pemikir liberal. Seorang dekan yang adalah kolega bosku. Ah. Nyaris saja aku mendapatkan jaringan yang luar biasa. Tapi tak jadi. Karena aku tak kuat menahan goda. Karena aku tak kuat menyimpang dari mimpi. Aku ingin tetap menjadi penulis dan jurnalis. Aku bukan sekretaris. Aku hanya ingin jujur. Pada diri sendiri. Alasan yang kulontarkan untuk berhenti setelah tujuh hari membantunya.

Tuhan menjawab dan aku tak bisa menanggung konsekuensinya. Fisik dan Psikis lemah. Aku menyerah. Pilihan seorang editor kantor berita asing ternama jatuh kepadaku. Aku layak menjadi jurnalis lokal. Itu yang kupahami dan aku jalani. Sebulan. Hanya sebulan karena aku tak tahan. Bayangan gaji membuatku bertahan karena ingin sekali mendapat lebih untuk memberi lebih. Aku ingin memanjakan ibu dengan rice cooker paling canggih supaya tak lelah ia menanak nasi. Aku ingin membelikan lemari es baru agar tak pusing ia menyimpan sayuran. Aku ingin membelikan handphone supaya kapanpun ia dan aku kangen kita bisa berbincang walau sedetik saja. Aku ingin mencarikan pembantu supaya ia tak lelah ketika aku tak bisa membantunya di dapur. Aku ingin, dengan bayangan gaji itu, bisa membantu ayah membayar tagihan, supaya tak pusing ia menjelang tanggal 20 setiap bulan.

AKKHHH! Aku bisa menanggung beban mereka dengan bekerja. Dan aku sangat bisa menabung untuk menikahkan diriku dengan dirinya tercinta.

Tapi, aku tak sanggup dengan konsekuensi akan jawaban Tuhan. Aku berhenti. Aku tak mau jadi gila. Aku mau hidup tenang, sehat fisik dan psikis. Aku gagal. Aku tak layak berada disana. Aku kehilangan kepercayaan atas diri sendiri. Aku bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Aku bukan mereka yang beruntung pernah kuliah di luar sana. Inggris, Jerman, Belanda, Australia. Akhhhh! Beruntung sekali mereka. Bahagialah. Ketika kau mampu bekerja dengan hasil yang luar biasa.

Aku hanya perempuan pekerja dari sebuah kampung. Perempuan yang ingin sekali merubah keadaan menjadi lebih terang. Pekerja keras yang berhasil menginjakkan kaki di tempat-tempat luar biasa, tapi aku hanya orang biasa. Tak bisa apa-apa.
Ah! Sudahlah. Hidup tetap indah.

Aku mulai percaya doa dan harapan. Aku percaya kekuatan. Aku ingin mendekat dan mengenal cahaya. Tapi tak tau harus bagaimana memulainya. Aku kehilangan. Seorang teman mengingatkan. Ah. Hidup memang indah. Seorang kawan datang ketika aku sangat membutuhkan pendamping untuk lebih jauh mengenal-Nya. “kenali dirimu maka kau bisa kenali Tuhan mu,”. Itu katanya. Ah, banyak sekali kata-kata indah yang menyemangati untuk terus mendekat dan memohon pertolongan. Ya! Aku sangat butuh pertolongan. Setidaknya untuk mengenal siapa diriku. Untuk mendapatkan kembali makna sebuah diri. Aku mulai jatuh cinta pda Tuhan dengan caraku. Dengan buku. Dengan perjumpaan. Dengan pengenalan diri. Ah hidupku indah.

Kepasrahan menjadi kunciku untuk membuka pintu keberkahan. Aku pasrah dan berserah. Tak perlu tamak. Tak perlu gundah. Tak perlu amarah. Aku hanya perlu berserah. Ikhlas, bersyukur, dan Tuhan akan memberi segalanya. Aku mulai berdoa. Menangis dan berdoa. Memohon ampun dan pertolongan.

“Just say thanks to God, every second, and God will give you everything!”, “just ask!”, “Just tell God what you really need!”, kata kawan-kawanku.
“I am just trying to do my best, pray and release everything, let God lead my way, I just need to wait and see what God will do,” I say.

Tuhan semakin menjawab doa, karena aku sudah meminta pertolongan.
Aku selalu berharap bisa bekerja sesuai kemampuan. Karena aku tak mau menerima amanah yang tak kuyakini bisa kujalankan.

Aku ingin bekerja sekaligus bisa membantu ibu di rumah. Aku ingin membagi waktu dengan ibu sekaligus bisa memberinya sedikit uang belanja.
Tuhan menjawab. Surat elektronik yang kukirim untuk mendapat penghasilan lebih baik lagi belum membuahkan hasil.

Tapi kawan dan hubungan baik menyelamatkan. Aku masih dibutuhkan di Koran harian dengan menulis mingguan. Dan pekerjaan datang satu persatu. Lokasi syuting lahan nafkah berikutnya. Menjadi wardrobe dan talent coordinator. Ah hidup indah meski terkadang sangat lelah.

Aku masih bisa bernafas. Dan beruntung sekali ibuku tak pernah menuntut apa-apa kecuali yang terbaik untuk anak perempuan satu-satunya.

Tuhan terus menjawab doaku. Dan kali ini aku tak tau harus bagaimana lagi. Akan seperti apa konsekuensi. Aku ada diantara pilihan sulit. Selalu saja begitu. Hidup tak seindah itu.

Mimpiku adalah menjadi penulis. Aku telah dan sedang menjadi penulis. Mimpiku adalah menerbitkan buku. Aku sedang menulis buku dan akan menerbitkan sebuah buku. Jadi, apalah lagi yang tak kudapatkan.

Jadi teringat sebuah perjumpaan setahun silam. Sewaktu bekerja untuk majalah, aku mewawancarai seorang penulis. Dulunya ia adalah wartawan tapi kini seorang penulis buku. “Menjadi penulis buku lebih leluasa menuangkan gagasan dibandingkan wartawan sebuah media,” kira-kira  begitu salah satu kutipan wawancara itu. AH! Indahnya menjadi penulis buku. Aku ingin sekali mendapatkan kesempatan seperti dia. Dan menjadi seorang penulis buku. Ah hidup akan sangat indah.

Dan, dunia kecil ini mempertemukanku padanya. Ah, dia pasti lupa. Tapi aku akan selalu ingat. Ingat pada mimpi dan perjalanan yang membawaku kesini.aku berkerja ditempat di mana orang itu bekerja. Beda genrenya, tapi kita berada dalam satu atap.

Ah! Aku bisa saja sepertinya. Menjadi wartawan, penulis buku, terkenal, berhasil, dan mungkin terpenuhi sudah semua kebutuhan hidupnya.

Hidup itu memang ajaib. Selalu saja ada kejutan-kejutan kecil yang menyenangkan. Aku sangat menikmatinya. Tapi entah kenapa aku tak bisa menikmati kesempatan ini.

Aku bermimpi menjadi penulis dan menerbitkan buku. Aku sedang menulis buku untuk sebuah penerbit. Aku berpengalaman menulis profil bisnis. Dan aku sedang menulis buku tentang bisnis. Aku ingin sekali menjadi editor. Dan kesempatan ini bisa saja mengantarkanku kesana. Aku sudah tiga kali melamar ke penerbit ini, semua tak berhasil, hanya satu yang masuk tahap wawancara, itupun karena ada orang dalam. Dua lainnya tak ada panggilan sekalipun. Dan kali ini berkat informasi dari seorang teman, aku bisa mengirim amlop coklat bercap pos itu, menerima panggilan, lulus ujian, dan menjadi penulis lepas sebuah penerbit.

Penerbit yang pernah kubersitkan dalam hati dulu kala, ah mungkin ini yang akan aku tuju nantinya. Benar adanya. Tapi kenapa aku tak menikmatinya.

Tuhan menjawab, tapi kutak tau harus bagaimana menerima konsekuensinya.

Sebuah pernyataan dari teman kakakku cukup menggoda, kau harus tekun. suatu hari kelak kau akan menjabat posisi penting di suatu media seperti om ku, katanya.

Apakah aku selalu berhenti karena ketidaktekunanku? Rasanya bukan. Aku berhenti karena aku harus bertahan hidup dan bertaruh dengan hidup serta menafkahi hidupku dan hidup orangtuaku. Aku tak bisa bermimpi. Mengejar mimpi dan tak perduli akan seperti apa kenyataan menghantam di depan mata.

Ah, tapi aku juga tak meyakini alasan itu karena sebenarnya aku seorang pemimpi. Hingga kini. Ketika pekerjaan yang kuinginkan belum juga datang aku tak serta merta mencari pekerjaan lain, sekretaris misalnya.

Kenali dirimu. itu prinsip yang aku pertahankan. Aku bekerja saat ini sebagai penulis lepas. Meski sedikit yang kudapat tapi kusanggup bertahan karena kutak lagi mau menanggung semua beban. Aku lelah. Aku ingin membantu sebisanya saat ini. Aku menerima tapi aku takkan menyerah. Akan kukejar mimpi-mimpi yang akan membawaku pada kemenangan. Dan aku sanggup membiayai semua keperluan orangtua agar mereka bisa menikmati masa tua. Aku sanggup. Lihat saja!

*** 

You Might Also Like

0 comments: